Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Stizahroslmh

Menikmati Semarak Bulan Bahasa di Kota Tua dan Secangkir Tenang di Kopi Khop

Wisata | 2025-10-30 20:54:54
Museum Wayang (Stizahroslmh/HP)

Sabtu, 25 Oktober 2025 menjadi hari yang berbeda bagi anggota Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (HIMA PBSI). Dalam rangka menyemarakkan Bulan Bahasa, kami berangkat menuju KOta Tua Jakarta, kawasan bersejarah yang seolah menjadi saksi hidup perjalanan budaya Indonesia.

Setibanya di sana, suasana klasik langsung menyambut. Bangunan tua, jalanan berbatu, dan hiruk-pikuk wisatawan menciptakan atmosfer yang khas. Dari sekian banyak museum di kawasan itu, langkah saya tertarik menuju Museum Wayang.

Museum Wayang, yang terletak di seberang Museum Fatahillah, tampak memadukan nuansa klasik modern. Dari luar, bangunannya masih mempertahankan gaya kolonial khas abad ke-18, namun begitu masuk ke dalam, suasana berubah lebih tertata, lebih interaktif, dan jauh lebih modern dibanding kesan museum yang biasanya terkesan kaku dan sunyi.

Salah satu teman saya, Luluk (Narasumber 1), mengungkapkan kesannya dengan penuh kekaguman.

"Aura masa lampau begitu terasa saat masuk ke sana. Ribuan koleksi wayang tersusun rapi dengan pencahayaan yang redup, seolah-olah wayang itu siap hidup dan bercerita" tuturnya.

Tata pencahayaannya lembut, ruangan terasa sejuk, dan di beberapa titik terdapat layar interaktif yang menampilkan sejarah wayang dalam format digital. Teknologi dan tradisi berpadu tanpa menghilangkan esensi budaya. Modernisasi itu membuat pengalaman berkunjung menjadi lebih hidup dan tidak membosankan, terutama bagi generasi muda.

Museum Wayang (RF/HP)

Koleksi yang dipamerkan sangat beragam. Ada wayang kulit Jawa, wayang golek Sunda, wayang klitik dari Jawa Timur, hingga wayang potehi, boneka khas Tionghoa yang menjadi bukti akulturasi budaya di Nusantara. Setiap wayang ditata rapi dalam vitrin kaca, disertai penjelasan detail tentang asal daerah, bahan, dan filosofi ceritanya. Bahkan, beberapa wayang memiliki ekspresi wajah yang begitu kuat, seolah sedang berbicara kepada pengunjung.

Di salah satu sudut, saya menemukan deretan boneka tradisional dari berbagai negara, hasil hibah dan kerja sama internasional. Di situ saya sadar, seni pertunjukan boneka dan wayang bukan hanya milik Indonesia, melainkan bagian dari kebudayaan dunia yang mengandung nilai universal: menyampaikan pesan moral dan kemanusiaan lewat cerita.

Sayangnya, waktu kami terbatas. Ada pertunjukan animasi wayang yang kabarnya menampilkan perpaduan teknologi digital dengan kisah klasik Ramayana, namun jadwalnya masih lama, sehingga saya tidak sempat menontonnya. Meski begitu, melihat bagaimana museum ini bertransformasi menjadi lebih modern dan menarik sudah cukup memberi kesan mendalam. Museum Wayang kini bukan hanya tempat menyimpan benda kuno, tapi juga ruang hidup yang menyatukan masa lalu dan masa kini dalam harmoni.

“Kalau saya harus menggambarkan Museum Wayang dengan satu kata, saya pilih lentera. Karena museum ini seperti cahaya yang menjaga warisan budaya agar tidak hilang dalam kegelapan zaman.” ujar Luluk menutup ceritanya.

Perjalanan berlanjut ke tempat yang lebih modern, namun tetap hangat: Kopi Khop, sebuah kafe yang berlokasi tidak jauh dari Stasiun Manggarai. Kami memutuskan untuk berjalan kaki menuju sana, perjalanan yang cukup melelahkan bagi kami yang biasanya lebih akrab dengan rutinitas kampus yang santai. Namun rasa lelah itu terbayar begitu sampai di lokasi.

Kopi Khop menawarkan suasana yang tenang dan akrab, jauh dari kesan kafe komersial. Salah satu teman saya, Rissa (Narasumber 2) mengenang momen itu dengan tersenyum.

“Saat pertama kali datang, suasananya begitu menenangkan. Kafenya belum buka waktu itu, tapi kami tetap dilayani dengan ramah,” katanya.

Kopi Khop juga menyajikan berbagai menu yang menarik, dari minuman kopi hingga camilan kekinian. Namun yang paling “mahal” bukanlah menunya, melainkan pemandangan yang ditawarkan. Dari balkon kafe, kami bisa langsung melihat kereta yang lalu-lalang di jalur Stasiun Manggarai. Saat sore menjelang, langit berubah jingga, berpadu dengan gemuruh rel kereta dan suara tawa pengunjung, suasana yang sulit dilupakan.

“Kami duduk berhadapan, ngobrol hal-hal kecil yang nggak penting tapi terasa menyenangkan. Mie itu seperti ‘teman diam’ yang menemani tawa sore itu,” ujarnya.

“Yang paling mahal dari Kopi Khop itu view-nya. Dari sana bisa lihat rel kereta dengan langit senja yang berubah warna. Suara kereta dan lampu kota menciptakan suasana yang menenangkan. Indahnya sederhana, tapi ngena di hati,” tambahnya.

Menjelang malam, kami menutup hari di peron 9–10 Stasiun Manggarai. Dari sana, city light Jakarta berkilau indah, sementara rintik hujan turun perlahan, menambah kesan tenang dan syahdu.

Saya berbincang dengan Farihah (narasumber 3), yang mengenang suasana itu dengan penuh emosi.

“Waktu sore suasananya ramai karena jam pulang kerja, tapi malam hari jadi tenang dan indah. Bisa lihat city light sambil dengar suara hujan, rasanya damai banget,” tuturnya.

Ia menambahkan bahwa momen itu membangkitkan perasaan yang campur aduk.

“Rasanya sedih, tapi sedih yang bahagia. Aku bahkan sempat melamun di peron, mikirin masa depan,” ujarnya pelan.

Namun tak semuanya melankolis; ada juga kisah lucu yang ia ceritakan dengan tawa.

“Kami sempat nyasar cari spot foto dan malah diomelin pengunjung lain. Setelah dipikir-pikir, lucu juga, mungkin mbaknya lagi sensi,” katanya sambil tertawa.

Bagi Farihah, satu kata yang paling menggambarkan malam itu adalah:

“Memorable.”

Hari itu bukan sekadar perjalanan wisata. Bagi kami, perjalanan ini adalah perpaduan antara pembelajaran, kebersamaan, dan refleksi diri. Dari Museum Wayang kami belajar tentang akar budaya, dari Kopi Khop kami merasakan hangatnya kebersamaan, dan dari Stasiun Manggarai kami menemukan ketenangan dalam hiruk-pikuk kota.

Rissa (Narasumber 2) menutup ceritanya, ia menambahkan refleksi yang menyentuh:

“Perjalanan ini lebih dari sekadar jalan-jalan. Kami belajar bahwa kebersamaan nggak harus mewah, cukup spontan dan tulus. Yang penting bukan tempatnya, tapi orang-orang yang ada di dalam ceritanya.”.

Di antara senja, hujan, dan tawa, kami menyadari satu hal: bahwa setiap langkah, setiap percakapan, dan setiap tempat yang kami datangi menyimpan cerita, dan hari itu, kami tidak hanya membawa pulang foto, tapi juga kenangan yang akan terus hidup dalam ingatan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image