Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Spiritualitas Pangan dan Kapitalisme yang Rakus

Khazanah | 2025-11-03 14:14:22

Oleh : Muliadi Saleh

Tulisan ini merupakan pandangan reflektif mengenai hubungan mendalam antara pangan, spiritualitas, dan kesadaran ekologis. Dalam konteks masyarakat modern yang semakin terputus dari sumber pangannya, esai ini mengajak kita untuk memaknai kembali makan sebagai peristiwa spiritual — bukan sekadar aktivitas biologis. Melalui pandangan para sufi seperti Rumi, Al-Ghazali, dan Ibn ‘Arabi, pangan dipahami sebagai kesadaran akan asal-usul manusia, keseimbangan diri, dan hubungan harmonis dengan bumi.

Kita mungkin makan tiga kali sehari, tapi jarang benar-benar hadir saat makan. Isi piring kita adalah perjalanan panjang: dari benih yang ditanam, air yang mengalir, tangan yang menuai, hingga doa yang tak terdengar. Dalam setiap suapan, sesungguhnya kita sedang merasakan perjumpaan hakiki — antara tubuh, tanah, dan jiwa. Di situlah spiritualitas pangan bermula.

Ada sesuatu yang sakral dalam setiap butir nasi yang kita kunyah. Ia bukan sekadar karbohidrat yang memberi tenaga, melainkan doa yang menjelma menjadi rasa, kasih yang menjelma menjadi tenaga kehidupan. Makan, dalam makna terdalamnya, adalah peristiwa spiritual yang hening tapi penuh makna — perjumpaan manusia dengan semesta.

Tidak semua orang menyadari bahwa pangan tidak lahir dari mesin, melainkan dari rahim bumi. Ia datang melalui keringat petani, kelembutan air, dan kemurahan matahari. Dalam kesadaran ini, makan menjadi ritual kesadaran, bukan rutinitas. Seperti kata Jalaluddin Rumi dalam Masnawi:

“Setiap suapan yang dimakan dengan cinta, menjadi zikir yang tidak diucapkan.”

Pangan adalah cermin paling jujur dari hubungan manusia dengan bumi. Ia menuntun kita untuk mengingat bahwa hidup ini berawal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Dalam setiap butir beras atau potong singkong, terdapat perjalanan panjang dari benih hingga menjadi rezeki.

Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis,

“Makan dengan kesadaran adalah bagian dari ibadah, sebab di dalamnya ada rasa syukur dan pengendalian diri.”

Maka makan bukan hanya tindakan biologis, melainkan jalan spiritual. Dalam arus modernitas, makna ini mengabur. Pangan kini datang dari pabrik, bukan dari tanah. Kita makan tanpa mengenal asal, tanpa menghormati yang menanam. Kita kenyang, tapi kehilangan makna.

Tubuh manusia sejatinya adalah ladang tempat benih kesadaran tumbuh. Apa yang kita makan bukan hanya membentuk tubuh, tetapi juga membentuk jiwa. Ibn ‘Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah mengingatkan,

“Segala yang masuk ke tubuh manusia menjadi bagian dari ruhnya; maka makanlah dengan kesadaran agar ruhmu tetap jernih.”

Makanan yang baik, bersih, dan diperoleh dengan cara yang adil menumbuhkan ketenangan batin. Sebaliknya, makanan dari perampasan dan keserakahan meninggalkan jejak kekerasan dalam diri manusia. Dalam kesadaran spiritual, tubuh bukan mesin, melainkan taman yang perlu dirawat dengan cinta dan keseimbangan.

Indonesia sesungguhnya kaya akan spiritualitas pangan. Dari ritual tumpengan di Jawa, jagung titi di Flores, hingga papeda di Maluku, kapurung di Sulawesi — semuanya menyimpan simbol keselarasan manusia, alam, dan Tuhan. Namun, globalisasi membuat kita tercerabut dari akar rasa itu. Makanan instan menggantikan makanan slogan food yang penuh makna.

“Tiap butir yang tumbuh di bumi adalah ayat Tuhan yang bisa dibaca oleh mereka yang berhati halus.”

Setiap pangan lokal sesungguhnya adalah teks spiritual yang menuntun manusia untuk kembali mengenal dirinya dan ruang hidupnya.

Spiritualitas pangan mengajarkan penyucian rasa — rasa lapar, rasa kenyang, dan rasa cukup. Di tengah dunia yang serba berlebih, “rasa cukup” adalah bentuk doa paling tulus.

“Tuhan memberi rasa lapar agar manusia belajar arti kenyang; dan memberi rasa kenyang agar manusia belajar arti syukur.”

Kesadaran ini menuntun kita untuk hidup sederhana, adil, dan selaras dengan bumi. Sebab setiap butir nasi yang kita kunyah dan telan adalah keputusan moral dan ekologis. Mahatma Gandhi pun mengingatkan, “Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan semua manusia, tapi tidak untuk memenuhi keserakahan satu manusia.”

Mungkin spiritualitas pangan tidak perlu hanya dibaca kitab suci. Ia bersemayam di tempat yang sederhana—di dapur, di sawah, di aroma nasi hangat. Seorang sufi berkata :

“Jangan cari Tuhan di masjid; carilah di dapurmu. Karena di sanalah rahmat-Nya berputar menjadi kehidupan.”

Setiap kali kita menanak nasi dengan syukur, kita sedang menanak kesadaran. Setiap kali kita makan dengan hormat pada asal-usulnya, kita sedang berdoa tanpa kata.

Spiritualitas pangan adalah jalan pulang bagi manusia modern—jalan yang mengajarkan bahwa makan bukan sekadar mengisi tubuh, tetapi menghidupkan jiwa. Di antara aroma dapur, tangan petani, dan suapan penuh syukur, Tuhan sesungguhnya sedang hadir—diam-diam, tapi nyata dalam rasa.

Biodata Penulis

Muliadi Saleh, penulis tema ekologi, kearifan lokal, serta spiritualitas pangan. Karya-karyanya sering menggabungkan pendekatan ilmiah dengan narasi reflektif-puitis yang berpihak pada kemanusiaan dan bumi.

Kontak: mulsinyur@gmail.com

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image