Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image keisya naysilla

Antara Dukun dan Dokter: Ketika Kepercayaan Bertemu Logika

Gaya Hidup | 2025-10-31 19:11:09
Sumber: Kominfo Ngawi (2021).
Sumber: Kominfo Ngawi (2021).

Ketika seorang bapak di pelosok Jawa Timur mengeluh sesak napas, keluarganya segera memanggil dukun kampung. Mereka percaya, sang bapak “kena kiriman” dari tetangga yang iri. Dukun datang dengan dupa, air bunga, dan mantra penolak bala. Setelah berjam-jam ritual dilakukan, tak ada tanda-tanda perbaikan. Saat akhirnya dibawa ke rumah sakit, dokter mengatakan paru-parunya sudah infeksi berat. Nyawanya tak tertolong. Namun bagi warga, itu bukan karena telat berobat, melainkan karena “nasibnya memang sudah waktunya.”

Cerita seperti ini bukanlah hal asing. Di banyak desa Indonesia, dukun masih menjadi tempat pertama untuk mencari solusi kesehatan. Dari sakit kepala, anak rewel, hingga sulit tidur, semua bisa dikaitkan dengan hal gaib atau gangguan spiritual. Di sisi lain, tenaga medis justru sering dianggap terlalu jauh, terlalu “berilmu tinggi”, dan kurang mengerti bahasa rakyat.

Antara Logika dan Rasa Percaya

Masyarakat merasa didengarkan, dipahami, dan tidak dihakimi oleh dukun. Ia hadir di tengah warga, menjadi tempat curhat, bahkan penengah dalam konflik rumah tangga. Ada rasa percaya dan kedekatan emosional yang sulit ditandingi dokter atau bidan. Masyarakat merasa didengarkan, dipahami, dan tidak dihakimi.

Sebaliknya, dunia medis sering terkesan kaku dan berjarak. Istilah medis yang rumit, layanan yang terburu-buru, hingga sikap dingin sebagian petugas, membuat warga enggan datang berobat. Di titik inilah logika kritis masyarakat sering berhenti, bukan karena tidak mau berpikir rasional, tapi karena sudah merasa nyaman dalam keyakinan lama.

Ketika Tradisi Menjadi Dinding

Tidak semua praktik tradisional salah. Banyak ramuan herbal yang terbukti bermanfaat, banyak juga dukun pijat yang memahami anatomi tubuh secara empiris. Namun, masalah muncul ketika kepercayaan itu menolak logika medis. Misalnya, ibu hamil yang menolak ke bidan karena takut “bayinya dipegang kasar” atau pasien demam berdarah yang masih diolesi minyak gosok karena dianggap “masuk angin".

Ketika ilmu dan tradisi tak saling mengenal, yang muncul bukan keseimbangan, tetapi benturan. Di sinilah pentingnya berpikir kritis bukan untuk menolak budaya, tapi untuk menyaringnya. Kearifan lokal boleh tetap hidup, asalkan tidak menggantikan fungsi medis dalam kasus yang berisiko.

Mendekatkan Ilmu ke Hati Rakyat

Kita tak bisa hanya menyalahkan masyarakat karena percaya pada dukun. Terkadang, tenaga kesehatan pun gagal membangun kepercayaan. Edukasi sering datang dalam bentuk penyuluhan yang formal, bukan percakapan yang hangat. Padahal, jika dokter dan bidan mampu berbicara dengan bahasa rakyat, menjelaskan dengan empati, dan hadir lebih sering, mungkin jurang itu bisa perlahan tertutup.

Di beberapa daerah, sudah ada kolaborasi menarik yaitu bidan yang bekerja sama dengan dukun bayi untuk mendampingi proses persalinan secara aman dan bersih. Dukun tetap dihormati, bidan tetap menjalankan tugas medisnya. Hasilnya? Lebih sedikit komplikasi dan lebih banyak kepercayaan.

Menjembatani, Bukan Menghapus

Mitos dan sains tidak harus saling meniadakan. Logika dan kepercayaan bisa berjalan beriringan jika ada ruang dialog. Negara perlu hadir bukan dengan larangan, tapi dengan edukasi yang manusiawi. Karena pada akhirnya, masyarakat tak butuh siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling peduli.

Kesehatan sejatinya bukan hanya tentang obat dan diagnosa. Ia juga tentang kepercayaan, budaya, dan cara kita memahami hidup. Maka tugas kita bukan menertawakan mereka yang masih percaya dukun, tapi membantu mereka melihat bahwa logika dan tradisi bisa bersatu demi hidup yang lebih sehat dan terjamin.

Artikel ini ditulis oleh Keisya Naysilla Oktarie, mahasiswa Keperawatan di Universitas Airlangga, sebagai bagian dari tugas mata kuliah Logika dan Pemikiran Kritis yang dibimbing oleh Bu Khuliyah Candraning Dinayah, S.KM., M. KL. Penulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran dukun dalam kesehatan masyarakat serta relevansi dan tantangan yang dihadapi oleh layanan medis di daerah pelosok.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image