Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Tritunggal Kayumanis: Belajar Cinta dari Yudistira, Cavendish, dan Katokkon

Kuliner | 2025-10-30 20:08:04

Oleh Muliadi Saleh

Malam itu, obrolan di grup kecil kami berubah jadi taman rasa.

Awalnya hanya gurauan tentang ayam, pisang, dan cabai — tapi siapa sangka, dari situ tumbuh renungan tentang hidup dan cinta.

Saya menulis, “Rasa Yudistira memang tak terkira, seperti Cavendish yang menghipnotis dan pedas Katokkon yang bak tawon.”

Rahman A. Harun menimpali dengan ayat suci:

وَذَلَّلْنٰهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوْبُهُمْ وَمِنْهَا يَأْكُلُوْنَ

“Dan Kami tundukkan hewan-hewan itu untuk mereka; sebagian untuk tunggangan, dan sebagian untuk mereka makan.” (QS. Ya-Sin: 72)

“Lihat,” katanya, “Ayam Yudistira itu tunggangan untuk urban farming dan juga berkah di meja makan.”

Kami tertawa, tapi di balik tawa itu terselip hikmah: ternyata dari kebun dan dapur pun kita bisa belajar spiritualitas.

Lalu Aslam Katutu menulis dengan nada nakal tapi dalam makna:

“Yudistira = tak terkira,

Cavendish = romantis,

Katokkon = ?”

Dan ia menambahkan:

“Mau dapat romantis yang tak terkira? Ayo move on!”

Tawa pun pecah lagi. Tapi sekali lagi, dari gurauan itu tumbuh kesadaran: bahwa cinta, prinsip, dan luka adalah bagian dari satu ekologi rasa — saling melengkapi, saling mengajarkan.

Dari situlah lahir istilah yang kami sebut ‘Tritunggal Kayumanis’ — tiga rasa yang jadi jalan kebijaksanaan: Yudistira, Cavendish, dan Katokkon. Tiga simbol sederhana, tapi mengandung pelajaran hidup yang dalam.

Yudistira, dalam kisah pewayangan, adalah lambang kebijaksanaan. Ia tak mudah tergoda oleh amarah atau ambisi. Dalam hidup sehari-hari, Yudistira menjadi ajaran untuk tetap berpijak di atas kebenaran — juga ketika berbicara tentang cinta, pangan, dan pilihan hidup. Rahman Harun menyebutnya sebagai “pilar bagi urban farming dan sumber nikmat bagi tubuh.” Yudistira mengingatkan kita bahwa setiap hal, bahkan makanan di piring, punya nilai moral. Bahwa bijak bukan sekadar soal berpikir, tapi juga soal bagaimana kita memperlakukan bumi dan sesama.

Aslam Katutu menulis dengan gaya reflektif:

“Ada Yudistira dalam caraku menjaga harga diri,

Cavendish dalam caraku mencintai,

dan Katokkon dalam caraku melupakan — karena hidup harus tetap berjalan.”

Dalam bahasa Al-Qur’an, pesan Yudistira seirama dengan ayat “Innama’al ‘usri yusra” — di balik kesulitan selalu ada kemudahan. Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk menunda reaksi, agar kita bisa melihat makna di balik ujian.

Jika Yudistira adalah logika, maka Cavendish adalah rasa. Pisang yang manis ini mengajarkan tentang “alam nasyrah” — kelapangan dada setelah kesempitan. Prof. Sudirman Numba pernah berkata, “Cavendish mengajarkan berlapang dada. Sebab setelah kesulitan, pasti ada kemudahan.” Cavendish tumbuh dengan sabar, dari batang yang sederhana, lalu memberi buah yang lembut dan harum. Ia mengajarkan bahwa cinta tak perlu tergesa; bahwa manis datang pada waktunya. Dan bahwa hidup — seperti pisang Cavendish — akan terasa indah kalau kita tahu kapan harus melepaskan dan kapan harus memeluk.

Aslam Katutu menuliskan kembali dengan nuansa puitis:

“Dalam cinta, jadilah seperti Yudistira — tiada tara dalam kebijaksanaan.

Dalam rasa, seperti Cavendish — manis dan paling romantis.

Dan dalam luka, belajarlah dari Katokkon — tetap melangkah, tetap move on.”

Cinta yang sejati, kata para sufi, adalah rasa yang menenangkan, bukan membakar. Dan Cavendish, dalam segala kesederhanaannya, adalah pelajaran tentang manis yang tak pernah sombong.

Lalu datang Katokkon, si cabai kecil dari Toraja yang pedasnya tak main-main. Pedas Katokkon mengajarkan keikhlasan — tentang menerima luka, menertawakan perih, dan melangkah lagi. Prof. Sudirman Numba menulis, “Katokkon mengajarkan ‘Fa idzaa faraghta fanshab, wa ilaa rabbika farghab’ — setelah selesai satu urusan, bangkitlah dan lanjutkan. Move on.” Rahman Harun menambahkan, “Alhamdulillah, move on itu hijrah terbaik.”

Aslam Katutu menutup percakapannya dengan kalimat sederhana tapi mengena:

“Hidup ini tak perlu sempurna.

Cukup Yudistira dalam prinsip,

Cavendish dalam cinta,

dan Katokkon dalam luka — berani move on tanpa menoleh ke belakang.”

Pedas Katokkon bukanlah penderitaan. Ia adalah energi yang membangunkan. Ia membakar bukan untuk menyakiti, tapi untuk mengingatkan bahwa hidup tak boleh hambar.

Di sela-sela percakapan, Aslam Katutu menambahkan satu nama lagi: Alpukat. Buah hijau yang menunggu matang dengan sabar ini adalah lambang dari proses. “Cinta sejati,” tulisnya, “adalah seperti alpukat — menunggu waktu yang tepat, tidak dipaksakan.” Sabar bukan berarti diam, tapi percaya bahwa setiap hal punya musimnya sendiri. Seperti alpukat yang baru lembut setelah waktunya tiba, hati manusia juga perlu waktu untuk matang dan siap mencinta.

Malam itu, percakapan kami tentang buah, cabai, dan ayam ternyata berubah jadi ruang tafakur. Saya menyebutnya “ekologi rasa” — hubungan antara pangan, jiwa, dan spiritualitas. Bahwa apa yang kita tanam, makan, dan bagikan, sejatinya adalah bagian dari cara kita menjadi manusia yang lebih utuh.

Yudistira mengajarkan prinsip, Cavendish mengajarkan cinta dan kelapangan, Katokkon mengajarkan ikhlas dan keberanian, dan Alpukat mengajarkan sabar dalam proses. Empat rasa, empat jalan menuju kehidupan yang lebih manis — sebagaimana kayu manis di akhir segelas teh: tidak mendominasi, tapi memberi wangi yang menenangkan.

Karena pada akhirnya, hidup ini memang soal rasa — rasa syukur, rasa cinta, dan rasa untuk terus belajar menjadi manusia yang tidak hanya makan dari bumi, tetapi juga tumbuh bersamanya.

Muliadi Saleh, konsultan pengembangan masyarakat dan wilayah, penulis dan pembicara publik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image