Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jeje Zaenudin

Ironi Mahasiswa Mampu dan Beasiswa yang Tak Lagi Tepat Sasaran

Nasihat | 2025-10-30 13:51:14
Ilustrasi beasiswa. (Sumber: baznaskampar.or.id)

Oleh: Jeje Zaenudin Mahasiswa Hukum UBP Karawang

Beasiswa semestinya menjadi jembatan bagi mereka yang terhalang ekonomi, bukan sekadar hadiah bagi mereka yang ingin “menambah keuntungan”. Namun belakangan, makna beasiswa sering bergeser dari bentuk kepedulian sosial menjadi ajang “semoga beruntung”, tanpa melihat siapa yang paling membutuhkan.

Di Karawang, program Beasiswa Karawang Cerdas (KACER) kembali dibuka. Program ini memiliki beberapa jalur untuk siswa berprestasi akademik, tahfiz, dan terutama bagi mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Tujuannya mulia, memberi kesempatan agar setiap anak Karawang dapat menempuh pendidikan tanpa hambatan biaya.

Namun, dalam percakapan sehari-hari di kampus, saya sering mendengar hal yang ironis. Seorang teman bercerita dengan antusias ingin mendaftar beasiswa serupa, padahal saya tahu betul bahwa ia berasal dari keluarga berada. Orang tuanya memiliki usaha besar, dan ia pun kerap tampil di media sosial dengan gaya hidup mewah, dari mobil pribadi, nongkrong di kafe mahal, hingga liburan ke luar kota. Ketika saya tanya, jawabannya ringan, “Sayang, kan? Bisa dapat uang lumayan besar, masa nggak daftar.”
Di titik itu, saya mulai berpikir: apakah beasiswa kini dianggap sekadar bonus, bukan amanah?


Beasiswa dan Krisis Etika Mahasiswa

Kasus di Universitas Sebelas Maret (UNS) beberapa waktu lalu menjadi contoh paling nyata. Seorang mahasiswi penerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) harus dicabut haknya setelah videonya viral tengah berpesta di klub malam. Pihak kampus menilai perilakunya tidak sesuai dengan etika penerima beasiswa. Kasus itu menegaskan satu hal penting: beasiswa bukan hanya soal kemampuan akademik atau ekonomi, tetapi juga soal moral dan tanggung jawab. Ketika seseorang menerima beasiswa, berarti ia dipercaya negara untuk menggunakan dana publik demi tujuan pendidikan dan kemajuan diri, bukan untuk memperindah citra sosialnya di dunia maya.

Namun realitanya, banyak mahasiswa yang mampu secara finansial justru ikut bersaing merebut beasiswa yang seharusnya menjadi hak teman-teman yang benar-benar membutuhkan. Akibatnya, prinsip keadilan distributif menjadi kabur. Mereka yang hidup pas-pasan, yang mungkin harus bekerja sambil kuliah, tersingkir oleh mereka yang pandai memainkan berkas dan kata-kata di formulir pendaftaran.


Ketika Solidaritas Sosial Memudar

Mahasiswa sering disebut “agen perubahan”, tapi bagaimana perubahan bisa terjadi jika sejak di bangku kuliah saja, rasa empati sudah digantikan oleh rasa serakah? Beasiswa bukan hanya tentang uang kuliah, tapi juga tentang nilai moral: rasa peduli, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Sayangnya, sebagian dari kita memandang beasiswa sebagai peluang finansial semata. Padahal, di balik setiap rupiah bantuan itu, ada pajak rakyat kecil yang bekerja keras. Ada petani, buruh, dan pedagang kecil yang ikut menanggungnya melalui sistem negara. Maka ketika mahasiswa mampu masih mengambil bagian dari dana itu, sesungguhnya ia sedang menggeser hak orang lain.


Refleksi dan Harapan

Sudah seharusnya lembaga pendidikan dan pemerintah daerah memperketat mekanisme verifikasi penerima beasiswa, bukan sekadar melihat nilai rapor atau surat keterangan tidak mampu yang kadang bisa dimanipulasi. Harus ada verifikasi sosial, misalnya dengan melibatkan RT/RW, tokoh masyarakat, atau survei lapangan. Namun di luar sistem, kesadaran moral pribadi juga penting. Mahasiswa yang mampu seharusnya bisa menahan diri untuk tidak ikut merebut hak orang lain. Bukankah lebih bermartabat jika mereka yang punya kelebihan ekonomi justru membantu teman-temannya yang kesulitan biaya, bukan ikut bersaing dalam ruang yang seharusnya menjadi tempat bagi mereka yang tertinggal?

Kita sering berbicara tentang integritas, kejujuran, dan kepedulian sosial di kelas atau forum mahasiswa. Tapi seharusnya nilai-nilai itu tidak berhenti di ruang diskusi. Ia harus hidup dalam pilihan kecil, seperti keputusan untuk tidak mendaftar beasiswa yang bukan haknya. Beasiswa memang hak setiap mahasiswa. Tapi ketika hak itu disalahgunakan oleh mereka yang sudah mampu, maka yang terjadi bukan lagi pendidikan yang adil, melainkan pendidikan yang kehilangan nuraninya.

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image