Kurangnya Kemampuan Literasi Pelajar di Indonesia
Pendidikan | 2025-11-03 15:54:04
Pendidikan merupakan salah satu tonggak utama yang bertujuan untuk membentuk karakter dan menentukan arah masa depan manusia. Teknologi yang semakin canggih akan membuat manusia sulit menghadapi perubahan zaman tanpa pendidikan yang berkualitas. Pendidikan berkaitan erat dengan tujuan dari poin empat program Sustainable Development Goals (SDGs) atau yang dikenal dengan program Pembangunan Berkelanjutan, yaitu pendidikan berkualitas dengan menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua individu. Pada poin 4.6, program ini menargetkan di tahun 2030 bahwa setiap individu memiliki kemampuan literasi dan numerasi dari semua kelompok usia.
Menurut UNESCO (2025), literasi adalah rangkaian pembelajaran dan kemahiran dalam membaca, menulis, dan menggunakan angka sepanjang hidup. Perkembangan teknologi mendorong sistem pendidikan untuk bertransformasi, terutama selama masa pandemi Covid-19 yang mempengaruhi digitalisasi pembelajaran. Meskipun hal ini memberikan kemudahan dalam mengakses informasi, tantangan literasi di Indonesia baik secara konvensional maupun digital masih cukup besar. Berdasarkan data UNESCO, tingkat minat baca pelajar Indonesia hanya 0,001 persen, artinya hanya satu dari 1.000 orang yang rajin membaca.
Literasi tidak hanya tentang kemampuan membaca dan menghitung, namun kemampuan memahami, menggunakan, dan mengevaluasi informasi yang diperoleh. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya literasi pelajar di Indonesia, salah satunya adalah keterbatasan fasilitas dan akses teknologi daerah terpencil. Hal ini kerap memunculkan adanya Matthew Effect dalam literasi, dimana pelajar yang memiliki kemampuan literasi yang rendah akan memiliki performa yang lebih rendah, sedangkan pelajar yang memiliki kemampuan literasi tinggi mengalami hal sebaliknya.
Contoh nyata dari fenomena ini terjadi di desa Ungga, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pendiri dari Jage Kastare Foundation, yakni Ahmad Junaidi memberikan contoh kondisi tingkat literasi pelajar di desa tersebut. Ia menemukan bahwa satu dari lima siswa sekolah dasar kelas dua, belum bisa memahami kata-kata pada bacaan sederhana. Kemudian, dua dari tiga siswa sekolah menengah pertama kelas delapan, belum bisa menarik kesimpulan dengan baik. Jika hal ini dibiarkan, kesenjangan antara siswa yang memiliki kemampuan membaca yang baik dan buruk akan meningkat dari waktu ke waktu.
Bangsa dengan minat literasi yang tinggi menjadi salah satu ciri dari masyarakat yang kaya akan informasi. Beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan literasi pelajar pada era digital adalah dengan meningkatkan kemampuan dasar dan kecepatan membaca pada siswa, edukasi mengenai literasi digital seperti cara memvalidasi suatu informasi. Orang tua dan guru bisa menumbuhkan motivasi atau kesadaran anak untuk membaca. Selain itu, pemerintah juga berperan penting dalam melakukan pemerataan akses pendidikan dan teknologi di daerah terpencil untuk mengurangi kesenjangan literasi digital.
Di era digital, kemampuan literasi berperan penting dalam menggunakan teknologi dan menguasai informasi. Hal ini mempermudah akses ke wawasan baru dan kemampuan beradaptasi pada perubahan yang cepat. Adanya kemampuan literasi yang kuat menjadikan pelajar Indonesia siap untuk berkontribusi pada pembangunan bangsa yang berkelanjutan. Mereka dapat menghadapi tantangan global dan mengembangkan potensi diri dalam berbagai bidang yang terkena dampak digitalisasi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
