Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image NURHAKIM YUANFABELL

Ketika Orang Mampu Ikut Disuapi: Masalah Pemerataan MBG di Indonesia

Info Terkini | 2025-11-06 19:36:44

Program “Makan Bergizi Gratis” lahir dari niat baik. Pemerintah ingin anak Indonesia makan makanan sehat dan seimbang supaya tumbuh kuat dan cerdas. Di atas podium, ide ini terdengar sempurna dan sangat meyakinkan. Tapi di atas lapangan, banyak hal yang tidak berjalan dengan semestinya.

Sumber: Portal Resmi Republik Indonesia. “Realisasi Program Makan Bergizi Gratis Anak Indonesia.” Diakses 5 November 2025 dari https://indonesia.go.id/galeri/foto/462/

Di lapangan, bantuan makanan bergizi gratis ternyata tidak hanya dinikmati oleh mereka yang membutuhkan. Ada juga penerima dari kalangan yang sebenarnya sudah mampu. Mereka yang bisa membeli bahan makanan sehat atau bahkan lebih sehat ikut menikmati jatah piring yang mestinya untuk yang lebih membutuhkan. Akibatnya, justru kelompok miskin yang benar-benar membutuhkan malah tersisih.

Hal seperti ini membuat kita sadar bahwa pemerataan tidak selalu sama dengan keadilan. Jika semua anak Indonesia mendapat porsi yang sama tanpa melihat siapa yang paling membutuhkan, maka tujuan untuk menekan angka stunting dan perbaikan gizi nasional hanyalah janji manis belaka.

Masalah utamanya ada pada data dan cara pelaksanaan. Banyak daerah masih memakai data lama. Nama keluarga penerima tidak diperbarui, sehingga ada anak dari keluarga mapan masih terdaftar sebagai penerima. Sementara keluarga yang baru jatuh miskin masih terdaftar sebagai keluarga mapan. Hal ini memunculkan ketimpangan di angka statistik.

Selain itu, cara berpikir masyarakat juga salah. Banyak yang menganggap bahwa keadilan berarti sama rata. Padahal dalam konteks ini, adil berarti memberi sesuai porsi/kebutuhan. Anak pelosok yang jarang makan 4 sehat 5 sempurna jelas lebih membutuhkan dibanding anak elit yang sarapan dengan sandwich dan susu.

Masalah lain datang dari cara program ini dijalankan. Di beberapa tempat, pembagian makanan bergizi malah dijadikan ajang pencitraan. Spanduk besar, kamera, sambutan pejabat, dan tepuk tangan panjang bak peresmian monumen kerap kali mengiringi. Membuat momen berbagi menjadi momen seremoni. Padahal yang dibutuhkan masyarakat kecil bukanlah acara seremoni, melainkan makanan bergizi yang benar-benar sampai ke tangan mereka.

Belum lagi soal kejujuran penerima. Masih ada anak yang tahu dari keluarga mampu namun masih meminta jatah piring. Berbagai alasan, seperti ingin ikut-ikut teman atau bahkan malas mengaku. Kebiasaan seperti ini memperkeruh niat baik. Akhirnya, yang benar-benar lapar justru tidak kebagian.

Dampak panjang dari persoalan ini adalah anak-anak yang semestinya dapat asupan bergizi, tidak dapat memenuhi asupan gizi hariannya, dan akan tetap seperti itu. Mereka tumbuh lemah, mudah sakit, dan susah fokus. Pada akhirnya hal ini dapat menurunkan kualitas generasi muda Indonesia. Sementara keluarga yang sudah cukup hidupnya tetap menikmati tambahan bantuan seolah-olah menutup mata. Jika sistem seperti ini dibiarkan, Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi sebuah cangkang tanpa makna dan impian.

Padahal, Program Makan Bergizi Gratis bukan ide yang salah. Ia hanya belum dijalankan dengan benar-benar tepat. Pemerintah perlu lebih serius dalam menangani persoalan ini dengan beberapa upaya. Seperti memperbarui data penerima, memperketat pengawasan, dan melibatkan tenaga kesehatan yang mengerti akan kondisi masyarakat secara langsung. Dengan ini, bantuan bisa lebih tepat sasaran.

Tentunya tidak hanya pemerintah yang ikut andil dalam mengatasi persoalan ini. Masyarakat terutama orang tua perlu belajar jujur. Karena orang tua adalah orang yang paling dekat dengan anak. Kalau sudah berkecukupan, jangan ikut andil dalam menerima. Biarkan yang benar-benar butuh merasakannya. Tidak ada salahnya mundur, karena itu berarti juga ikut andil dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Keadilan bukan tentang semua orang setara, namun tentang memastikan tidak ada yang tertinggal. Kalau semangat ini dijaga, Program Makan Bergizi Gratis bisa benar-benar bermanfaat. Karena membangun bangsa sehat tidak hanya urusan angka dan data, namun juga soal empati. Selama masih ada rasa peduli antara kita, setiap bantuan bisa membawa arti yang jauh lebih besar dari sekedar sepiring nasi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image