Dilema Makan Sehat Anak Kos
Gaya Hidup | 2025-11-05 18:26:14
Setiap bulan, hampir semua mahasiswa yang tinggal di perantauan dihadapkan pada pilihan yang sama, yaitu antara membayar uang kos tepat waktu atau membeli makanan bergizi. Sebagai mahasiswa jurusan kesehatan masyarakat yang tinggal di kos-kosan, situasi ini terasa sangat menyakitkan. Saya belajar tentang pentingnya pola makan seimbang di kampus, tetapi di kehidupan sehari-hari, makanan instan justru menjadi pilihan utama karena harganya yang terjangkau. Masalah ini tidak hanya tentang perut kenyang, tetapi juga mencerminkan tantangan kesehatan masyarakat yang sering terjadi di sekitar saya.
Menurut survei kesehatan Indonesia tahun 2023, sebanyak 67,5% dari orang Indonesia hanya mengonsumsi buah segar dan sayur 1-2 porsi per minggu, jauh di bawah rekomendasi WHO yang menyarankan minimal 5 porsi per hari.Bahkan, 11,8% penduduk tidak sama sekali mengonsumsi buah atau sayur dalam seminggu. Hal ini semakin memburuk pada kelompok mahasiswa yang tinggal di kos dengan uang saku terbatas. Penelitian Amelia dkk (2020) menunjukkan bahwa 62,7% mahasiswa yang tinggal di kos memiliki pola makan yang tidak teratur dan cenderung memilih makanan instan. Dengan biaya kos di Surabaya rata-rata mencapai 500 ribu hingga 1 juta rupiah per bulan, sementara uang saku hanya 1,5 juta rupiah, maka sisa uang untuk makan sekitar 500 ribu atau 16 ribu rupiah per hari. Dengan angka tersebut, pilihan jatuh pada mi instan dengan harga 3 ribu rupiah dibandingkan nasi dengan sayur dan protein yang bisa mencapai 15-20 ribu rupiah per porsi.
Dampak dari kebiasaan ini sangat nyata.Konsumsi mi instan secara berlebihan berisiko menyebabkan peningkatan tekanan darah karena kandungan natrium yang tinggi, kekurangan serat yang memicu gangguan pencernaan, hingga defisiensi maktonutrien yang menyebabkan anemia dan menurunkan daya tahan tubuh. Dalam perspektif kesehatan masyarakat, ini bukan hanya masalah individu, tetapi juga terkait dengan determinan sosial kesehatan. Kondisi ekonomi dan lingkungan tempat tinggal memengaruhi akses seseorang terhadap makanan bergizi, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan masyarakat muda.
Untuk menyelesaikan masalah ini, diperlukan pendekatan yang melibatkan banyak pihak.Dari tingkat individu, mahasiswa perlu belajar merencanakan makan secara sederhana. Dengan membeli bahan mentah seperti telur, tempe, tahu, dan sayuran murah seperti kangkung atau wortel, lalu memasak untuk beberapa hari, biaya makan bisa ditekan hingga 30%. Mengatur prioritas dengan metode 50-30-20, di mana 50% uang digunakan untuk kebutuhan pokok seperti kos, 30% untuk makan, dan 20% untuk kebutuhan lain, akan membantu dalam mengelola uang lebih baik.
Di tingkat komunitas, pemilik kos bisa menyediakan dapur bersama dengan peralatan yang memadai agar mahasiswa bisa memasak sendiri.Kampus juga bisa meluncurkan program subsidi makan sehat atau kantin dengan harga terjangkau yang menyediakan makanan bergizi seimbang. Kerja sama antara kampus dengan warung makan sekitar juga bisa difasilitasi untuk memberikan diskon khusus mahasiswa atau paket hemat bergizi yang terjangkau.
Pada tingkat kebijakan, pemerintah daerah harus memikirkan aturan harga sewa kos yang adil atau memberi bantuan subsidi untuk makanan bagi mahasiswa yang kurang mampu. Program seperti kartu mahasiswa yang memudahkan akses ke makanan bergizi bisa dikembangkan, seperti sistem voucher makan di beberapa negara.
Masalah makan sehat anak kos bukan hanya urusan pribadi, melainkan isu kesehatan masyarakat yang harus diperhatikan secara serius.Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa harus memiliki akses yang cukup terhadap makanan bergizi. Jika tidak ada intervensi yang tepat, kita justru akan melahirkan generasi yang paham teori kesehatan, tapi tidak bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Saatnya semua pihak bekerja sama, karena investasi pada gizi mahasiswa sekarang adalah investasi pada kesehatan bangsa di masa depan.
Referensi:
Amelia, R., Huriyati, E., & Marsiswati, M. (2020). Hubungan Pola Makan dan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Mahasiswa. Jurnal Gizi Indonesia, 8(2), 110-117.
Kementerian Kesehatan RI. (2023). Survei Kesehatan Indonesia 2023. Jakarta: Kemenkes RI.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
