Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Khaira Izzati

Fenomena Bunuh Diri di Kalangan Remaja: Antara Tekanan, Media Sosial, dan Kurangnya Dukungan Mental

Edukasi | 2025-11-02 15:27:39

Bunuh diri adalah usaha, tindakan, atau pikiran yang dilakukan sengaja untuk mengakhiri hidup. Setiap tahunnya, bunuh diri menyebabkan sekitar 800.000 kematian di seluruh dunia, yang berarti setiap 40 detik ada satu orang meninggal akibat bunuh diri. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kasus bunuh diri di kalangan remaja semakin sering terjadi. Fenomena ini bukan lagi hal yang jauh dari kehidupan kita. Banyak faktor penyebabnya, mulai dari tekanan lingkungan, masalah keluarga, hingga pengaruh dari media sosial. Mahasiswa yang merasa gagal dalam studinya, siswa yang dirundung, hingga selebriti muda yang terlihat selalu bahagia di publik namun ternyata menyimpan luka dan banyak konflik dibelakangnya, contoh seperti inilah yang sering mengingatkan kita bahwa kesehatan mental adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC, 2022), bunuh diri merupakan penyebab kematian tertinggi nomor 2 pada remaja berusia 10 hingga 17 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya banyak anak muda yang sedang berjuang melawan beban pikiran mereka sendiri. Dalam penelitian Duarte et al. (2020), ditemukan bahwa lebih dari separuh anak muda yang memiliki keinginan menyakiti diri sendiri juga memiliki risiko tinggi untuk melakukan bunuh diri. Masa remaja memang penuh perubahan, baik secara fisik, sosial, maupun emosional, dan hal ini bisa membuat seseorang menjadi tidak stabil secara mental.

https://www.namidanecounty.org/blog/2020/7/29/college-mental-health-and-adolescent-advicenbsp

Perkembangan teknolog jadi salah satu faktor yang tidak bisa kita abaikan. Media sosial memang memudahkan komunikasi dan mencari informasi, tapi di sisi lain, justru malah membuat banyak orang yang terjebak dalam pikiran mereka sendiri seperti terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain sehingga mereka merasa kurang percaya diri. Postingan orang lain sering kali menciptakan perasaan seperti merasa tidak cukup baik, tidak menarik, atau tidak sukses, yang berujung pada munculnya perasaan insecure dan kebencian terhadap diri sendiri. Lebih parahnya lagi, media sosial kinenjadi tempat bullying. Komentar kasar, ejekan tentang fisik, hingga hujatan terhadap kehidupan pribadi sering sekali ditemukan di media sosial. Bagi sebagian orang, mungkin hal itu terlihat sepele dan dianggap lelucon, namun bagi korban, kata-kata seperti itu bisa sangat melukai. Hal ini dapat diartikan bahwa kekerasan tidak selalu berbentuk fisik saja, tetapi kata-kata di layar pun bisa menjadi sangat menyakitkan. Kim dan Leventhal (2008) mengatakan bahwa tekanan sosial dan kasus perundungan di dunia virtual memiliki pengaruh yang besar dengan meningkatnya angka depresi dan tindakan melukai diri.

Tekanan dari dunia maya tidak berhenti di situ, saat eseorang sudah merasa tidak berharga, perasaan itu bisa terbawa di kehidupan nyata terutama di lingkungan terdekat (rumah, sekolah atau kampus.

Bagi anak, seharusnya keluarga menjadi tempat yang paling aman, tetapi sayangnya tidak semua anak merasakannya. Ada yang tumbuh di rumah yang berisi tekanan yang besar seperti orang tua yang selalu menuntut anaknya harus sempurna, harus selalu jadi yang terbaik, tanpa memberi ruang untuk gagal dan berproses. Di sisi lain, ada juga orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan dunia nya sendiri hingga tidak sempat mendengarkan cerita dari anak-anaknya. Hal-hal seperti inilah yang akan membuat anak merasa tertekan, kesepian, dan kehilangan arah. Tekanan yang terus-menerus tanpa dukungan emosional apapun akan membuat remaja merasa tidak dimengerti, hingga muncul pikiran bahwa hidup mereka tidak berarti.

Faktor lingkungan luar juga berpengaruh besar. Sekolah dan kampus seharusnya menjadi tempat mencari ilmu dan berkembang, kadang menjadi sumber tekanan baru. Persaingan akademik, tuntutan tugas, perundungan, hingga perasaan tidak mampu mengikuti teman-teman lainnya bisa menimbulkan stres berat. Apalagi jika tidak ada guru atau teman yang benar-benar peduli, remaja bisa merasa sendirian dan kesepian dalam menghadapi semuanya.

Namun, bukan berarti fenomena ini tidak dapat dicegah. Dukungan dari orang tua, teman, maupun sekolah sangat berpengaruh dalam mencegah remaja atau anak melakukan hal berbahaya. Sekolah dapat berperan aktif dengan memberikan layanan konseling atau edukasi tentang pentingnya kesehatan mental. Sementara di rumah, orang tua harus membangun hubungan yang terbuka dan penuh kasih sayang dengan anak-anaknya. Siswanto (2019) mengatakan pendekatan yang hangat dan komunikasi yang baik antara anak dan orang tua dapat menurunkan risiko gangguan mental.

Kita harus lebih peka terhadap perubahan perilaku orang di sekitar kita. Jika seseorang tampak menarik diri, kehilangan semangat, atau sering mengungkapkan perasaan putus asa, jangan pernah abaikan hal itu. Kadang, mereka hanya butuh sependengar saja tanpa perlu dihakimi.

Bunuh diri bukanlah jalan keluar dari suatu masalah, dan setiap kehidupan memiliki nilai yang berharga. Sebagai generasi muda, sudah seharusnya kita saling mendukung dan menciptakan lingkungan yang sehat dan aman. Karena di belakang setiap senyum yang tampak tenang, mungkin saja tersimpan hati yang sedang berjuang untuk tetap bertahan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image