Ketika Diet Bukan Lagi Tentang Sehat, tapi Standar Sosial
Gaya Hidup | 2025-11-03 16:52:37
Media sosial kini menjadi sumber utama informasi bagi banyak orang, termasuk dalam aspek kesehatan dan pola makan. Cukup membuka TikTok atau Instagram, kita akan disuguhi berbagai tren diet ekstrem, seperti diet air putih, no carb challenge, hingga turun 10 kilogram dalam dua minggu. Fenomena ini tampak menarik dan mudah diikuti, tetapi tersembunyi risiko besar bagi kesehatan.
Masyarakat sering kali salah memahami arti diet. Banyak yang menganggap diet identik dengan tidak makan atau menahan lapar demi tubuh langsing. Padahal, makna diet yang sebenarnya adalah pengaturan pola makan untuk menjaga kesehatan tubuh. Kesalahan persepsi inilah yang membuat banyak orang menjalani diet secara ekstrem, seperti menghilangkan kelompok makanan penting, menurunkan kalori secara drastis, bahkan meniru pola makan influencer tanpa memahami kebutuhan tubuh sendiri.
Ironisnya, semakin banyak konten diet ekstrem yang viral, semakin kuat pula keyakinan bahwa tubuh ideal harus diperoleh melalui pengorbanan kesehatan. Inilah awal dari kesalahpahaman besar. Ketika keinginan untuk tampil menarik berubah menjadi kebiasaan yang justru merusak tubuh.
Tren diet ekstrem menjanjikan hasil cepat, tetapi mengabaikan keseimbangan gizi. Pola makan seperti ini sering kali menyebabkan kekurangan protein, lemak sehat, serta vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh. Akibatnya, tubuh menjadi lemah, metabolisme melambat, dan risiko efek yoyo meningkat, yaitu berat badan turun drastis lalu naik kembali setelah diet dihentikan.
Lebih parahnya, banyak orang menjalankan diet tanpa bimbingan ahli gizi dan hanya berpatokan pada konten media sosial. Influencer dengan jutaan pengikut bisa mengunggah video singkat tentang cara cepat kurus, dan masyarakat menerimanya tanpa berpikir panjang. Padahal, setiap tubuh memiliki kebutuhan gizi dan metabolisme yang berbeda. Diet yang berhasil bagi satu orang belum tentu aman bagi orang lain. Diet seharusnya tidak diartikan sebagai pembatasan makan, melainkan pengaturan asupan secara sadar dan bijak. Tujuan utamanya bukan menurunkan berat badan secepat mungkin, tetapi membangun kebiasaan makan yang sehat dan berkelanjutan.
Media sosial telah menciptakan standar baru tentang tubuh ideal. Foto-foto bertubuh langsing dan berwajah sempurna mendominasi linimasa, sehingga banyak orang menilai nilai dirinya dari ukuran tubuh. Akibatnya, muncul tekanan sosial yang kuat untuk memenuhi standar visual tersebut. Media sosial menormalisasi diet ekstrem sebagai bentuk self-discipline, padahal kenyataannya banyak di antaranya merupakan bentuk penyangkalan terhadap kebutuhan tubuh.
Masyarakat kemudian terjebak dalam pandangan bahwa cepat kurus berarti berhasil. Transformasi tubuh yang sering muncul di media sosial mendorong banyak orang meniru pola diet serupa tanpa memperhatikan dampak jangka panjangnya. Influencer yang membagikan tips diet ekstrem mungkin memiliki niat baik, tetapi tanpa dasar ilmu gizi, saran tersebut dapat membahayakan pengikutnya.
Diet ekstrem tidak hanya menimbulkan risiko malnutrisi dan gangguan metabolisme, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental. Banyak orang merasa bersalah setiap kali makan terlalu banyak, kehilangan kepercayaan diri karena membandingkan diri dengan orang lain, bahkan mengalami gangguan makan, seperti anoreksia dan bulimia.
Tubuh yang tampak ideal di media sosial belum tentu sehat secara medis. Sebaliknya, banyak kasus menunjukkan bahwa hasil diet ekstrem justru menurunkan fungsi tubuh dan daya tahan. Kementerian Kesehatan telah lama menekankan pentingnya gizi seimbang melalui konsep Isi Piringku yang berisi karbohidrat, protein, sayur, dan buah dalam porsi ideal. Prinsip sederhana ini jauh lebih aman dibandingkan tren diet ekstrem yang hanya menekankan hasil cepat. Sayangnya, konsep gizi seimbang masih kalah oleh pengaruh visual dan narasi hasil cepat yang digaungkan di dunia maya. Padahal, pola hidup sehat tidak pernah lahir dari langkah yang terburu-buru.
Fenomena diet ekstrem di media sosial mencerminkan krisis pemahaman masyarakat tentang arti diet. Banyak orang terjebak dalam persepsi bahwa nilai diri diukur dari bentuk tubuh, bukan dari kebugaran dan keseimbangan. Sudah saatnya masyarakat berhenti mengejar validasi dari layar dan mulai membangun kesadaran akan pentingnya kesehatan yang sesungguhnya. Diet ekstrem bukan bukti kedisiplinan, melainkan tanda kurangnya pemahaman terhadap kebutuhan tubuh. Kesehatan sejati tidak lahir dari pembatasan berlebihan, melainkan dari kesadaran dan konsistensi menerapkan pola hidup seimbang. Diet ekstrem mungkin memberi hasil cepat, tetapi gizi seimbang memberi kualitas hidup yang bertahan lama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
