Ruang Publik, Dunia Maya, dan Krisis Empati Sosial
Lainnnya | 2025-10-30 20:49:24Beberapa hari terakhir, jagat maya kembali dihebohkan oleh video seorang oknum polisi yang melakukan cat-calling terhadap perempuan di ruang publik. Peristiwa itu cepat sekali menyebar—direkam, diunggah, lalu jadi bahan pembicaraan di media sosial. Namun yang lebih menarik untuk dicermati bukan hanya perilaku pelaku, melainkan reaksi publik. Banyak orang yang menonton, merekam, bahkan berdebat di kolom komentar, tapi hanya sedikit yang benar-benar bertanya: mengapa empati dan kesadaran sosial kita seolah makin menipis?
Fenomena ini memperlihatkan wajah baru masyarakat modern yang hidup di antara dua dunia: dunia maya yang serba cepat, dan dunia nyata yang makin sunyi secara sosial. Kita hidup di masa di mana interaksi sosial lebih sering terjadi lewat story dan chat daripada tatapan mata dan percakapan langsung. Kafe yang dulu menjadi tempat bercengkerama kini berubah menjadi ruang privat digital, di mana setiap orang hadir secara fisik, tetapi sibuk dengan dunianya sendiri di layar ponsel.
Dalam kacamata sosiologi, ini merupakan gejala disengagement sosial — suatu kondisi ketika manusia perlahan menarik diri dari hubungan tatap muka dan menggantinya dengan interaksi daring. Dunia digital memang menawarkan rasa aman: tidak ada tatapan menilai, tidak ada jeda canggung, dan kita bisa mengontrol citra diri sesuka hati. Namun di balik kenyamanan itu, ada jarak yang makin melebar antara manusia dan kemanusiaannya.
Kasus cat-calling yang viral hanyalah satu contoh kecil bagaimana ruang publik kini kehilangan makna sosialnya. Dahulu, ruang publik menjadi tempat bertemunya norma, empati, dan kesadaran bersama. Sekarang, ruang publik kerap menjadi panggung untuk mencari perhatian atau konten. Ketika terjadi hal yang tidak pantas, alih-alih menegur atau menolong, banyak orang justru memilih merekam. Kita lebih cepat menekan tombol “rekam” daripada menatap dan menegur dengan keberanian moral.
Padahal, empati adalah fondasi dari kehidupan sosial. Tanpa empati, kita hanya hidup berdampingan, bukan bersama. Ketika empati digantikan oleh notifikasi dan likes, maka solidaritas pun berubah menjadi sekadar simbol di dunia maya. Dalam konteks ini, masyarakat kita sebenarnya sedang menghadapi krisis: bukan krisis teknologi, tetapi krisis rasa.
Sebagai generasi muda, kita tentu tidak bisa menolak kemajuan teknologi. Media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari—tempat berbagi, belajar, bahkan bekerja. Namun, teknologi seharusnya menjadi alat untuk memperluas kepedulian, bukan menggantikannya. Tantangan kita bukan hanya bagaimana menggunakan teknologi dengan cerdas, tetapi juga dengan hati.
Dalam perspektif sosiologi, kita bisa meminjam konsep Erving Goffman tentang Presentation of Self. Di dunia nyata, setiap orang menampilkan diri sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Namun di dunia maya, panggung itu sering kali kehilangan batasan. Kita menampilkan versi diri yang diinginkan, bukan yang sesungguhnya. Akibatnya, dunia maya menjadi tempat penuh peran dan citra, sementara dunia nyata kehilangan interaksi yang tulus.
Ruang publik dan dunia maya seharusnya tidak saling meniadakan. Keduanya bisa berjalan berdampingan jika manusia tetap menempatkan nilai sosial dan empati sebagai landasan. Ruang publik akan kembali hidup jika setiap individu hadir dengan kesadaran sosial, bukan sekadar kehadiran fisik. Dunia maya pun bisa menjadi ruang yang bermakna bila digunakan untuk menyebarkan kebaikan, bukan sensasi.
Kita mungkin tidak bisa mematikan teknologi, tapi kita bisa memilih untuk tidak mematikan rasa. Karena sejatinya, kemajuan bukan hanya soal kecepatan berbagi informasi, tapi juga kemampuan untuk tetap menjadi manusia di tengah arus digital.
Sudah saatnya kita belajar untuk tidak hanya hadir di dunia maya, tapi juga benar-benar hadir untuk sesama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
