Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Setyawan Adhi Nugroho

Manajemen Publik di Persimpangan Digital

Kebijakan | 2025-11-04 14:14:57

Digitalisasi kini menjadi wajah baru dari pemerintahan modern. Hampir setiap instansi, dari kementerian hingga kelurahan, berlomba melakukan transformasi digital sebagai simbol kemajuan dan efisiensi. Beragam aplikasi pelayanan publik hadir dengan janji kecepatan, kemudahan, dan transparansi. Namun di balik semangat tersebut, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana transformasi digital benar-benar meningkatkan efektivitas manajemen sektor publik di Indonesia?

Pertanyaan ini penting karena digitalisasi seharusnya bukan sekadar mengganti sistem manual dengan sistem daring, melainkan mengubah cara berpikir dan cara kerja birokrasi. Sebab, di banyak tempat, teknologi baru hanya menambah lapisan administratif tanpa mengubah budaya kerja. Akibatnya, digitalisasi berjalan, tetapi efektivitas kinerja publik tetap jalan di tempat.

Efektivitas dalam manajemen sektor publik pada hakikatnya tidak diukur dari banyaknya aplikasi, proyek, atau perangkat teknologi yang digunakan pemerintah, melainkan dari sejauh mana perubahan itu meningkatkan nilai public (public value). Artinya, apakah masyarakat benar-benar merasakan manfaat dari sistem digital yang dibangun, baik dalam bentuk pelayanan yang lebih cepat, kebijakan yang lebih tepat sasaran, maupun akuntabilitas yang lebih tinggi. Di sinilah kita perlu menakar kembali efektivitas manajemen sektor publik di tengah arus digitalisasi yang melaju cepat.

Tulisan ini mencoba menyoroti tiga pilar utama dalam menakar efektivitas manajemen sektor publik di era digital: tantangan efektivitas dan jebakan digitalisasi prosedural, kebutuhan akan integrasi dan tata kelola berbasis data, serta pentingnya kepemimpinan dan nilai publik sebagai fondasi transformasi digital.

Tantangan Efektivitas dan Jebakan Digitalisasi Prosedural

Birokrasi Indonesia sejak lama berupaya bertransformasi menuju tata kelola yang efisien dan berorientasi hasil. Namun, di lapangan, digitalisasi sering kali berhenti pada tahap administratif, bukan manajerial. Banyak instansi sibuk membuat aplikasi untuk hampir setiap urusan, tanpa memikirkan integrasi, pemanfaatan data, atau kemudahan bagi pengguna. Audit BPKP pada 2023 mencatat terdapat lebih dari 27.000 aplikasi pelayanan publik di Indonesia, namun sebagian besar tidak berfungsi optimal dan hanya dipakai sesekali. Aplikasi dibuat, anggaran terserap, tetapi dampak terhadap pelayanan publik nyaris tak terlihat.

Inilah yang disebut banyak pengamat sebagai digitalisasi procedural, digitalisasi yang hanya mengubah bentuk, bukan substansi. Alih-alih mempercepat, sistem digital yang tidak terintegrasi justru memperlambat alur kerja karena menambah lapisan pelaporan. Aparatur harus mengisi data ke beberapa sistem sekaligus, sementara masyarakat kebingungan memilih kanal layanan yang benar. Akibatnya, teknologi yang seharusnya menjadi instrumen efisiensi berubah menjadi beban administratif baru.

Padahal, seperti dikemukakan Osborne dan Gaebler dalam Reinventing Government (1992), pemerintahan yang efektif bukanlah yang sibuk mengatur, melainkan yang mampu memfasilitasi, memberdayakan, dan menciptakan hasil. Prinsip ini seharusnya menjadi roh dalam setiap proses digitalisasi sektor publik. Artinya, teknologi informasi tidak boleh berhenti sebagai proyek, tetapi harus menjadi bagian dari manajemen perubahan.

Masalah efektivitas di sini sebenarnya bukan pada teknologinya, melainkan pada governance-nya—bagaimana sistem diatur, dioperasikan, dan diawasi. Tanpa kerangka manajemen yang kuat, transformasi digital hanya akan melahirkan birokrasi baru dalam bentuk virtual. Kita seolah modern, padahal masih terjebak dalam pola lama: administratif, terfragmentasi, dan berorientasi pada rutinitas, bukan hasil.

Untuk keluar dari jebakan itu, manajemen sektor publik harus menempatkan efektivitas sebagai ukuran utama. Efektivitas berarti kemampuan mencapai tujuan secara tepat, dengan penggunaan sumber daya yang efisien, serta menghasilkan dampak nyata bagi masyarakat. Maka, digitalisasi hanya akan bermakna jika mampu menyederhanakan proses, memperkuat koordinasi, dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Integrasi dan Tata Kelola Berbasis Data

Transformasi digital pemerintahan yang efektif memerlukan tata kelola data yang terpadu. Data adalah darah dalam sistem manajemen publik modern. Tanpa data yang akurat, kebijakan publik akan kehilangan arah, dan sistem digital hanya menjadi etalase tanpa isi. Sayangnya, tata kelola data di sektor publik Indonesia masih terpecah-pecah. Setiap lembaga memiliki platform sendiri, dengan format dan standar yang berbeda-beda. Akibatnya, data tidak saling bicara, dan keputusan sering diambil berdasarkan intuisi, bukan bukti.

Di sinilah pentingnya Digital Public Management, konsep yang dikembangkan dari New Public Management namun berfokus pada integrasi informasi dan pengelolaan kinerja berbasis data. Dunleavy dan Margetts (2006) menekankan bahwa efektivitas manajemen publik di era digital tergantung pada kemampuan pemerintah mengelola data lintas sektor untuk mendukung koordinasi kebijakan dan akuntabilitas publik.

Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah memulai langkah ke arah itu melalui inisiatif GovTech Indonesia dan Satu Data Indonesia. Tujuannya adalah menyatukan seluruh aplikasi dan sistem informasi agar pelayanan publik menjadi satu pintu, mudah diakses, dan efisien. Namun, integrasi sistem tidak bisa hanya dilakukan secara teknis, melainkan juga manajerial. Perlu kesadaran bahwa tata kelola data bukan proyek teknologi, melainkan strategi manajemen.

Manajemen publik berbasis data juga menuntut perubahan cara berpikir. Keputusan tidak boleh didasarkan pada hierarki atau kebiasaan, melainkan pada analisis yang obyektif. Jika data menunjukkan pelayanan tertentu tidak efektif, manajer publik harus berani melakukan penyesuaian. Ini membutuhkan budaya organisasi yang terbuka terhadap evaluasi dan pembelajaran.

Lebih dari itu, integrasi data juga memperkuat akuntabilitas. Dengan sistem digital yang transparan, publik bisa memantau kinerja pemerintah secara langsung. Dashboard kinerja, portal anggaran, dan pelaporan daring memungkinkan masyarakat ikut menilai efektivitas kebijakan. Dalam konteks ini, digitalisasi bukan sekadar mempermudah pelayanan, tetapi juga memperdalam demokrasi. Ia membuka ruang partisipasi warga dalam pengawasan kebijakan dan penggunaan anggaran.

Namun, kita juga perlu waspada terhadap jebakan baru: “transparansi semu”. Tidak semua sistem digital berarti akuntabel. Tanpa standar etika dan pengawasan, data publik bisa disalahgunakan atau disembunyikan di balik algoritma. Oleh karena itu, manajemen publik modern harus dibangun di atas prinsip digital ethics, yakni integritas dalam pengelolaan data, perlindungan privasi warga, dan tanggung jawab moral dalam pengambilan keputusan berbasis data.

Integrasi data yang baik juga akan memperkuat efektivitas di tingkat daerah. Banyak pemerintah daerah yang sebenarnya memiliki potensi inovasi luar biasa, tetapi gagal berkembang karena data pelayanan, keuangan, dan kependudukan tidak saling terhubung. Akibatnya, kebijakan menjadi tumpang tindih dan sulit diukur dampaknya. Jika pemerintah daerah memiliki sistem data terpadu, maka setiap kebijakan bisa dievaluasi secara obyektif berdasarkan hasil, bukan sekadar laporan. Inilah arah baru manajemen sektor publik: data-driven governance.

Kepemimpinan dan Nilai Publik sebagai Fondasi Transformasi Digital

Digitalisasi pemerintahan tidak akan efektif tanpa kepemimpinan yang mampu mengelola perubahan. Teknologi hanyalah alat; manusialah yang menentukan arah dan nilai penggunaannya. Dalam konteks manajemen sektor publik, kepemimpinan transformasional menjadi kunci. Pemimpin publik harus mampu menjadi penggerak perubahan, bukan sekadar pengawas prosedur.

Menurut Mark Moore (1995), tujuan utama manajemen publik adalah menciptakan public value, nilai publik yang memberi manfaat nyata dan memperkuat legitimasi pemerintah. Pemimpin publik yang berorientasi nilai publik akan selalu menempatkan warga sebagai pusat dari setiap kebijakan, bukan sistem atau struktur organisasi. Digitalisasi harus dilihat sebagai sarana untuk memperbesar nilai publik itu, bukan sebagai tujuan itu sendiri.

Sayangnya, banyak transformasi digital di sektor publik gagal karena tidak dibarengi transformasi kepemimpinan. Pemimpin masih menilai keberhasilan dari jumlah aplikasi yang diluncurkan, bukan dari peningkatan kepuasan masyarakat. Padahal, kepemimpinan digital bukan soal memahami teknologi, tetapi soal kemampuan menggerakkan manusia agar bekerja lebih efisien, kolaboratif, dan berorientasi hasil.

Kepemimpinan semacam ini menuntut perubahan budaya organisasi. Aparatur harus didorong menjadi pembelajar, bukan sekadar pelaksana. Mereka harus mampu menggunakan data untuk menganalisis masalah, mencari solusi, dan berinovasi. Ketika setiap pegawai publik memahami makna pekerjaannya dalam menciptakan nilai publik, maka sistem digital akan menjadi alat pemberdayaan, bukan paksaan.

Selain kepemimpinan, nilai publik juga harus menjadi fondasi moral dari transformasi digital. Akuntabilitas, transparansi, integritas, dan pelayanan harus menjadi prinsip dasar dalam setiap desain sistem digital pemerintah. Tanpa nilai-nilai itu, teknologi hanya mempercepat kesalahan yang sama. Karena itu, reformasi manajemen sektor publik di era digital harus berjalan seiring dengan reformasi etika publik.

Kita bisa belajar dari sejumlah daerah yang berhasil mengelola transformasi digital secara efektif karena memiliki pemimpin dengan visi nilai publik yang jelas. Mereka tidak sekadar membuat aplikasi, tetapi menata ulang proses pelayanan agar lebih sederhana dan manusiawi. Digitalisasi digunakan untuk mendekatkan pemerintah dengan warga, bukan menjauhkan. Penggunaan teknologi diarahkan untuk membangun kepercayaan, bukan sekadar efisiensi.

Dengan demikian, efektivitas manajemen sektor publik di era digital bergantung pada keseimbangan antara sistem dan manusia, antara data dan nilai, antara teknologi dan moralitas. Pemerintah yang efektif bukan hanya yang canggih teknologinya, tetapi yang mampu menjadikan teknologi sebagai instrumen keadilan dan kemanfaatan sosial.

Penutup: Dari Sistem ke Nilai

Transformasi digital adalah keniscayaan. Namun, kita perlu memastikan bahwa arah perubahan ini tidak kehilangan esensi manajemen sektor publik: melayani masyarakat dengan lebih baik, cepat, dan akuntabel. Tantangan ke depan bukan lagi sekadar membangun sistem digital, melainkan menata ulang cara berpikir dan bekerja birokrasi agar lebih efektif dan berorientasi nilai publik.

Menakar efektivitas manajemen sektor publik berarti menilai sejauh mana transformasi digital benar-benar menciptakan dampak positif bagi warga. Efektivitas tidak diukur dari jumlah aplikasi atau kecepatan sistem, tetapi dari seberapa besar kepercayaan publik tumbuh karena layanan menjadi lebih terbuka dan adil.

Pemerintahan yang efektif di era digital adalah pemerintahan yang mampu mengubah data menjadi keputusan, keputusan menjadi kebijakan, dan kebijakan menjadi kesejahteraan. Bukan yang sibuk menambah sistem, melainkan yang berani menata nilai. Sebab, di ujung semua modernisasi ini, tujuan utamanya tetap sama: menghadirkan nilai publik bagi rakyat Indonesia.

Tentang Penulis:

Setyawan Adhi Nugroho, mahasiswa Magister Administrasi Publik, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image