Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syifa Wening Bestari

Saat Komunikasi Jadi Akar Kesehatan di Apotek

Edukasi | 2025-11-01 10:26:18
Syifa Wening Bestari, mahasiswa Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga (DOK PRIBADI)

Apotek umumnya dikenal sebagai tempat untuk menebus resep atau membeli obat. Namun, di balik transaksi tersebut, terjadi interaksi kompleks yang menggerakkan dinamika kesehatan masyarakat Indonesia. Berdasarkan observasi lapangan dan wawancara dengan apoteker di beberapa apotek tujuan yang menetap di Kec. Gubeng, Surabaya dan Kec. Pesantren, Kota Kediri di Jawa Timur, komunikasi kesehatan di apotek ternyata merupakan proses penting yang melibatkan dimensi medis, psikologis, sosial, dan budaya.

Agar bisa disebut terapeutik atau memiliki efek kesehatan yang baik, komunikasi antara pasien dan apoteker menjadi salah satu kunci mutu layanan kefarmasian. Pada praktik komunikasi ini, apoteker harus menyesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan setiap pasien. Misalnya, saat menghadapi pasien yang membawa contoh obat dan meminta obat yang sama tanpa resep, apoteker tidak sekadar menyetujui atau menolaknya sesuai dengan aturan yang berlaku, tetapi juga memberikan penjelasan edukatif untuk mencegah pasien melakukan kesalahan pengobatan. Penyampaian diagnosis pengobatan, aturan konsumsi obat, efek samping obat-obatan, hingga pemberian rujukan ke dokter atau puskesmas kepada pasien tertentu juga menjadi krusial dalam menentukan arah pengobatan pasien untuk mencapai hasil terapeutik.

Salah satu apoteker yang diwawancarai mengungkapkan, "Saya selalu menanyakan gejala yang dialami, riwayat alergi, dan obat yang sedang dikonsumsi. Kemudian, saya jelaskan bahwa gejala yang mirip belum tentu memerlukan penanganan yang sama." Tidak jarang, apoteker juga memberi penjelasan tambahan kepada pasien yang membawa resep dari puskesmas terkait tindak lanjut pemeriksaan diri, seperti memastikan jadwal kontrol dan memberikan jadwal waktu konsumsi obat sebagai bentuk empati.

Perhatian khusus yang memperhatikan keterbatasan fisik dan kognitif juga diberikan kepada pasien lansia. Berdasarkan observasi, apoteker yang berpengalaman akan secara alami menyesuaikan cara berkomunikasi, seperti berbicara lebih pelan, menggunakan bahasa yang sederhana, dan memastikan pemahaman pasien dengan meminta mereka mengulang instruksi. Seperti yang diungkapkan oleh apt. Azmi, "Saya sering menggunakan alat bantu visual, seperti gambar atau warna pada kemasan obat, untuk membantu pasien, khususnya pasien lansia, dalam memahami penggunaan obat mereka. Di sini juga terdapat layanan konsultasi gratis secara tatap muka dan WhatsApp (daring)." Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik bukan hanya menyampaikan informasi, melainkan juga memastikan informasi tersebut dapat diakses dan diterapkan oleh pasien.

Komunikasi dan empati semakin diperlukan ketika banyak pasien yang memiliki keterbatasan biaya. Seorang asisten apoteker bercerita, "Jika pasien tidak mampu membeli beberapa obat, kami harus memprioritaskan obat mana yang paling esensial, menawarkan alternatif generik yang tetap aman dan berkhasiat, dan mengedukasikan pemilihan obat secara rasional sekaligus memperhatikan kondisi ekonomi pasien."

Selain itu, apoteker juga menghadapi beberapa pasien dengan karakter unik, seperti pasien yang pasif atau kurang komunikatif. Menurut seorang apoteker senior di salah satu apotek tujuan, "Untuk pasien seperti ini, saya menggunakan pertanyaan terbuka agar bisa menggali informasi lebih dalam. Misalnya, 'bisa ceritakan lebih detail keluhannya?' atau 'apakah ada alergi obat yang pernah dialami?'" Di sisi lain, pasien yang paranoid terhadap obat memerlukan pendekatan yang lebih empatik. "Saya mengakui kekhawatiran mereka sebagai hal yang wajar, kemudian memberikan penjelasan ilmiah yang mudah dipahami," tambah beliau.

Aspek menarik dari hasil observasi adalah peran komunikasi nonverbal dalam membangun kepercayaan pasien. Ekspresi wajah yang ramah, kontak mata yang stabil, dan nada suara yang tenang mampu meredakan kecemasan dan meningkatkan kepercayaan pasien selama pelayanan. Seorang apoteker senior menegaskan bahwa banyak pasien yang awalnya tertutup menjadi lebih terbuka setelah mereka merasa didengarkan dan diterima.

Era digital ini membawa tantangan baru, seperti pasien yang datang dengan self-diagnosis¹ berdasarkan informasi dari internet. Salah satu apoteker berbagi pengalaman, "Beberapa pasien datang dengan langsung menyampaikan penyakit mereka setelah mencari gejala penyakit dan obatnya lewat internet. Mereka meminta obat spesifik tanpa memahami risikonya." Dengan demikian, apoteker perlu menggali informasi tentang gejala penyakit pasien secara komunikatif sebagai pertimbangan dalam memberikan obat dan mengedukasi pasien dengan bijak tanpa terkesan menggurui.

Namun, praktik komunikasi yang efektif dapat dipengaruhi oleh beberapa kendala. Keterbatasan waktu menjadi tantangan terbesar, terlebih saat apotek dipenuhi antrean panjang. Seorang apoteker mengeluh, "Saat kami harus melayani banyak pasien sambil menyelesaikan tugas administratif dan menyiapkan obat, cukup sulit untuk memberikan perhatian penuh pada setiap pasien, namun kami tetap berusaha melakukan komunikasi yang sesuai standar." Di sisi lain, tekanan bisnis dan target penjualan kadang bertolak belakang dengan prinsip pelayanan kesehatan yang berfokus pada kepentingan pasien. Oleh karena itu, apoteker dituntut untuk menerapkan Standar Pelayanan Kefarmasian (Permenkes No. 73 Tahun 2016) yang menegaskan peran apoteker dalam memberikan konseling, informasi obat, dan edukasi pasien agar kesehatan pasien tetap menjadi prioritas utama di tengah tuntutan komersial.

Untuk menyeimbangkan komunikasi kesehatan dengan urgensi pemenuhan kebutuhan obat secara cepat dan praktis, dibutuhkan strategi yang kreatif. Beberapa apoteker membagikan tips berdasarkan pengalaman mereka, seperti menggunakan "skrining cepat" untuk mengidentifikasi pasien yang membutuhkan pendekatan lebih mendalam. Apt. Azmi menjelaskan, "Untuk pasien dengan keluhan ringan, saya berikan informasi singkat dan jelas. Namun, untuk pasien dengan kondisi kronis atau polifarmasi (pengobatan lebih dari satu jenis obat), saya memprioritaskan waktu konsultasi yang lebih lama." Selain itu, memanfaatkan teknologi seperti WhatsApp untuk follow-up² konsultasi juga menjadi salah satu solusi inovatif.

Dari hasil wawancara, apoteker sepakat bahwa komunikasi adalah awal dari proses kesehatan pasien di apotek dan perlu diakui sebagai bagian pokok dari tugas profesi mereka, bukan sekadar pelengkap dalam pelayanan. Setiap interaksi antara apoteker dan pasien bukan hanya tentang informasi obat, tetapi juga memperkuat kepercayaan pasien dari berbagai latar belakang, memberikan edukasi kesehatan yang vital, dan memanusiakan layanan kesehatan. Dalam konteks ini, apoteker dituntut untuk menerapkan Ten Stars of Pharmacist (sepuluh peran penting farmasis menurut WHO³) yang di antaranya adalah menjadi komunikator, pengajar, pemberi perawatan, dan pembuat keputusan yang menuntun pasien menuju kesehatan.

¹ diagnosis mandiri

² tindak lanjut yang dilakukan setelah pelayanan atau konsultasi awal, dengan tujuan memantau perkembangan pasien, memastikan kepatuhan penggunaan obat, serta memberikan edukasi lanjutan terkait kesehatan

³ World Health Organization, organisasi kesehatan dunia

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image