Harapan di Balik Piring, Bahaya di Balik Dapur: Hasil Program MBG
Politik | 2025-11-04 10:23:52Oleh : Siti Shiva Mahira Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga
Di Indonesia garis kemiskinan masih tinggi yaitu 8,47% per Maret 2025, artinya masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk pangan, mulai dari anak-anak bahkan sampai lansia masih merasakan kekurangan gizi dan kelaparan (Badan Pusat Statistik, 2025). Presiden Prabowo Subianto memiliki solusi atas permasalahan kelaparan di Indonesia, salah satunya dengan mengadakan program MBG atau Makan Bergizi Gratis.
Program ini baginya bukan hanya sekedar mengatasi persoalan gizi, tetapi juga investasi jangka panjang untuk kualitas sumber daya manusia. Target dari pemenuhan gizi ini adalah peserta didik (SD, SMP, SMA/sederajat, Santri), anak-anak yang berusia dibawah 5 tahun, dan juga ibu hamil dan menyusui.
Harapan terbesar dari MBG tentu berada pada aspek kesehatan anak. Adanya MBG ini akan memenuhi kebutuhan gizi pada anak, asupan gizi seimbang memiliki daya fokus yang lebih baik, perkembangan otak yang optimal, dan prestasi akademik lebih stabil. Di daerah-daerah tertentu, program MBG menjadi satu-satunya kesempatan bagi anak untuk mendapatkan asupan layak setiap hari, karena itulah sepiring MBG dianggap sebagai harapan baru bagi banyak keluarga.
Adapun harapan lain dari adanya program MBG ini, yakni dapat meningkatkan ekonomi lokal. Karena bahan-bahan yang digunakan dalam menyediakan MBG diharapkan bersumber dari produksi masyarakat sekitar. Jika program MBG berjalan dengan efektif, tidak hanya menurunkan angka kelaparan dan kekurangan gizi, tetapi juga dapat memperluas lapangan kerja dan menciptakan peluang ekonomi baru sehingga tingkat kemiskinan juga bisa menurun.
Sebagai mahasiswa, program MBG menjadi bahan refleksi bahwa gizi, kesehatan, dan pendidikan adalah tiga hal yang saling berkaitan dan harus dijaga bersama. Peran mahasiswa dalam program MBG bisa dengan memberikan edukasi, membantu penelitian, ataupun menjadi pengawas sosial agar program MBG dapat berjalan sesuai dengan tujuan awal.
Program ini dilakukan secara bertahap pada 6 Januari 2025 melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), namun optimisme harus diimbangi dengan melihat realita. Salah satu kritik yang muncul dari ahli gizi dr.Tan Shot Yen, ia membahas menu burger hingga spageti yang disajikan MBG di beberapa daerah, padahal MBG untuk pemenuhan gizi tetapi yang diberikan justru burger dan spageti.
Ia mengkritik bahan dasar burger dari gandum yang tidak tumbuh dari tanah Indonesia. "Yang dibagi adalah burger. Di mana tepung terigu tidak pernah tumbuh di bumi Indonesia, nggak ada anak muda yang tahu bahwa gandum tidak tumbuh di bumi Indonesia," ucap Tan. Ia berharap bahwa anak-anak lebih baik diberikan 80% menu lokal di seluruh wilayah karena bahan bakunya pun dari lokal. (Yen Tan Shot, 2025)
Selain itu adapun sejumlah kasus keracunan muncul di beberapa daerah. Inilah mengapa “bahaya di balik dapur” yang harus ditangani dengan serius. Memberikan makanan bergizi memang penting, tetapi harus memastikan bahwa makanan tersebut aman dikonsumsi. Adanya kasus keracunan ini menimbulkan berbagai macam reaksi masyarakat yang cenderung cemas dan khawatir terhadap kualitas dan keamanan yang disediakan dalam program MBG.
Banyak orang terutama orang tua murid yang mempertanyakan bagaimana standar kebersihan dapur penyedia, kualitas bahan makanan, dan mekanisme pengawasan di lapangan. Padahal tujuan awal dari program MBG adalah memberikan generasi yang sehat dengan pemenuhan gizi bukan memberikan risiko penyakit baru. Kasus-kasus keracunan inilah yang menandakan bahwa pengawasan program MBG belum optimal. Karena penyebab keracunan tidak hanya berasal dari satu faktor, bisa dari penyimpanan bahan makanan yang kurang higenis, metode memasak yang tidak memenuhi standar, proses distribusi yang terlalu lama, dan lain-lain.
Pada akhirnya yang dipertaruhkan bukan hanya perut anak-anak, tetapi juga rasa aman yang seharusnya mereka dapatkan dari MBG. Jika makanan itu membuat mereka merasakan kesakitan, maka harapan yang mereka bayangkan pada saat membuka kotak makan menjadi pengalaman traumatis. Tidak sedikit orang tua yang ragu-ragu untuk membiarkan anaknya mengonsumsi MBG atau memilih menyiapkan makanan sendiri walaupun dalam kondisi ekonomi yang terbatas.
Namun, solusi sebenarnya bukan menghentikan program MBG. Hal yang seharusnya di bahas bukan hanya pada bagaimana memberikan makanan tetapi juga bagaimana negara mengelola kerentanan. Salah satu solusi yang paling mendesak adalah pembuatan standar nasional dapur MBG yang mencakup tata letak dapur, cara penyimpanan bahan, kebersihan peralatan, hingga kehigenisan alur memasak.
Pemerintah juga perlu menerapkan sistem daerah produksi agar makanan tidak dibawa terlalu jauh, dengan melayani di radius tertentu akan mengurangi risiko makanan basi atau tercemar selama perjalanan. Selain itu, pengawasan diperkuat melalui pemeriksaan mendadak dan rutin. Pengawasan ini harus berfokus memeriksa kondisi dapur, kesegaran bahan, serta prosedur kerja. Apabila dilakukan pengawasan mendadak, pihak penyedia makanan akan tetap menjaga kualitas setiap hari bukan hanya saat ada kunjungan.
Adapun inovasi membangun sistem pelaporan cepat di sekolah. Guru, siswa, atau orang tua dapat langsung melaporkan apabila menemukan makanan yang berbau aneh, teksturnya berubah, atau menemukan hal lain yang membuat makanan tersebut tidak layak untuk dimakan. Kemudian laporan ini akan diteruskan ke tim respon cepat yang akan menindaklanjuti di hari yang sama untuk mencegah masalah, seperti mengganti makanan dengan yang baru.
Dengan beberapa solusi tersebut kita tidak hanya memperbaiki dapur, tetapi juga kepercayaan masyarakat. Harapan pada bangsa Indonesia sering dianggap lahir dari proyek yang besar, padahal dengan memperhatikan detail kecil akan memberikan dampak lebih besar. Program MBG memperlihatkan bahwa masa depan generasi dapat dipengaruhi oleh hal yang tampak sederhana, seperti kebersihan dapur. Hal sederhana itu akan menentukan bagaimana sebuah piring dapat membawa kebaikan atau menimbulkan kecemasan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
