Senyum Sehat Belum Merata Karena Kurangnya Dokter Gigi di Indonesia
Info Sehat | 2025-11-04 10:37:08
Kesehatan gigi dan mulut sering kali dianggap bukan masalah yang penting dibandingkan penyakit-penyakit lainnya. Padahal, masalah mulut yang buruk bisa menyebabkan berbagai komplikasi serius seperti infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh, gangguan makan, hingga menurunnya kualitas hidup. Di Indonesia, upaya pencegahan dan pengobatan gigi yang memadai membutuhkan keberadaan tenaga profesional yang cukup dan merata. Data terkini menunjukkan bahwa jumlah dokter gigi di Indonesia meskipun terus bertambah, rupanya masih belum memadai bila dilihat dari rasio dan distribusi layanan.
Berdasarkan data dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) per awal Januari 2023, tercatat 46.298 anggota. Angka ini menunjukkan adanya peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya, namun hal ini masih jauh dari memadai bila dibandingkan dengan jumlah penduduk di seluruh Indonesia yang telah mencapai sekitar 275 juta jiwa. Menurut standar World Health Organization (WHO), rasio ideal 1 dokter gigi adalah menangani setiap 2.000 penduduk, sedangkan rasio di Indonesia pada Januari 2023 adalah 1 dokter gigi per 5.956 penduduk. Agar seluruh penduduk indonesia dapat terlayani secara optimal, dibutuhkan sedikitnya sekitar 137.500 dokter gigi di indonesia. Dengan data yang dimiliki, jumlah dokter gigi di indonesia meskipun tiap tahunnya kian bertambah masih kurang untuk memenuhi kebutuhan kesehatan gigi seluruh penduduk Indonesia.
Masalah terbesar tidak hanya terletak pada jumlah total, melainkan penyebaran yang sangat tidak merata. Sebagian dokter gigi masih berfokus di kota-kota besar seperti Jawa, khususnya DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat. Sementara itu, banyak kabupaten atau kota di luar pulau Jawa, seperti daerah pedalaman atau pulau terpencil masih kekurangan atau bahkan tidak memiliki akses ke layanan kesehatan gigi yang memadai. Kondisi ini membuat masyarakat di daerah terpencil sulit mendapatkan layanan pencegahan maupun pengobatan. Banyak pasien yang akhirnya harus menempuh perjalanan jauh ke kota besar hanya untuk melakukan perawatan dasar, seperti pencabutan atau penambalan gigi. Dalam jangka panjang, apabila kesenjangan ini terus berlanjut akan berdampak langsung pada meningkatnya angka penyakit gigi dan mulut yang seharusnya bisa dicegah lebih dini.
Minimnya jumlah dan distribusi dokter gigi berdampak besar pada kondisi kesehatan gigi masyarakat. Berdasarkan data dari Survey Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa hanya 11,2% penduduk berusia di atas 3 tahun yang memeriksakan gigi dan mulutnya ke tenaga kesehatan dalam satu tahun terakhir. Angka ini mengalami sedikit perubahan sejak data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Berdasarkan data Riskesdas hanya 10,2% masyarakat Indonesia yang pernah memeriksakan gigi dan mulutnya ke tenaga kesehatan dalam satu tahun terakhir, dimana artinya dalam 5 tahun terakhir terdapat peningkatan hanya 1% saja. Hal ini mengakibatkan angka prevalensi karies gigi masih sangat tinggi, yakni mencapai 88.8% pada anak usia 5-9 tahun dan 93% pada kelompok usia 35-44 tahun.
Selain berdampak pada kesehatan, kondisi ini juga mempengaruhi produktivitas dan kualitas hidup. Nyeri gigi kronis, kehilangan gigi, dan infeksi gusi bukan hanya mengganggu aktivitas harian, tetapi juga dapat memicu gangguan makan yang menyebabkan kurangnya asupan gizi, selain itu kurangnya kepercayaan diri, bahkan menurunkan kemampuan bekerja. Bagi anak-anak, gangguan pada gigi dan mulut dapat menghambat tumbuh kembang dan konsentrasi belajar.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya rasio dokter gigi di indonesia. Pertama, tempat pendidikan kedokteran gigi masih banyak terpusat di kota besar, sehingga lulusannya juga cenderung berkumpul di wilayah perkotaan. Kedua, di daerah terpencil, tenaga medis kurang mendapatkan insentif dan fasilitas yang memadai, sehingga mereka enggan menetap di sana. Ketiga, jumlah dokter gigi spesialis di Indonesia yang tidak cukup membuat pelayanan terhadap kasus yang rumit sulit mencapai seluruh wilayah. Masalah ini sudah lama diperhatikan oleh PDGI dan dalam berbagai kesempatan, PDGI menekankan perlunya aturan yang bisa mengatur distribusi dokter gigi secara merata, seperti tugas wajib kerja di daerah terpencil atau pemberian insentif khusus. Namun, untuk kebijakan yang benar-benar bisa berdampak positif masih perlu dibuat dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah.
Untuk mengatasi ketimpangan dalam akses layanan kesehatan gigi ada beberapa langkah strategi yang bisa dilakukan.
- Perbaikan sistem pencatatan data nasional. Semua pihak seperti PDGI, Kemenkes, KKI, dan BPS perlu selaras agar informasi jumlah dan lokasi dokter gigi dapat dilihat secara real-time.
- Program penempatan dan insentif untuk daerah terpencil. Pemerintah dapat memberikan beasiswa kuliah atau pelatihan spesialisasinya, asalkan siswa bersedia bekerja di daerah yang kurang mendapatkan perhatian.
- Memperkuat layanan primer di Puskesmas. Puskesmas harus dilengkapi dengan dokter gigi dan fasilitas dasar perawatan gigi yang memadai, agar masyarakat bisa mendapatkan layanan sejak awal.
- Pemberian edukasi pada masyarakat. Program seperti pelatihan sikat gigi massal dan pemeriksaan gigi rutin perlu diintensifkan agar kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan gigi meningkat.
- Mengembangkan pendidikan spesialis. Pemerintah dan universitas perlu meningkatkan program pelatihan spesialis dokter gigi dengan memperhatikan kebutuhan di setiap wilayah.
Kesehatan gigi dan mulut bukan hanya soal penampilan, tetapi juga bagian dari kualitas hidup dan kesejahteraan bangsa. Jumlah dokter gigi di Indonesia yang terus bertambah tiap tahunnya, tetapi belum cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Kesenjangan dalam distribusi layanan juga menjadi tantangan serius yang membutuhkan kerjasama antara pemerintahlah, lembaga pendidikan, dan organisasi profesi. Beberapa langkah nyata harus segera dilakukan seperti, pemberian insentif di daerah terpencil, penguatan layanan dasar, dan peningkatan jumlah dokter gigi spesialis. Tanpa adanya pemerataan, masyarakat di daerah terpencil akan kesulitan dalam mendapatkan layanan kesehatan gigi yang memadai. Memiliki kesehatan gigi merupakan hal dari setiap warganegara, bukan sekadar keuntungan bagi warga kota besar saja.
Penulis: Talitha Kayla Rachmania, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
