Originalitas dan Sunyinya Pasar Palasari di Era Digital
Gaya Hidup | 2025-11-04 13:32:56
Akhir pekan digunakan siapa saja mengunjungi berbagai destinasi untuk melepas penat. Tapi sepertinya, tak banyak yang memasukkan Pasar Buku Palasari untuk dikunjungi di akhir pekan.
Jalanan sepi nan hangat dari sorot cahaya matahari menyembul dari sela-sela pohon rindang yang menaungi jajaran kios-kios di Palasari. Begitu pula dengan jajaran motor pengunjung yang tak bisa dibilang banyak.
Pasar buku palasari. Tempat ini sering disebut tempat hunting para pecinta bacaan. Destinasi wajib para pemburu bacaan yang sudah kehabisan bahan baca. Namun realita yang bisa dilihat saat ini justru sebaliknya. Entah kemana para penggemar bacaan itu. Era digital seperti menggerusnya hilang hingga pasar buku Palasari jarang disapa pembeli.
Menyusuri kios-kios buku yang disambut sapaan hangat para pedagang. Menawarkan jualan mereka atau sekedar menanyakan kebutuhan apa yang bisa mereka carikan. Tak luput, ada beberapa pedagang yang bergegas ke kios lainnya untuk mencarikan barang yang diingankan pembeli namun tak tersedia di kiosnya.
Mampir ke salah satu toko buku yang tak jauh jaraknya dari tempat parkir karena pajangan buku-bukunya yang lumayan menggiurkan. Tersedia buku dengan judul-judul baru dan terbitan tahun terkini.
Ada salah satu judul buku yang mencuri perhatian. Tapi nampaknya ada sesuatu yang janggal. Sekilas memang tak ada bedanya dengan buku-buku yang dipajang di toko buku besar yang berada di pusat perbelanjaan. Rapih terbungkus plastik dengan kondisi mulus. Cover buku yang biasa beredar nampak simestris dan rapih ditambah dengan warnanya yang tajam, namun buku yang terpajang di kios ini tidak simetris dan berwarna pudar.
Saat menanyakan harga, siapa saja akan membeli buku ini tanpa berpikir dua kali. Siapa yang tak tergiur dengan harga murah dikantong namun tetap bisa menikmati buku baru yang jika tidak teliti, bisa terlihat seperti asli.
“Ini harganya 45.000 neng. Kualitas kw” tawar sang pedagang.
Hampir setengah harga dari harga buku yang dijual di toko buku besar. Penjual menawarkan seakan ini adalah hal lumrah. Tapi harga memang tidak akan bisa membohongi kualitas. Beberapa buku dengan kualitas palsu bisa dilihat dari warna cover, kertas yang digunakan di dalamnya dan tidak adanya tekstur timbul dari judul yang tertulis. Ini bisa dijadikan patokan untuk berhati-hati agar tidak terkecoh dengan harga buku miring yang ditawarkan.
Berlanjut memasuki lorong diantara kios-kios dengan sapaan para pedagangnya yang tak pernah berhenti. Kios kios disini ternyata semakin banyak yang sudah tutup. Sangat berbanding terbalik dengan yang biasa terlihat di sosial media. Yang terlihat disana masih banyak kios yang buka. Tapi lagi-lagi sepertinya bisnis berjualan buku akan segera lumpuh total jika para pengunjung tak ada yang menyambangi.
Salah seorang pedagang menyapa sambil menawari jualan bukunya yang menurutnya sangat cocok dibaca oleh kaula muda khususnya mahasiswa. Beliau juga mengunggulkan buku jualannya dengan harga setara buku bekas tapi kualitas original.
“Ini buku cocok buat mahasiswa. Buku sastra karya penulis India. Judulnya Pater Pancali” ucapnya.
Tak hanya menawarkan buku saja, beliau juga mengeluarkan beberapa koleksi dagangannya, seperti kumpulan cerpen atau puisi, tentu dengan terselip beberapa buku bajakannya.
“Buku originalnya banyak, ada cerpen, ada juga kumpulan puisi. Ini semuanya original karena masih sisa beberapa stok. Nah buat yang sudah susah dicari itu cuman ada yang kw” Jelasnya.
Para pedagang disini paham betul dengan kebutuhan pembelinya. Mereka akan menyesuaikan atau memberi rekomendasi untuk mahasiswa, pelajar SMA atau SMP, anak-anak dan lainnya. Selain memberi rekomendasi bacaan, mereka juga juga memberi rekomendasi nama-nama penulis yang karyanya bisa dijadikan pilihan bacaan.
Semakin ditelusuri ternyata kios yang tutup semakin banyak. Pasar Palasari yang pada awalnya adalah pasar rakyat yang menjual kebutuhan pokok. Para penjual awalnya berjualan di kawasan Cikapundung. Sekitar tahun 1970-1980 pasar Palasari dibangun melalui program Inpres. Saat itu bangunannya masih dengan 2 lantai dengan pedagang buku menempati lantai bawah. Pasar Palasari juga sempat mengalami tragedi kebakaran pada tahun 1993 dan 2007.
“Dulu itu pasar ini ya pasar biasa yang jualan sembako di Cikapundung. Nah terus pasar Palasari dibangun lewat program Inpres sekitar tahun 1970-1980 an lah. Pas itu si masih 2 lantai, yang jualan buku di lantai bawah. Pernah juga pasar ini kena kebakaran tahun 1993 sama 2007” Tutur salah satu pedagang.
Kini dengan beberapa kios yang masih bertahan setelah era COVID 19 yang semakin memperparah penurunan penjualan kala itu mengakibatkan banyaknya kios yang memilih untuk gulung tikar.
Meski sepi pembeli, beberapa pedagang tetap membuka kiosnya agar literasi di kota Bandung tak pernah padam, meski tantangan era digital semakin hari semakin mempersempit kesempatan mereka memperoleh pundi-pundi uang.
“Kan sekarang banyak yang jualan online, ditambah lagi sekarang itu buku-buku jaman dulu udah pada nggak ada. Mau dimanapun kalau buku terbitan lama yang original mah pasti susah dan harganya pasti mahal. Makanya disini ada yang kw tapi ya kualitasnya kurang. Lemnya kurang kuat” pungkas salah satu pedagang.
Jajaran buku kw bukan berarti semua pedagang menjual buku semacam itu. Banyak buku original yang meski dalam keadaan bekas namun tetap layak untuk dibaca. Harganya pun tergolong murah karena rata-rata adalah terbitan lama. Buku bekasnya dengan stok melimpah dalam rak rak yang berjejer di setiap kios. Kertasnya yang sudah menguning memberikan kesan vintage.
Kios-kios Palasari bisa tetap bertahan karena salah satunya bisa dari orang tua yang sedang mencarikan anaknya komik detektif Conan atau komik Captain Tsubasa. Bisa juga dari pelajar-pelajar yang menghabiskan akhir pekannya untuk berburu buku bekas. Meski tren terkini nampaknya tidak relate dengan hanya membaca buku.
Era digital memang akan terus berkembang dan seakan semakin memudahkan penggunanya. Termasuk para penggemar bacaan yang kini mulai beralih dengan buku digital yang bisa diakses di manapun dan kapanpun. Hanya dengan mengakses suatu aplikasi kita bisa menikmati banyak jenis bacaan.
Namun sensasi membaca buku fisik dengan digital jelas memiliki keunggulannya masing-masing. Buku digital dengan aksesnya yang mudah dan murah namun jika kita menatap layar digital terlalu lama akan menyebabkan mata mudah lelah dan cepat kering. Sebaliknya, buku fisik menawarkan pengalaman membuka lembaran demi lembaran tanpa membuat mata terasa sakit dan berkontribusi bagi pedagang di luar sana termasuk pasar Palasari agar eksistensinya tetap terjaga.
Pasar Buku Palasari bisa menjadi opsi untuk menghabiskan akhir pekan. Menjaga dan membantu penghasilan para penjualnya. Berkontribusi besar bagi minat literasi Indonesia agar meningkat pesat lewat bacaan-bacaan yang berkualitas. Namun tetap harus berhati-hati agar tidak terkecoh dengan buku-buku kw.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
