Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adam David Nauval Kloatubun

AI Bukan Tuhan: Menemukan Kembali Makna Kemanusiaan di Era Digital

Teknologi | 2025-11-04 19:15:00

Kecerdasan buatan sekarang sudah jadi bagian sehari - hari. Dari rekomendasi musik sampai sistem seleksi kerja, keputusan yang dulu kita serahkan pada manusia kini sering diambil oleh algoritma. Kita memang menikmati kenyamanannya, proses lebih cepat dan tugas lebih ringan, tetapi ada bahaya yang mudah terlewat. Ketika kita memberi mesin wewenang tanpa menaruh perhatian pada nilai - nilai yang seharusnya mengawal keputusan itu.

Depositphotos: futuristic robot artificial intelligence huminoid

Masalahnya bukan soal kemampuan teknis AI, melainkan soal tujuan dan batasannya. Beberapa studi lokal menunjukkan betapa rentannya sistem otomatis terhadap bias yang terlewatkan saat desain dan data berasal dari praktik lama. Penelitian tentang penggunaan AI dalam seleksi karyawan di Makassar menemukan bahwa sistem bisa mereplikasi kecenderungan diskriminatif dalam data historis, sehingga beberapa pelamar yang sebenarnya kompeten justru tersingkir karena algoritma menilai berdasarkan pola lama yang tidak adil (Dipoatmodjo, 2025). Hal semacam ini jelas bukan sekadar kegagalan teknis; ini kegagalan etis yang berdampak nyata pada kehidupan orang.

Di bidang pendidikan, pengalaman guru dan siswa juga memperlihatkan celah yang sama. Alat pembelajaran otomatis yang tampak menguntungkan sering kali tidak memperhitungkan konteks sosial-budaya murid. Beberapa guru melaporkan keluaran sistem yang terasa “asing” bagi kondisi lokal dan kurang peka terhadap kebutuhan siswa yang berbeda-beda, sehingga bukannya memperluas akses belajar, teknologi itu justru melemahkan kualitas interaksi pendidikan (Hasanah et al., 2024; Apriliani, 2024). Kalau pola ini dibiarkan, kita berisiko menghadirkan pendidikan yang seragam tapi tidak adil.

Regulasi dan tata kelola menjadi kunci agar AI tidak menguatkan ketimpangan. Dalam beberapa kesempatan pemerintah menekankan pentingnya prinsip etika dan inklusivitas pada tata kelola AI, dan wacana itu perlu diterjemahkan ke kebijakan konkret yang melibatkan publik, bukan hanya pakar atau perusahaan teknologi (ANTARA, 2025). Selain regulasi, audit algoritma dan transparansi desain merupakan hal yang sangat penting. Masyarakat berhak tahu bagaimana data dikumpulkan, apa metrik yang dipakai, dan siapa yang bertanggung jawab ketika hasilnya merugikan orang. Tanpa mekanisme seperti itu, klaim “efisiensi” sering dipakai untuk menutupi dampak sosial yang merugikan.

Di sisi lain, AI juga menawarkan potensi positif untuk mencapai tujuan pembangunan. AI bisa membantu pengajaran personal, mempercepat layanan kesehatan, dan mendukung inovasi industri, asal akses dan manfaatnya merata. Namun laporan tentang adopsi generatif AI di perusahaan - perusahaan Indonesia memperlihatkan jurang kesiapan. Banyak organisasi belum memanfaatkan teknologi ini karena keterbatasan sumber daya manusia dan tata kelola yang belum matang (PwC Indonesia, 2024). Ini menunjukkan bahwa teknologi sendiri tidak otomatis menyelesaikan masalah, melainkan desain kebijakan dan kapasitas dari manusia yang menentukan apakah teknologi akan memperkuat atau memperlemah keadilan sosial.

Kalau kita ingin menjaga kemanusiaan di era digital, langkah pertama adalah sadar. Kewajiban memahami bagaimana AI bekerja harus tersebar ke ruang - ruang pendidikan, organisasi, dan masyarakat umum. Bukan supaya semua orang jadi programmer, melainkan supaya semua orang tahu implikasi dasar teknologi yang mempengaruhi hidup mereka. Lalu, proses pembuatan kebijakan harus inklusif, melibatkan kelompok yang rentan agar suara mereka tidak tertelan oleh narasi “kemajuan” yang semata - mata teknokratis.

Tanggung jawab tidak boleh berhenti pada kata-kata. Perusahaan yang mengembangkan produk AI perlu menerapkan standar etika dan membuka ruang audit independen. Pemerintah harus menyiapkan aturan yang jelas mengenai pertanggungjawaban ketika AI menyebabkan kerugian. Akademisi dan praktisi harus terus meneliti dampak nyata di lapangan, bukan hanya memuji kecanggihan model.

AI memang alat yang kuat, tetapi ia tetap alat. Menyematkan atribut ketuhanan pada mesin menganggapnya selalu benar, netral, atau di atas kritik adalah bentuk kelalaian. Kita yang mencipta, kita pula yang harus memastikan ciptaan itu melayani nilai - nilai kemanusiaan, keadilan, empati, dan martabat. Jika tidak, efisiensi yang dijanjikan akan mengorbankan hal paling mendasar yang membuat hidup bersama bermakna.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image