Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Shofiya Nafsan Zakiyyah

Ketika Media Sosial Menghapus Ruang untuk Sedih

Gaya Hidup | 2025-11-06 08:55:25
Sumber: Pinterest

Di tengah derasnya arus unggahan yang penuh tawa dan kata-kata motivasi, kita hidup di zaman ketika kesedihan seolah kehilangan tempatnya. Media sosial kini tidak hanya menjadi ruang berbagi, tapi juga panggung untuk menunjukkan bahwa hidup harus selalu bahagia. Setiap hari, lini masa kita dipenuhi kalimat seperti “tetap semangat”, “jangan overthinking”, atau “lihat sisi positifnya”. Sekilas kalimat-kalimat itu terdengar menenangkan, tetpi perlahan membentuk budaya baru, yaitu budaya yang membuat kita takut untuk bersedih.

Fenomena ini dikenal sebagai toxic positivity, yaitu kecenderungan untuk terus berpikir positif dan menolak segala bentuk emosi negatif. Pada dasarnya, berpikir positif bukanlah hal yang salah. Namun, ketika seseorang dipaksa untuk selalu terlihat bahagia dan tidak menunjukkan kesedihan, disitulah muncul bahaya yang tersembunyi. Masyarakat secara tidak sadar menciptakan standar emosional baru bahwa yang pantas dibagikan hanyalah kebahagiaan bukan kesedihan.

Media sosial berperan besar dalam membentuk budaya tersebut. Algoritma lebih sering mengangkat unggahan yang cerah, penuh warna, dan membawa “vibes positif”. Sementara itu, postingan yang mengekspresikan kegelisahan atau kekecewaan sering diabaikan, bahkan dikritik. Akibatnya, banyak orang memilih untuk menutupi perasaan sebenarnya agar terlihat kuat, bahagia, dan inspiratif. Mereka mulai menilai emosi negatif sebagai sesuatu yang memalukan, bukan bagian dari kehidupan yang wajar.

Padahal, dalam perspektif kesehatan mental, setiap emosi termasuk sedih, marah, atau kecewa memiliki fungsi adaptif. Misalnya, kesedihan membantu seseorang memahami kehilangan, merenungkan makna, dan akhirnya pulih secara emosional. Ketika seseorang menekan perasaan itu demi terlihat baik-baik saja, mereka kehilangan kesempatan untuk memproses emosi dengan sehat. Tekanan seperti ini dapat menumpuk menjadi stres kronis, gangguan kecemasan, hingga depresi yang sulit dikenali.

Kejadian ini tidak hanya terjadi pada individu, tetapi juga dapat berpengaruh secara sosial. Di ruang digital, muncul semacam “sensor sosial” terhadap perasaan negatif. Ungkapan jujur tentang kelelahan dianggap menyebarkan energi buruk, curahan hati dianggap drama. Bahkan, empati mulai digantikan oleh nasihat instan seperti “jangan sedih, nanti juga lewat”. Sikap semacam inilah yang membuat media sosial kehilangan fungsi alaminya sebagai ruang berbagi pengalaman manusiawi.

Dari sudut pandang kesehatan masyarakat, toxic positivity dapat mempersempit ruang dialog tentang kesehatan mental. Ketika masyarakat terlalu menekankan pentingnya menjadi kuat dan bahagia, isu depresi, stres kerja, atau burnout justru tersingkirkan. Seseorang yang mengalami tekanan batin cenderung menutup diri karena takut dianggap lemah. Padahal, keterbukaan dan dukungan sosial merupakan komponen penting dalam pencegahan masalah kesehatan mental di masyarakat modern.

Kita juga perlu memahami bahwa tidak semua bentuk dukungan emosional berarti memberi semangat. Kadang, yang dibutuhkan seseorang bukan kata-kata positif, melainkan ruang aman untuk diakui kesedihannya. Menerima perasaan negatif bukan berarti menyerah pada keadaan, tetapi mengizinkan diri untuk menjadi manusia seutuhnya. Mengizinkan diri untuk bersedih adalah bagian dari proses penyembuhan yang sehat.

Media sosial bisa menjadi tempat yang lebih manusiawi jika kita mulai mengubah cara berinteraksi di dalamnya. Cobalah untuk menahan diri dari menasihati ketika seseorang bercerita tentang kesulitannya. Hadir, dengarkan, dan validasi perasaannya tanpa menghakimi. Mulailah untuk membagikan kisah nyata, bukan hanya momen bahagia. Kejujuran emosional seperti ini dapat mengembalikan keseimbangan antara optimisme dan empati di dunia maya.

Tidak ada yang salah dengan bahagia, tapi kebahagiaan yang dipaksakan justru menjauhkan kita dari ketenangan hati. Di balik unggahan penuh senyum, ada banyak jiwa yang sebenarnya lelah, tetapi takut terlihat rapuh. Sudah saatnya kita menormalisasi kesedihan sebagaimana kita merayakan kebahagiaan. Sebab, menjadi manusia bukan hanya tentang menjadi kuat, melainkan berani mengakui ketika kita sedang tidak baik-baik saja.

Di era yang penuh senyum digital, kejujuran terhadap eosi sendiri bisa menjadi bentuk keberanian paling nyata. Mungkin, dengan memberi ruang bagi kesedihan, kita justru sedang belajar menjadi manusia yang lebih sehat, bukan hanya di dunia maya, tapi juga di kehidupan yang sesungguhnya. Dan mungkin, dari keberanian untuk bersedih itulah, kebahagiaan sehati akhirnya menemukan jalannya sendiri.

Sumber Referensi

Lau Ung Mui, & Jamayah S. (2024). Toxic Postivity and Its Role Among Young Adult Workers. Journal of Cognitive Sciences and Human Development, 10(1), 50-69.

Kumparan. (2025). Jangan Dipaksa Bahagia: Mengenal dan Menghindari Toxic Positivity. Diakses dari https://kumparan.com/kreatifsmi/jangan-dipaksa-bahagia-mengenal-dan-menghindari-toxic-positivity-24AO5RqUXSM

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image