Apakah Hidup Minimalis Bisa Menyembuhkan Kebingungan Kita?
Gaya Hidup | 2025-11-06 19:06:16
Di tengah kehidupan yang makin bising, anak muda hidup seperti berjalan di lorong penuh tanda panah yang saling diundang. Setiap hari ada notifikasi baru, tren baru, target baru, dan perbandingan baru. Kamar penuh barang, layar penuh tuntutan, kepala penuh pertanyaan. Lalu muncul sebuah tren yang terlihat damai di internet: hidup minimalis. Ruang putih, barang kecil, meja rapi. Banyak orang mulai bertanya-tanya, apakah hidup minimalis bisa membuat hidup lebih tenang atau hanya sekedar dekorasi untuk konten?
Minimalisme kini bukan lagi sekedar gaya hidup beberapa orang. Ia berkembang melalui video kamar sederhana, rak kayu polos, dan tips “declutter 10 menit” yang memenuhi TikTok, Instagram, dan YouTube. Dalam bentuk yang paling dasar, minimalisme mengajak kita memilih yang penting dan melepaskan yang tidak. Ia bukan tentang rumah kosong, tetapi tentang prioritas yang lebih jelas. Banyak anak muda yang mencoba memulai dari hal sederhana: mengurangi belanja impulsif, merapikan meja belajar, atau memilah aplikasi yang tidak perlu.
Namun, sebelum menilai tren ini, kita perlu memahami kebingungan yang sebenarnya sedang dialami banyak anak muda. Kita hidup di zaman yang menyamakan produktivitas dengan nilai diri. Kita merasa gagal ketika tertinggal satu langkah dari teman sebaya. Ada tekanan ekonomi yang nyata, standar kecantikan dan kesuksesan yang menumpuk di media sosial, dan ketakutan bahwa hidup kita tidak cukup “bagus” untuk dilihat orang lain. Kebingungan ini seperti kabut yang menutupi arah hidup, membuat kita sulit menemukan langkah berikutnya.
Dalam situasi seperti ini, minimalis tampak seperti oasis. Ia menawarkan ruang yang lebih tenang, ritme hidup yang lebih pelan, dan keputusan yang lebih sederhana. Ketika barang berkurang, gangguan pun ikut hilang. Ketika ruang lebih rapi, kepala punya tempat untuk bernapas. Bahkan, mengurangi kebutuhan bisa membuat tekanan finansial sedikit turun. Minimalisme membantu kita fokus pada apa yang benar-benar memberi nilai: hubungan yang sehat, kesehatan diri, dan tujuan yang realistis.
Tapi minimalis bukanlah obat ajaib. Ada orang yang akhirnya terjebak dalam tekanan baru: kamar harus estetis, warna harus senada, barang harus sedikit. Ada yang memaksakan diri membeli barang-barang “minimalis” yang harganya justru lebih mahal. Ada pula yang sebenarnya sedang kesulitan ekonomi tetapi dianggap sedang mengikuti gaya hidup minimalis. Di titik ini, minimalisme berubah dari solusi menjadi tuntutan baru yang tidak kalah melelahkan.
Oleh karena itu, minimalisme yang sehat bukan tentang jumlah barang, tetapi tentang kesadaran memilih. Kita tidak perlu hidup di kamar putih kosong untuk merasa tenang. Cukup mulai dari hal sederhana: menyaring tugas yang paling penting, mengurangi konsumsi yang tidak perlu, mengatur ruang agar fungsional, dan memberi waktu untuk diri sendiri. Minimalisme yang realistis memberi ruang untuk bernafas tanpa tuntutan kesempurnaan.
Pada akhirnya, apakah minimalisme bisa mengatasi kebingungan kita? Mungkin bisa, jika kita memandangnya sebagai cara hidup, bukan sebagai tren yang harus dipenuhi. Terkadang, hidup yang lebih ringan bukan datang dari apa yang kita buang, tapi dari apa yang akhirnya kita pilih untuk tetap kita jaga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
