Suara Hewan yang Diutarakan
Pets and Garden | 2025-11-05 22:31:15
Di dunia yang begitu sibuk dengan urusan manusia, suara hewan sering kali tidak terdengar. Mereka tidak bisa berbicara, tidak bisa mengadu ketika sakit, atau memohon ketika diabaikan. Padahal, di balik tatapan seekor kucing yang diam atau gonggongan pelan seekor anjing yang cemas, tersimpan pesan yang ingin mereka sampaikan.
Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mengamati suasana di Rumah Sakit Hewan Pendidikan (RSHP) Universitas Airlangga. Hari itu, 14 Oktober 2025, suasananya cukup ramai. Seekor anjing kecil menggeliat resah di pangkuan pemiliknya, sementara seekor kucing bersembunyi di dalam boks dengan mata waspada. Di ruang tunggu itu, ada kesabaran, empati, dan sedikit kekhawatiran yang menyatu. Bukan hanya dari pemilik hewan, tetapi juga dari para dokter hewan muda yang siap membantu.
Dari luar mungkin tampak sederhana, sekadar tempat pemeriksaan hewan. Tapi di balik setiap tindakan medis, ada empati yang bekerja. Seorang dokter hewan tidak hanya harus memahami penyakit, tapi juga bahasa diam seekor makhluk yang tak bisa berkata-kata. Seekor kucing yang menolak disentuh, seekor anjing yang menunduk ketakutan, semua punya cerita yang menuntut kesabaran dan kelembutan.
Saya belajar bahwa menjadi dokter hewan bukan hanya soal menyembuhkan luka, tapi juga menjaga keseimbangan hidup. Dalam konsep One Health, kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan tidak bisa dipisahkan. Jika salah satunya terganggu, yang lain ikut terdampak. Dari sinilah profesi dokter hewan menjadi garda depan dalam menjaga keseimbangan itu.
Namun, ruang kerja dokter hewan tidak berhenti di klinik. Mereka juga bekerja di lapangan, mencegah penyakit zoonosis seperti rabies, flu burung, dan leptospirosis. Mereka memastikan hewan ternak sehat, menjaga kualitas pangan, dan melindungi masyarakat dari risiko penyakit menular. Kadang tanpa tepuk tangan, tanpa sorotan, tetapi dengan pengabdian yang nyata.
Sekarang, dunia kedokteran hewan terus berkembang. Ada yang meneliti bioteknologi, ada yang terjun di konservasi satwa liar, bahkan ada yang berinovasi lewat bisnis produk perawatan hewan yang ramah lingkungan. Profesi ini tak lagi terbatas di ruang praktik, tapi meluas seiring dengan meningkatnya kesadaran manusia bahwa hewan juga bagian dari keluarga dan kehidupan.
Meski begitu, saya masih sering melihat hewan yang dibawa ke klinik ketika kondisinya sudah parah. Masih banyak yang belum paham bahwa pencegahan lebih penting daripada pengobatan. Kadang, empati baru muncul saat sudah terlambat. Padahal, dokter hewan tak hanya bertugas mengobati, tapi juga mendidik tentang kasih sayang, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap kehidupan.
Melihat interaksi antara pemilik dan hewan di RSHP hari itu membuat saya berpikir bahwa setiap tatapan mata hewan, baik yang tenang maupun cemas, seolah berbicara. Mereka menyampaikan sesuatu yang mungkin tidak bisa diterjemahkan kata-kata. Bahwa mereka pun ingin hidup sehat, ingin diperhatikan, dan ingin disayangi.
Menjadi dokter hewan, bagi saya, bukan hanya profesi, tapi panggilan hati. Ia menuntut ilmu pengetahuan, tapi juga empati. Karena dalam setiap tindakan kecil, seperti memberi vaksin, membersihkan luka, atau sekadar menenangkan hewan yang takut pasti ada nilai kemanusiaan yang besar.
Di tengah kemajuan teknologi dan dunia yang semakin individualistis, empati seperti ini menjadi hal yang langka. Namun, justru di situlah profesi dokter hewan menemukan maknanya. Ia mengingatkan kita bahwa kehidupan tidak hanya milik manusia, melainkan seluruh ciptaan Tuhan.
Sebab meskipun hewan tidak bersuara dengan kata, mereka tetap berbicara dengan cara lain; melalui tatapan, gerak tubuh, atau keheningan yang menyentuh hati. Dan di sanalah kita belajar satu hal penting: menjaga hewan berarti menjaga kehidupan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
