Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Sisa yang tak Sia-sia: Menjaga Nilai dan Ekosistem Pangan Berkelanjutan

Gaya Hidup | 2025-10-17 18:49:47

Oleh Muliadi Saleh

Di dapur rumah, di restoran yang sibuk, di pasar tradisional yang semarak, selalu ada yang tersisa. Sepiring nasi tak habis, sayur layu di ujung hari, kulit buah dan sisa sayuran yang mengering di bak sampah. Di balik tumpukan sisa itu, ada kisah tentang bagaimana kita memperlakukan rezeki — dan bagaimana bumi menanggung akibatnya.

Setiap tahun, dunia membuang hampir sepertiga dari total pangan yang diproduksi. Di Indonesia, angka itu berarti jutaan ton makanan yang tak pernah sampai ke meja makan. Ironisnya, di saat yang sama, jutaan orang masih berjuang melawan kelaparan dan gizi buruk. Inilah paradoks zaman: kelimpahan yang mencipta kelangkaan, kemajuan yang menimbulkan kehilangan.

Namun, sisa tak selalu berarti sia-sia. Dalam pandangan ekologis dan spiritual, tak ada yang benar-benar menjadi “sampah” — hanya energi yang menunggu untuk diubah bentuk dan maknanya.

Di tangan yang sadar, sisa pangan bisa menjadi sumber kehidupan baru. Kulit sayuran menjadi pupuk kompos, ampas kopi menjadi media tanam jamur, limbah buah diolah menjadi pakan ternak atau bioenzim rumah tangga. Di kota-kota besar, muncul gerakan food rescue yang mengalirkan makanan berlebih ke dapur-dapur sosial. Di kampus dan pesantren, tumbuh komunitas yang mengubah sisa kantin menjadi pupuk untuk kebun urban.

Begitulah, “food waste” berubah menjadi food wisdom — dari kesadaran bahwa pangan bukan sekadar komoditas, tapi amanah.

Dalam ajaran Islam, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu menyia-nyiakan makanan, karena kamu tidak tahu di bagian mana letak keberkahannya.” (HR. Muslim).

Ayat lain mengingatkan, “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31).

Keduanya bukan sekadar nasihat moral, tetapi prinsip ekologis yang mendalam. Moderasi dalam konsumsi adalah fondasi keberlanjutan. Menyisakan adalah kehilangan, dan kehilangan yang terus-menerus akan berujung pada kehancuran.

Sains modern kini meneguhkan kebijaksanaan lama itu. Dari hasil riset, pengelolaan limbah pangan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca secara signifikan. Setiap kilogram makanan yang tidak terbuang berarti penghematan air, tanah, dan energi yang tak ternilai. Di laboratorium-laboratorium inovatif, para ilmuwan mengubah sisa pangan menjadi bioplastik, bioenergi, bahkan bahan kosmetik alami.

Kita hidup di era ketika makanan bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang tanggung jawab. Setiap sendok yang kita habiskan, setiap sisa yang kita olah, adalah bagian dari narasi besar tentang keberlanjutan bumi.

Karena di balik setiap sisa, ada kesempatan untuk memperbaiki dunia — dimulai dari piring sendiri.

Mungkin inilah makna baru dari “rezeki yang berkah”: bukan seberapa banyak yang kita dapat, tapi seberapa sedikit yang kita buang.

Dan ketika kita belajar menghormati sisa, kita sedang belajar menghormati kehidupan itu sendiri.

__________

Muliadi Saleh

Direktur Eksekutif Lembaga SPASIAL Penulis, Pemerhati Pangan Berkelanjutan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image