Apa Kabar Kesehatan Mental Kita? Film Abadi Nan Jaya Seperti Cermin Keluarga Indonesia
Info Terkini | 2025-11-05 15:51:08
Di layar kaca, ketika sebuah desa di jawa berubah dari tenang menjadi kacau karena wabah zombie, mungkin kita hanya melihat horor, teror dan efek seram. Namun film Abadi nan jaya membawa lebih dari itu : iya menyentuh sisi yang sering luput dari sorotan, Kesehatan mental keluarga dan bagaimana tekanan relasi serta budaya dapat membentuk fondasi emosi setiap individu.
Film ini mengambil latar di desa Wanirejo, dimana keluarga pemilik pabrik jamu, dipimpin oleh sadimin, berada di ujung ambisi dan kehancuran. Ia menemukan ramuan “awet mda” , yang kemudian memicu wabah zombi. Di tengah teror itu, konflik-konflik internal keluarga mulai terbuka : anak yang kecewa, istri yang merasa diabaikan, ambisi yang menyalip empati.
Keluarga sebagai medan tekanan emosional
Dalam film ini, keluarga bukan hanya latar ; ia adalah pusat konflik. Ketegangan antara ayah dan anak perempuannya, serta pernikahan baru ayahnya dengan sahabat anaknya, adalah gambaran mikro dari bagaimana dinamika emosional bisa “tertinggal” ketika fokus hanya pada bisnis, prestasi, atau citra. Mental seseorang sering terbeban bukan hanya karena trauma besar, tetapi karena hal-hal kecil yang terus-menerus: tidak didengar, merasa tak punya ruang, merasa harus selalu kuat. Film ini memvisualisasikan hal itu lewat pergolakan keluarga serta wabah yang metaforis—zombie sebagai simbol beban yang tertahan.
Tradisi, ambisi dan luka yang disembunyikan
Satu kekuatan film ini adalah bagaimana ia membungkus isu modern dalam tradisi lokal: usaha jamu tradisional, kampung, logat, lingkungan desa yang sangat “indonesia”.
Ketika tradisi dijadikan instrumen ambisi, ramuan awet muda yang menjanjikan keabadian, beban moral dan emosi muncul. Ambisi ini bukan hanya menyasar keuntungan, tapi juga identitas, harapan, dan rasa tanggung jawab. Dalam skala keluarga, ketika ambisi menutupi empati, maka komunikasi rusak dan luka emosional mulai muncul.
Kesehatan mental: lebih dari terapi, soal relasi
Biasanya kita mengaitkan kesehatan mental dengan program, terapi, psikiater. Namun film ini menunjukkan bahwa banyak hal bermula dari ruang paling kecil: rumah, meja makan, percakapan antara ayah-anak, suami-istri.
Ketika adegan zombie meledak, bukan hanya tubuh yang diserang—juga relasi yang sudah rapuh. Film ini mengajak kita bertanya: Apakah di keluarga kita ada ruang untuk “kurang baik”? Apakah kita saling mendengar? Apakah kita terbuka pada luka yang tampak kecil namun menumpuk?
Refleksi untuk kita semua
- Jangan menanti ledakan besar: Luka pikiran atau hati terkadang muncul perlahan. Sama seperti ramuan dalam film yang awalnya tampak menjanjikan, hal-hal yang tampak baik bisa menjadi petaka jika tidak dikelola.
- Bahasa keluarga itu kunci: Mendengarkan tanpa menghakimi, memberi ruang bagi kegagalan, memberi validasi terhadap perasaan—ini bukan sekadar kata-kata manis tapi fondasi kesehatan mental.
- Budaya “harus kuat” perlu dikritik: Film ini memperlihatkan bahwa membisu demi citra kuat bisa menimbulkan “zombie emosional”—manusia yang berjalan, berfungsi, tapi bagian dalamnya mati rasa.
- Relasi keluarga adalah cermin masyarakat: Jika di rumah kita sulit bicara, menyembunyikan, maka masyarakat juga akan kesulitan membangun kesehatan mental yang kolektif.
Apa kabar kesehatan mental kita?
Saat kita bertanya, “Apa kabar kesehatan mental kita?”—jawaban yang jujur mungkin bukan “baik-baik saja”, tapi “sedang dalam proses”. Film Abadi Nan Jaya bukan hanya film zombie; ia adalah cermin yang memantulkan kehidupan banyak keluarga di Indonesia. Bukan untuk menyalahkan siapa-siapa, tetapi untuk mengajak kita melihat luka sendiri, mulai membicarakannya, dan belajar bahwa keabadian ideal itu bukan tanpa luka—melainkan dengan kesediaan untuk sembuh bersama.
Mari kita mulai bukan dari grand change, tapi dari satu pertanyaan sederhana kepada anggota keluarga kita: “Bagaimana kabarmu hari ini?” Dan kemudian, benar-benar mendengarkan jawabannya.
Di layar kaca, ketika sebuah desa di jawa berubah dari tenang menjadi kacau karena wabah zombie, mungkin kita hanya melihat horor, teror dan efek seram. Namun film Abadi nan jaya membawa lebih dari itu : iya menyentuh sisi yang sering luput dari sorotan, Kesehatan mental keluarga dan bagaimana tekanan relasi serta budaya dapat membentuk fondasi emosi setiap individu.
Film ini mengambil latar di desa Wanirejo, dimana keluarga pemilik pabrik jamu, dipimpin oleh sadimin, berada di ujung ambisi dan kehancuran. Ia menemukan ramuan “awet mda” , yang kemudian memicu wabah zombi. Di tengah teror itu, konflik-konflik internal keluarga mulai terbuka : anak yang kecewa, istri yang merasa diabaikan, ambisi yang menyalip empati.
Keluarga sebagai medan tekanan emosional
Dalam film ini, keluarga bukan hanya latar ; ia adalah pusat konflik. Ketegangan antara ayah dan anak perempuannya, serta pernikahan baru ayahnya dengan sahabat anaknya, adalah gambaran mikro dari bagaimana dinamika emosional bisa “tertinggal” ketika fokus hanya pada bisnis, prestasi, atau citra. Mental seseorang sering terbeban bukan hanya karena trauma besar, tetapi karena hal-hal kecil yang terus-menerus: tidak didengar, merasa tak punya ruang, merasa harus selalu kuat. Film ini memvisualisasikan hal itu lewat pergolakan keluarga serta wabah yang metaforis—zombie sebagai simbol beban yang tertahan.
Tradisi, ambisi dan luka yang disembunyikan
Satu kekuatan film ini adalah bagaimana ia membungkus isu modern dalam tradisi lokal: usaha jamu tradisional, kampung, logat, lingkungan desa yang sangat “indonesia”.
Ketika tradisi dijadikan instrumen ambisi, ramuan awet muda yang menjanjikan keabadian, beban moral dan emosi muncul. Ambisi ini bukan hanya menyasar keuntungan, tapi juga identitas, harapan, dan rasa tanggung jawab. Dalam skala keluarga, ketika ambisi menutupi empati, maka komunikasi rusak dan luka emosional mulai muncul.
Kesehatan mental: lebih dari terapi, soal relasi
Biasanya kita mengaitkan kesehatan mental dengan program, terapi, psikiater. Namun film ini menunjukkan bahwa banyak hal bermula dari ruang paling kecil: rumah, meja makan, percakapan antara ayah-anak, suami-istri.
Ketika adegan zombie meledak, bukan hanya tubuh yang diserang—juga relasi yang sudah rapuh. Film ini mengajak kita bertanya: Apakah di keluarga kita ada ruang untuk “kurang baik”? Apakah kita saling mendengar? Apakah kita terbuka pada luka yang tampak kecil namun menumpuk?
Refleksi untuk kita semua
- Jangan menanti ledakan besar: Luka pikiran atau hati terkadang muncul perlahan. Sama seperti ramuan dalam film yang awalnya tampak menjanjikan, hal-hal yang tampak baik bisa menjadi petaka jika tidak dikelola.
- Bahasa keluarga itu kunci: Mendengarkan tanpa menghakimi, memberi ruang bagi kegagalan, memberi validasi terhadap perasaan—ini bukan sekadar kata-kata manis tapi fondasi kesehatan mental.
- Budaya “harus kuat” perlu dikritik: Film ini memperlihatkan bahwa membisu demi citra kuat bisa menimbulkan “zombie emosional”—manusia yang berjalan, berfungsi, tapi bagian dalamnya mati rasa.
- Relasi keluarga adalah cermin masyarakat: Jika di rumah kita sulit bicara, menyembunyikan, maka masyarakat juga akan kesulitan membangun kesehatan mental yang kolektif.
Apa kabar kesehatan mental kita?
Saat kita bertanya, “Apa kabar kesehatan mental kita?”—jawaban yang jujur mungkin bukan “baik-baik saja”, tapi “sedang dalam proses”. Film Abadi Nan Jaya bukan hanya film zombie; ia adalah cermin yang memantulkan kehidupan banyak keluarga di Indonesia. Bukan untuk menyalahkan siapa-siapa, tetapi untuk mengajak kita melihat luka sendiri, mulai membicarakannya, dan belajar bahwa keabadian ideal itu bukan tanpa luka—melainkan dengan kesediaan untuk sembuh bersama.
Mari kita mulai bukan dari grand change, tapi dari satu pertanyaan sederhana kepada anggota keluarga kita: “Bagaimana kabarmu hari ini?” Dan kemudian, benar-benar mendengarkan jawabannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
