Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Izza Afkarina

Kampus yang tak Lagi Aman: Menelisik Akar dan Dampak Bullying di Perguruan Tinggi

Eduaksi | 2025-11-07 20:35:42

Sebelumnya, bullying sering dikaitkan dengan siswa SD atau SMP. Namun, berdasarkan beberapa penelitian di Indonesia, tindakan serupa juga terjadi di banyak lingkungan perguruan tinggi. Fenomena ini lebih rumit karena pelakunya bukan anak-anak lagi, melainkan pelajar yang dianggap sudah dewasa dan berpendidikan. Ironisnya, pelajar yang diam atau ekonominya kurang mampu justru menjadi korban yang paling rentan. Penelitian di salah satu universitas di Jakarta mencatat, dari 305 mahasiswa yang disurvei, 19,34% mengaku pernah jadi korban bullying, 58,36% sebagai saksi, dan 16,72% sebagai pelaku.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa pelaku bullying di kampus bukanlah kasus yang langka, melainkan fenomena yang meluas. Kampus yang seharusnya menjadi tempat berkembang dan belajar empati justru menjadi tempat terjadinya kekerasan sosial yang tersembunyi, seperti pertemuan, pengucilan, atau tekanan dari kelompok senior terhadap mahasiswa baru. Riset menunjukkan bahwa bullying di perguruan tinggi tidak selalu muncul dari kebencian pribadi, tetapi sering kali disebabkan oleh dinamika sosial yang tidak seimbang.

Mahasiswa yang diam, introvert, atau berasal dari keluarga sederhana sering menjadi target karena dianggap “berbeda” atau “tidak cocok”.Beberapa faktor utama yang menyebabkan bullying:1. Budaya senioritas dan hierarki sosial di kampus.Kegiatan PKKMB di beberapa universitas masih praktik mempermainkan dan memahami mahasiswa baru. Dalam kasus tertentu, aktivitas ini melanggar norma hukum dan tata krama akademik.2. Tekanan konformitas sosial.Mahasiswa cenderung mengikuti perilaku kelompok dominan agar dapat diterima, meskipun perbuatannya tidak benar.3. Rendahnya empati dan kesadaran sosial.Studi di Surabaya menemukan, siswa dengan harga diri rendah lebih mudah terlibat dalam bullying, baik sebagai pelaku maupun korban. Kurangnya pengasuhan diri juga memperparah kondisi psikologis korban.

4. Ketimpangan ekonomi dan stigma sosial.Mahasiswa dari latar belakang ekonomi rendah sering menghadapi stigma, seperti dianggap tidak bergengsi, kurang modis, atau tidak mampu berinteraksi. Kombinasi faktor-faktor tersebut menciptakan lingkungan kampus yang rentan terhadap bullying.
Dampak bullying di kampus tidak hanya membuat korban merasa sedih atau marah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bullying dapat menyebabkan banyak masalah, seperti menurunkan rasa percaya diri, mengganggu kesehatan mental, hingga mempengaruhi prestasi belajar. Penelitian di Poltekkes Kemenkes Padang menemukan bahwa mahasiwa yang terkena bullying mengalami penurunan rasa percaya diri yang cukup besar.

Banyak dari mereka juga menghindari berbagai kegiatan sosial di kampus. Di Universitas Malahayati, penelitian menunjukkan 77,8% mahasiswa mengalami bullying, dan dari jumlah itu, 72,5% mengalami tingkat stres yang lumayan tinggi hingga berat. Bullying juga mempengaruhi partisipasi akademik. Korban cenderung tidak berani berinteraksi, menurunkan semangat belajar, bahkan ada yang mempertimbangkan untuk mengecewakan diri sendiri. Selain itu, lingkungan kampus yang tidak aman karena bullying bisa membuat kampus kehilangan citra sebagai institusi pendidikan yang sehat. Mahasiswa merasa tidak aman dan juga mulai meragukan sistem pendidikan tersebut.

Untuk mencegah masalah ini terus berkembang, kampus harus menganggap bullying bukan hanya masalah antar mahasiswa, tetapi juga pelanggaran etika akademik dan hak asasi manusia.Berikut beberapa langkah strategi yang dapat dilakukan: Pertama, membuat kebijakan anti-bullying yang jelas dan terang. Setiap perguruan tinggi harus memiliki peraturan tertulis yang menyatakan bahwa semua bentuk intimidasi baik fisik, verbal, sosial, maupun online, tidak akan diterima. Kedua, membangun sistem pelaporan yang aman dan rahasia. Korban harus memiliki tempat untuk melaporkan peristiwa tanpa rasa takut atau dibalas. Dukungan dari psikolog dan pihak hukum juga harus ada dalam sistem ini.

Ketiga, membangun komunitas yang penuh empati. Kampus bisa melakukan pelatihan pendukung rekan sebaya, konseling, dan kegiatan yang meningkatkan kesadaran empati di antara mahasiswa. Keempat, melakukan reformasi budaya kampus. Kegiatan seperti PKKMB dan kegiatan mahasiswa lainnya harus mengarah pada solidaritas, bukan hanya pada kekuasaan atau hierarki palsu antara senior dan junior. Kelima, melakukan penelitian dan evaluasi secara berkala. Kampus harus rutin melakukan survei tahunan untuk memeriksa kesejahteraan siswa dan tingkat penindasan agar dapat mengukur efektivitas langkah yang diambil. Langkah-langkah ini tidak hanya mencegah terjadinya bullying, tetapi juga menunjukkan bahwa dunia akademik peduli pada nilai-nilai kemanusiaan.

Kampus idealnya adalah tempat bagi mahasiswa untuk berkembang, berpikir kritis, dan berekspresi tanpa rasa takut. Namun kenyataannya, masih ada sebagian siswa yang menghadapi tekanan sosial dan bentuk kekerasan yang tidak terlihat dari teman sebaya. Bullying di perguruan tinggi menunjukkan bahwa sistem pendidikan nasional masih memiliki masalah. Karena, ketika nalar dan empati tidak dipahami bersama, ilmu pengetahuan kehilangan makna kemanusiaannya. Sudah waktunya perguruan tinggi tidak hanya menilai prestasi akademik, tetapi juga menumbuhkan karakter yang empatik dan membuat lingkungan belajar yang inklusif. Karena kampus yang aman bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat di mana setiap mahasiswa, tanpa kecuali, merasa diakui dan dihargai sebagai manusia yang utuh.

Penulis merupakan Mahasiswa Aktif dari Universitas Airlangga Fakultas Vokasi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image