Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ratu Syifa

Toxic Masculinity Berujung Epidemi Sunyi

Info Terkini | 2025-11-06 14:16:10
source : istockphoto.com

Hak Kesehatan dalam Konstruksi Gender

Dalam kerangka hak asasi manusia, setiap orang memiliki hak yang sama atas kesehatan baik dalam konteks fisik, mental maupun sosial. Namun dalam praktiknya, konstruksi sosial tentang gender membuat hak ini cukup rentan.

Perempuan sering menjadi titik berat dalam pertimbangan kebijakan kesehatan terutama terkait peran reproduksi, kesetaraan hak kesehatan dan kesehatan keluarga. Hal itu sangat penting, tentu saja. Tapi di sisi lain, laki-laki jarang disorot sebagai subjek yang juga membutuhkan perawatan, pencegahan dan ruang untuk rapuh. Mereka sering di posisikan sebagai "pelindung tahan banting" semata. Padahal, hak atas kesehatan milik setiap orang terlepas dari gender, dan saat laki-laki kehilangan akses, baik karena sistem yang bias maupun budaya yang menekan, perempuan pun ikut kehilangan, baik kehilangan pasangan, ayah, dan figur yang dibutuhkan keluarga.

Epidemi Sunyi di Balik Peran Laki-Laki

Di negeri dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa ini, laki-laki hidup rata-rata empat tahun lebih pendek daripada perempuan. Data World Health Organization (WHO, 2024) menunjukkan harapan hidup pria Indonesia hanya 69,4 tahun, sementara perempuan mencapai 73,3 tahun. Selisih itu bukan semata faktor biologis, tetapi akibat dari konstruksi sosial yang membuat laki-laki abai terhadap kesehatannya sendiri.

Faktanya, data dari Global Adult Tobacco Survey Indonesia (WHO & Kemenkes RI, 2021) mencatat 65,5% laki-laki dewasa Indonesia adalah perokok aktif, sementara perempuan hanya 3,3%. Rokok menjadi simbol maskulinitas, tapi juga penyumbang utama penyakit jantung, stroke, dan kanker paru, tiga penyebab kematian terbesar pada pria di Indonesia.

Penelitian Acta Medica Indonesiana (2023) menunjukkan bahwa kematian akibat penyakit kardiovaskular pada pria meningkat lebih dari 20% dalam 30 tahun terakhir, sedangkan pada perempuan hanya sekitar 3,6%. Laki-laki juga cenderung memiliki tekanan darah lebih tinggi, asupan garam lebih besar, dan kebiasaan tidur yang lebih buruk.

Tak berhenti di situ, budaya kerja lembur dan stres kronis memperparah keadaan. Dalam survei Asia Development Bank (2024), 67% laki-laki Indonesia usia 25–45 tahun mengaku merasa kelelahan setiap hari, namun tidak berani mengambil cuti sakit karena takut dicap tidak produktif. Inilah paradoks maskulinitas modern: semakin keras bekerja demi dianggap kuat, semakin cepat tubuh mereka runtuh.

Di sinilah muncul epidemi sunyi, epidemi yang tidak dibicarakan karena dianggap wajar. Semakin maskulin seseorang dipersepsikan, semakin besar risiko ia memendam sakit, stres, dan kelelahan tanpa akses pada dukungan kesehatan. Sebagai perempuan, melihat hal ini menimbulkan rasa cemas yang mendalam. Bagaimana tidak? Di tengah upaya perempuan menjaga keluarga, laki-laki justru perlahan hilang dari peran hidupnya, bukan karena tak mau bertanggung jawab, tapi karena sistem sosial membuat mereka takut tampak lemah.

Dari Toxic Masculinity Berujung Fatherless Society

Kematian dini laki-laki akibat penyakit tidak menular atau tekanan sosial tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, namun juga menimbulkan efek domino yang luas yaitu fenomena fatherless, baik karena kematian, perceraian, maupun ketidakhadiran emosional akibat stres dan kelelahan kronis. Anak-anak yang tumbuh tanpa figur ayah berisiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental, perilaku adiktif, hingga menurunnya kesejahteraan sosial. Dengan demikian, toxic masculinity bukan hanya ancaman terhadap individu laki-laki, tetapi juga terhadap ketahanan keluarga dan masyarakat. Toxic masculinity bukan hanya merugikan laki-laki, tapi juga perempuan dan anak-anak yang mencintai mereka. Ia menjelma menjadi masalah sosial yang melahirkan ketidakseimbangan baru di rumah, di tempat kerja, hingga di masyarakat.

Dalam konteks kesehatan masyarakat, fenomena ini menjelma menjadi masalah struktural seperti meningkatnya beban ekonomi keluarga, menurunnya produktivitas, hingga risiko intergenerasional, di mana pola maskulinitas beracun diwariskan kembali pada generasi berikutnya.

Membangun Ulang Makna 'Kuat' Bersama

Seharusnya sekarang adalah saatnya kebijakan kesehatan menempatkan maskulinitas sebagai determinan sosial kesehatan. Sudah waktunya kita semua, laki-laki maupun perempuan, memaknai ulang kata “kuat.” Kuat bukan berarti menahan sakit. Kuat bukan berarti bekerja tanpa istirahat. Kuat justru berarti berani menjaga diri dan mengakui bahwa kita juga butuh pertolongan. Perempuan tidak membutuhkan laki-laki yang “tak pernah lemah”, mereka membutuhkan laki-laki yang mau hidup lebih lama, yang mau memeriksakan diri, yang mau hadir dalam tumbuh kembang anak-anaknya. Kesehatan laki-laki adalah bagian dari kesehatan keluarga dan hak kemanusiaan. Kampanye kesehatan yang berbasis gender seharusnya lebih meluas serta menggandeng kesehatan laki-laki dan menanamkan pola pikiran untuk hidup bukan untuk dirinya sendiri, namun juga untuk keluarganya. Karena pada akhirnya, memperjuangkan kesehatan laki-laki bukan bentuk rivalitas gender, melainkan tindakan kasih sayang, agar setiap ayah, suami, dan anak laki-laki bisa tetap hidup sehat, panjang umur, dan hadir sepenuhnya dalam kehidupan orang-orang yang mencintainya.

- Ratu Syifa, Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image