Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image gabriella livia

Di Antara Ilmu dan Nurani: Menjadi Dokter yang Memanusiakan Pasien

Lain-Lain | 2025-11-05 20:34:13

Lebih dari Sekadar Keahlian Medis

Profesi dokter sering kali identik dengan kompetensi tinggi dan beban tanggung jawab yang mengemban nyawa. Mereka adalah garda terdepan saat manusia berada pada titik yang paling rapuh, di antara sakit dan sembuh, di tengah optimisme dan ketakutan. Namun, menjadi dokter yang baik bukan semata soal menguasai ilmu-ilmu kedokteran. Keahlian klinis memang penting, tetapi kualitas dokter juga ditentukan oleh kemampuan berkomunikasi secara efektif dan menempatkan empati dalam setiap interaksi dengan pasien.

Empati: Fondasi Penyembuhan Sejati

Empati dalam praktik kedokteran sangat penting karena tidak hanya membantu dokter memahami perasaan dan perspektif pasien, tetapi juga berdampak langsung pada hasil perawatan. Pasien yang dilayani dengan empati cenderung lebih mudah memahami kondisi kesehatannya, lebih patuh terhadap pengobatan, merasa lebih puas dengan pelayanan, serta mengalami stres yang lebih rendah. Bahkan penelitian terbaru menunjukkan bahwa empati dokter dapat memengaruhi sistem imun pasien terhadap penyakit ringan seperti flu melalui perubahan kadar interleukin-8. Dengan kata lain, empati bukan sekadar sikap, melainkan bagian integral dari penyembuhan.

Cermin Kurangnya Empati dalam Praktik Sehari-hari

Meskipun manfaat empati telah banyak dibuktikan, kenyataannya masih banyak dokter yang belum mempraktikkan sikap ini dengan optimal. Dalam pengamatan salah satu rumah sakit di Surabaya, sejumlah hal kecil mencerminkan masih kurangnya penerapan komunikasi dan empati dalam praktik sehari-hari. Misalnya, ada pasien yang harus berinisiatif menanyakan sendiri hasil rontgen yang sebenarnya sudah lama selesai karena tidak ada informasi lanjutan dari dokter. Padahal, penyampaian hasil pemeriksaan seharusnya menjadi bagian penting dalam membangun pemahaman dan kepercayaan pasien terhadap proses pengobatan.

Selain itu, dalam beberapa interaksi, dokter tampak kurang memperhatikan kontak mata saat berbicara dengan pasien. Komunikasi sering kali berlangsung terburu-buru, dengan nada yang datar dan minim tatapan, seolah pasien hanya bagian dari rutinitas kerja. Kurangnya perhatian terhadap ekspresi dan kondisi emosional pasien membuat dokter kerap gagal memberikan respons yang tepat terhadap kecemasan atau rasa takut yang tengah dirasakan. Padahal, perhatian sederhana seperti menatap, mendengarkan, atau sekadar mengangguk bisa memberi rasa dihargai dan dipahami.

Di ruang gawat darurat, terlihat pula dokter yang menaruh stetoskop sembarangan di meja registrasi, seolah ruang itu hanya tempat kerja biasa, bukan ruang yang menyimpan kecemasan banyak orang. Ada pula momen ketika dokter tampak kesulitan mengingat nama pasien atau ruang perawatan mereka, hingga komunikasi dengan keluarga pasien berlangsung kaku dan kurang personal.

Dalam satu kesempatan, seorang dokter bahkan menunjuk arah ruangan dengan gestur yang kurang sopan saat memberi petunjuk kepada keluarga pasien. Sekilas mungkin tampak sepele, tetapi bagi orang yang sedang cemas menunggu kabar anggota keluarganya, sikap semacam ini bisa terasa menambah jarak emosional antara tenaga medis dan pasien.

Ketika Empati Hadir dalam Wujud Nyata

Namun, di sisi lain, ada pula dokter yang mampu menunjukkan empati secara tulus serta menerapkan komunikasi efektif dalam setiap interaksi dengan pasien. Saat berbicara, pandangannya tertuju penuh pada pasien, memperlihatkan perhatian dan pengertian yang mendalam. Ia tidak hanya memahami kondisi fisik pasien, tetapi juga mempertimbangkan aspek mental, sosial, hingga spiritual yang turut memengaruhi proses penyembuhan.

Dalam salah satu momen, ketika seorang pasien mengeluhkan biaya pengobatan yang dirasa berat, dokter tersebut dengan sabar menjelaskan berbagai alternatif solusi, termasuk mengarahkan pasien untuk memanfaatkan layanan BPJS. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa empati tidak selalu hadir dalam bentuk besar, melainkan dalam perhatian kecil yang membuat pasien merasa didengar, dimengerti, dan tidak sendirian menghadapi penyakitnya.

Menjadi Dokter yang Memanusiakan Manusia

Pada akhirnya, profesi dokter bukan hanya tentang menyembuhkan penyakit, tetapi juga tentang memanusiakan manusia. Di tengah kemajuan teknologi medis dan tekanan kerja yang tinggi, empati menjadi pengingat bahwa setiap pasien bukan sekadar kasus, melainkan individu dengan rasa takut, harapan, dan cerita hidup. Ketika ilmu dan empati berjalan beriringan, barulah penyembuhan sejati dapat tercapai, bukan hanya di tubuh, tetapi juga di hati.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image