Karakter Anak dalam Pusaran Digitalisasi: Tantangan, Peluang, dan Peran Ekosistem Pendidikan
Pendidikan dan Literasi | 2025-11-03 09:12:41Karakter Anak dalam Pusaran Digitalisasi: Tantangan, Peluang, dan Peran Ekosistem Pendidikan
Oleh: Rina Astuti
S3 Pendidikan IPA Universitas Sebelas Maret
Pembelajaran karakter merupakan pondasi penting dalam proses pendidikan anak. Sejak usia dini, anak tidak hanya membutuhkan pengetahuan akademik, tetapi juga pembinaan nilai-nilai moral dan sikap yang membentuk kepribadian. Melalui pembelajaran karakter, anak belajar memahami perbedaan antara benar dan salah, belajar menghargai orang lain, serta mampu mengendalikan emosi dan perilaku dalam berbagai situasi kehidupan.
Karakter yang kuat membantu anak menghadapi tantangan dan tekanan sosial di masa depan. Nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, dan empati menjadi bekal penting bagi mereka untuk berinteraksi dengan masyarakat secara positif. Guru dan orang tua memiliki peran besar dalam menanamkan nilai-nilai tersebut, baik melalui keteladanan maupun pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran karakter juga dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan harmonis. Anak-anak yang memiliki kesadaran moral dan empati tinggi cenderung lebih mudah bekerja sama, menghargai perbedaan, dan menyelesaikan konflik dengan cara yang bijaksana. Pendidikan karakter, pada akhirnya, tidak hanya membentuk individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga berjiwa luhur dan siap menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Karakter yang terbentuk dari beberapa generasi memiliki ciri-ciri dan tantangan sendiri. generasi milenial yang merupakan generasi peralihan antara era analog dan digital, dikenal mandiri, pekerja keras, serta memiliki idealisme yang tinggi. Namun, mereka juga sering menghadapi tekanan dalam menyeimbangkan kehidupan pribadi dan karier karena tuntutan zaman yang cepat berubah. Generasi Z, yang lahir sekitar akhir 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh di tengah derasnya arus digitalisasi. Mereka akrab dengan media sosial, canggih dalam penggunaan teknologi, dan memiliki wawasan yang luas karena akses informasi yang tidak terbatas. Karakter generasi ini cenderung terbuka, kreatif, dan berani menyuarakan pendapat. Namun, di sisi lain, mereka juga rentan terhadap stres, kesepian, dan perbandingan sosial yang muncul dari dunia maya. Sedangkan generasi Alfa, yaitu anak-anak yang lahir setelah tahun 2010, merupakan generasi yang sepenuhnya digital native. Mereka tumbuh dengan perangkat pintar sejak kecil dan terbiasa belajar melalui teknologi. Karakter anak generasi Alfa menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi, kemampuan adaptasi cepat, dan kecenderungan berpikir kritis dalam memecahkan masalah. Meski demikian, mereka juga perlu bimbingan dalam mengembangkan empati, kesabaran, dan keterampilan sosial yang kadang terpinggirkan oleh ketergantungan pada teknologi.
Kehadiran teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI) telah mengubah cara manusia berpikir, berinteraksi, dan belajar. Anak-anak yang tumbuh di tengah arus digital kini menjadi generasi yang paling akrab dengan gawai, tetapi juga paling rentan kehilangan arah moral dan kedalaman refleksi.
Martin Heidegger (1954) dalam The Question Concerning Technology mengingatkan bahwa teknologi bukan sekadar alat, tetapi cara manusia memandang dan mengungkap dunia (a mode of revealing). Ketika anak-anak memandang dunia melalui layar, maka cara mereka memahami realitas juga dikonstruksi bukan oleh pengalaman langsung dengan sesama dan alam. Maka, yang hilang bukan sekadar waktu bermain di luar rumah, tetapi juga kedalaman eksistensial sebagai makhluk yang berfikir dan berperasaan.
Neil Postman (1993) dalam Technopoly menyoroti bahaya “penyerahan budaya kepada teknologi”. Anak-anak kini belajar lebih banyak dari media digital daripada dari guru atau orang tua. Rasionalitas teknologis menekankan kecepatan, efisiensi, dan hasil instan mulai menggantikan nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, kesabaran, dan tanggung jawab.
Dalam konteks pendidikan karakter, pemikiran Ki Hadjar Dewantara relevan untuk dihadirkan kembali. Ia menekankan bahwa pendidikan harus menuntun kodrat anak agar tumbuh menjadi manusia seutuhnya, bukan sekadar makhluk yang pandai secara teknis. Digitalisasi memang membuka ruang belajar yang luas, tetapi tanpa bimbingan nilai dan kebijaksanaan, anak akan menjadi “pintar tanpa arah”, cerdas secara kognitif, tetapi miskin secara moral.
Ilmu harus diarahkan pada kemaslahatan manusia (scientia propter hominem). Artinya, digitalisasi dan AI seharusnya menjadi sarana untuk memperdalam kemanusiaan, bukan menggantikannya. Tugas utama pendidikan di era ini bukan melarang anak berteknologi, tetapi membangun kesadaran reflektif, bagaimana menggunakan teknologi dengan bijak, memahami batasnya, dan tetap menjaga jiwanya.
Tantangan terbesar di tengah dunia yang serba digital bukanlah menciptakan anak yang melek teknologi, tetapi anak yang tetap memiliki jiwa. Karena, tanpa karakter dan kesadaran etis, kecerdasan buatan hanya akan melahirkan manusia yang kehilangan kemanusiaannya sendiri.
Fenomena "digital shaming" atau maraknya konten viral yang menunjukkan perilaku anak yang kurang beretika seperti flexing berlebihan, perundungan verbal di media sosial, atau bahkan prank yang membahayakan, secara eksplisit menunjukkan bahwa karakter anak kini sedang diuji di tengah pusaran digitalisasi. Akses tanpa batas ke gawai dan internet, yang merupakan peluang besar untuk belajar dan berinovasi, kini berbalik menjadi tantangan serius. Anak-anak yang secara psikologis masih mencari identitas diri seringkali mudah terjerumus dalam budaya instan dan validasi eksternal, di mana jumlah likes dan views lebih berharga daripada integritas pribadi. Hal ini menciptakan generasi yang mahir secara teknis, namun rentan terhadap krisis moral dan empati, yang secara cepat tersulut oleh media sosial.
Tantangan ini semakin kompleks dengan adanya kecerdasan buatan (AI) generatif yang kini juga viral dan mudah diakses. Anak-anak mulai terbiasa menghasilkan esai, gambar, hingga kode pemrograman hanya dengan sekali klik. Di satu sisi, ini adalah peluang emas untuk meningkatkan kreativitas dan efisiensi, namun di sisi lain, ini berpotensi mengikis karakter kejujuran (integritas akademik) dan ketekunan (motivasi untuk berusaha keras). Ekosistem pendidikan, yang meliputi orang tua, sekolah, dan masyarakat, wajib melihat fenomena viral ini sebagai alarm merah. Perlu disadari bahwa digitalisasi bukan hanya soal kemampuan teknis, melainkan tentang bagaimana menanamkan fondasi karakter yang kuat agar anak mampu membedakan antara informasi yang valid dan hoaks, serta mampu menggunakan teknologi secara etis dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu, peran ekosistem pendidikan harus segera bertransformasi. Sekolah tidak cukup lagi hanya mengajarkan materi kurikulum, mereka harus menjadi benteng utama dalam menginternalisasi digital citizenship dan digital empathy. Orang tua beralih dari sekadar membatasi penggunaan gawai menjadi pendamping yang mengajarkan anak keterampilan berpikir kritis terhadap setiap konten yang mereka konsumsi dan produksi. Pendidikan karakter harus diintegrasikan secara holistik, mengajarkan anak untuk memiliki kontrol diri saat berinteraksi di dunia maya, dan memiliki keberanian moral untuk menolak tren viral yang merusak. Hanya dengan kolaborasi yang terencana, kita dapat memastikan bahwa digitalisasi tidak merenggut karakter terbaik anak, melainkan menjadi alat untuk mengasah potensi dan etika mereka sebagai war
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
