Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sarah Sakirah

Pendidikan Terasa Jauh: Saat Uang, Tradisi, dan Jarak Jadi Penghalang Belajar

Pendidikan dan Literasi | 2025-10-31 09:52:58

“Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.”-Nelson Mandela.

Namun, bagaimana jika senjata itu hanya dapat dipegang oleh mereka yang lahir di tempat, lingkungan, dan keluarga yang ‘beruntung’?

ilustrasi ketimpangan pendidikan

Penyebab terjadinya ketimpangan pendidikan di Indonesia

Ketimpangan ini mencakup pada perbedaan akses dan kualitas pendidikan, sehingga hasil pendidikan yang diterima oleh individu atau kelompok masyarakat mengalami ketidaksetaraan. Hal ini didasari oleh faktor ekonomi, sosial-budaya, dan geografis. Kondisi ini tentunya menjadi tantangan bangsa Indonesia untuk mencapai Indonesia Emas tahun 2045.

1. Faktor Ekonomi

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistika (BPS) tahun 2025, mayoritas rumah tangga miskin ekstrem pendidikannya hanya sampai SD atau bahkan tidak lulus SD. Hal ini menunjukan bahwa banyak anak dari keluarga miskin tidak dapat melanjutkan pendidikan akibat tingginya biaya pendidikan dengan rendahnya pendapatan dan minimnya bantuan keuangan dari pemerintah maupun sektor swasta. Faktor ekonomi menyebabkan anak dari keluarga miskin kesulitan meningkatkan kualitas dan taraf hidupnya. Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2023, sebanyak 67,17 persen pekerja anak Indonesia berstatus masih sekolah. Adanya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup membuat anak-anak harus membantu perekonomian keluarga dengan bekerja. Selain itu, salah satu akar permasalahan dari faktor ekonomi adalah pendanaan pendidikan yang tidak tepat sasaran dan tindak korupsi yang merajalela. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat tingkat korupsi di sektor pendidikan tak pernah keluar dari posisi lima besar pada tahun 2019-2023. Sistem pengelolaan dana bantuan yang diupayakan oleh pemerintah masih belum akuntabel dan transparan bagi masyarakat yang membutuhkan. Pemerintah telah mengusung Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Program Indonesia Pintar (PIP) melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk memberikan dukungan finansial bagi siswa dari kalangan tidak mampu. Namun, realitanya alokasi anggaran masih belum tepat dan tidak sesuai dengan prioritas.

2. Faktor Sosial-Budaya

Faktor sosial-budaya ikut andil dalam permasalahan ini, dalam komunitas masyarakat tertentu pendidikan belum menjadi prioritas karena adanya tradisi yang dianut, seperti pernikahan dini bagi anak perempuan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan akses pendidikan. Data United Nations Children's Fund (UNICEF) tahun 2023 mengungkap terdapat 25,53 juta perempuan di Indonesia yang menikah pada usia di bawah 18 tahun. Indonesia menduduki peringkat empat dengan kasus perkawinan usia dini terbanyak di dunia, setelah India, Bangladesh, dan Cina. Hal ini menunjukkan tren pernikahan dini di Indonesia masih marak dilakukan. Pernikahan dini terjadi karena komunitas masyarakat tertentu menganggap bahwa pendidikan bukan kebutuhan penting dan adanya budaya kecenderungan rasa malu apabila anak perempuan mereka belum menikah saat sudah dianggap dewasa meskipun masih belum cukup umur untuk melangsungkan pernikahan.

3. Faktor Geografis

Kondisi geografis memengaruhi perbedaan infrastruktur penunjang kegiatan belajar-mengajar pada wilayah perkotaan dan pedesaan. Sekolah-sekolah di perkotaan memiliki fasilitas yang jauh lebih baik dan memadai, seperti adanya ruang kelas yang cukup, perpustakaan, laboratorium, dan akses internet yang memadai, sedangkan sekolah-sekolah di pedesaan memiliki fasilitas pendidikan yang kurang memadai, seperti kurangnya ruang kelas, tidak tersedianya perpustakaan, laboratorium, atau bahkan akses listrik dan internet. Selain itu, dilihat dari aspek tenaga pengajar, sekolah-sekolah di perkotaan memiliki tenaga pengajar yang lebih berkualitas dan kompeten. Di daerah pedesaan, minimnya tenaga pengajar yang bersedia mengajar, khususnya di wilayah-wilayah terpencil memperburuk kondisi pendidikan. Adanya kendala pada kondisi dan fasilitas pendidikan membuat tenaga pengajar seringkali kesulitan memberikan pembelajaran yang efektif dan sesuai dengan perkembangan kurikulum. Hal inilah yang mendasari kualitas pembelajaran di pedesaan masih tertinggal dari kualitas pembelajaran di perkotaan, sehingga pencapaian akademis siswa di pedesaan belum mampu bersaing dengan siswa di perkotaan.

Lalu, siapa yang harus bertanggungjawab atas semua ini?

Dalam bidang ekonomi, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dinas pendidikan, dan sekolah harus memastikan bahwa penyaluran dana pendidikan sudah tepat sasaran, yaitu siswa dari keluarga yang kurang mampu dalam finansial. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pengelolaan dana bantuan pendidikan merupakan indikator penting untuk memastikan alokasi anggaran dan sistem pengelolaan dana dapat berjalan dengan semestinya, serta sesuai dengan kebutuhan prioritas, sehingga pendidikan berkualitas dapat diakses bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah juga harus tegas dalam menangani tindak korupsi yang merajalela pada bidang pendidikan melalui kebijakan yang kokoh agar mimpi generasi penerus bangsa tidak menjadi korban atas kerakusan penguasa. Sementara itu, sektor swasta juga diharapkan ikut terlibat dalam mendukung kesetaraan akses dan kualitas pendidikan dengan program Corporate Social Responsibility (CSR) Pendidikan, berupa beasiswa maupun donasi.

Dalam bidang sosial-budaya, tindak stereotip dan patriarki harus segera ditangani. Hal ini tentunya melanggar hak asasi manusia untuk mendapatkan pendidikan. Maka dari itu, dibutuhkan sinergi antara pemerintah dan masyarakat untuk mengubah paradigma sosial ini dengan memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk belajar, berkarya, dan berdaya. Pemerintah bertanggungjawab membuat regulasi yang mendukung kesetaraan gender melalui undang-undang dan kurikulum pendidikan yang inklusif sebagai penggerak perubahan struktural. Selain itu, masyarakat juga memegang peran penting dalam membentuk pola pikir untuk mengubah tradisi yang bersifat partriarki melalui penyaringan tradisi dan edukasi yang inklusif di lingkup sosial.

Dalam bidang geografis, pemerintah harus tegas dalam menerapkan kebijakan pembangunan infrastruktur yang memadai di wilayah pedesaan, khususnya di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) dengan pengoperasian dana bantuan pendidikan yang efisien dan memberikan pelatihan kepada tenaga pengajar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di wilayah pedesaan. Selain itu, melalui program CSR Pendidikan, sektor swasta memiliki peran penting dalam membangun pendidikan dengan pengembangan program kemitraan dengan sekolah di pedesaan dan mentoring kompetensi tenaga pengajar. Peningkatan kompetensi pengajar di pedesaan akan berdampak pada kualitas pendidikan, sehingga siswa di pedesaan memiliki kemampuan yang setara dan mampu bersaing secara akademis dengan siswa di perkotaan.

Kita harus sadar bahwa pendidikan merupakan hak segala bangsa yang menjadi tonggak penting bagi bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Pendidikan menjadi instrumen penting dalam meningkatkan kualitas hidup sumber daya manusia dalam mewujudkan Indonesia Emas tahun 2045. Namun, kenyataanya akses dan kualitas pendidikan masih jauh dari kata setara. Oleh karena itu, evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta, dan seluruh masyarakat di Indonesia menjadi hal yang penting untuk menangani masalah ketimpangan pendidikan dari aspek ekonomi, sosial-budaya, dan geografis. Langkah ini bertujuan untuk dapat menyelesaikan masalah ketimpangan pendidikan agar dapat menciptakan kehidupan yang berkualitas dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tentang Penulis

Sarah Sakirah (NIM: 432251021) merupakan mahasiswa Program Studi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image