Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Salma Mayla Andrea

Fenomena Food Waste MBG: Ketika Program Gizi Menambah Beban Lingkungan

Politik | 2025-11-06 18:23:47

Kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan inisiatif pemerintah dalam mengatasi stunting dan masalah gizi di Indonesia. Meski bertujuan mulia untuk meningkatkan kualitas SDM masa depan, program ini memberikan potensi bahaya, yaitu meledaknya limbah sisa makanan yang justru memperparah krisis lingkungan negara kita.

Indonesia sudah mengalami darurat limbah makanan sejak lama. Data SIPSN KLHK mencatat bahwa sisa makanan menyumbang hampir 40% dari total sampah nasional secara konsisten. Distribusi makanan yang dilakukan secara masif dan harian dari MBG, dapat berubah menjadi bencana ekologis apabila tidak dikelola dengan baik. Bappenas memperkirakan limbah makanan dari program ini bisa mencapai 1,1-1,4 juta ton per tahun—jumlah yang cukup untuk memberi makan jutaan orang, namun kini terancam berakhir di TPA.

Tingginya limbah ini disebabkan beberapa faktor di lapangan, yaitu ketidakcocokan menu dengan selera lokal. MBG yang tujuan awalnya mengenalkan gizi seimbang, nyatanya menu yang dirancang ahli gizi sering tidak cocok dengan kebiasaan dan preferensi anak-anak di berbagai daerah. Selain itu, prevalensi insiden keracunan makanan di daerah tertentu menimbulkan kekhawatiran orang tua, menyebabkan banyak orang tua melarang anak-anak mereka untuk mengonsumsi MBG.

Di wilayah terpencil, keterlambatan distribusi menjadi masalah krusial. Makanan yang dikirim tanpa penyimpanan memadai cepat rusak sebelum disajikan. Alih-alih meningkatkan gizi, kesalahan logistik ini menciptakan "sampah busuk" yang menambah limbah dan meningkatkan risiko keamanan pangan.

Limbah makanan bukan hanya soal makanan terbuang. Setiap suap yang tidak dimakan mewakili air, energi, pupuk, dan bahan bakar yang terpakai untuk produksi, pengolahan, dan distribusi. Artinya, limbah MBG juga menyia-nyiakan sumber daya alam berharga.

Sumber: Facebook @Dimas Febrian

Dampak terburuknya adalah kontribusi pada perubahan iklim. Makanan yang membusuk di TPA menghasilkan metana (CH ), gas rumah kaca yang 28 kali lebih kuat dari CO dalam memerangkap panas. Dengan volume limbah MBG yang besar, program yang seharusnya membangun generasi sehat justru bisa menjadi "pabrik metana" yang mempercepat pemanasan global.

Selain itu, lonjakan sampah makanan membebani sistem pengelolaan sampah yang dari awal sudah kesulitan. Banyak TPA Indonesia dalam kondisi kritis, dan penambahan limbah organik besar hanya memperpendek umur TPA dan meningkatkan risiko bencana lingkungan.

Untuk memastikan MBG berhasil tanpa merusak lingkungan, perlu perubahan paradigma dari distribusi menjadi manajemen pangan sirkular dan berkelanjutan. Libatkan ahli gizi dan budaya lokal dengan memberi otonomi lebih besar kepada tim daerah, dengan supervisi ketat untuk menyesuaikan 30-50% menu dengan cita rasa dan kebiasaan lokal tanpa mengorbankan standar gizi.

Selanjutnya, kelola limbah organik dengan memilah sisa makanan tidak layak konsumsi sejak dini untuk diolah menjadi kompos atau maggot BSF, bukan dibuang ke TPA. Pemerintah perlu mengalokasikan dana dan pelatihan untuk unit pengolahan limbah organik skala kecil di sekolah.

MBG adalah program yang mulia, namun ambisi gizi tidak boleh dibayar dengan krisis lingkungan. Tanpa manajemen limbah makanan yang ketat dan solusi sirkular, program ini berisiko menjadi noda hitam dalam pembangunan berkelanjutan Indonesia. Semua pemangku kepentingan dari kementerian, karyawan SPPG, hingga guru dan siswa harus menyadari, bahwa setiap butir nasi terbuang bukan hanya kerugian ekonomi, tetapi beban berat bagi masa depan bumi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image