Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arlita Hernianti

MBG dalam Perspektif Hak Anak

Kebijakan | 2025-10-30 10:06:47

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan janji kampanye presiden dan wakil presiden Prabowo-Gibran yang diwujudkan untuk mendukung visi Indonesia Emas 2045. Langkah stategis ini sesuai dengan Asta Cita yaitu memperkuat pembangunan sumber daya manusia. Program ini merupakan investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang.

MBG telah resmi berjalan secara bertahap sejak 6 Januari 2025. Tujuan utama MBG yaitu mengatasi permasalahan malnutrisi dan stunting, khususnya pada kelompok rentan yang meliputi balita, anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui. Dengan adanya MBG diharapkan setiap anak Indonesia terpenuhi gizinya sehingga tumbuh sehat dan berdaya saing.

Sejak awal diumumkan hingga saat ini, program MBG telah menarik perhatian publik. Banyak pihak yang pro dan kontra dengan kebijakan tersebut. Sebagai program yang menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat, MBG membangkitkan harapan sekaligus memunculkan kekhawatiran. Di satu sisi publik melihat program ini memiliki tujuan positif, di sisi lain implementasinya menghadapi banyak tantangan.

Realitas Pahit di Lapangan

Pemberitaan miring mengenai MBG sampai hari ini belum juga usai. Banyaknya kasus MBG menunjukkan kegagalan penyediaan makanan aman. Kegagalan ini bukan sekadar insiden teknis, melainkan cermin kelalaian negara dalam memenuhi tanggung jawabnya. Beberapa kasus di lapangan memperlihatkan kegagalan sistemik tersebut. Di daerah NTT, ditemukan ayam yang masih mentah dalam kotak MBG di sebuah sekolah dasar. Kemudian di Sulawesi Selatan, ratusan nasi goreng sudah basi dan mengeluarkan aroma tidak sedap ketika sampai di sekolah. Di Bandung Barat, terjadi keracunan massal setelah mengkonsumsi MBG. Kasus-kasus serupa juga terjadi di berbagai wilayah lainnya.

Ilustrasi gizi MBG. Sumber: Canva.

Publik juga turut menyoroti perihal gizi. Dalam kotak MBG seharusnya disajikan makanan dengan gizi seimbang. Namun pada kenyataannya menu yang disajikan asal-asalan dan tidak sesuai dengan standar gizi. Selain itu, makanan berbelatung, tempat cuci ompreng yang tidak bersih, hingga ompreng dilapisi minyak babi juga menambah deretan kasus MBG. Kasus-kasus ini menjadi pemberitaan yang berulang dengan tempat kejadian yang berbeda-beda.

Berbagai kasus yang terjadi tidak hanya meninggalkan luka fisik tetapi juga menimbulkan trauma. Anak menjadi takut makan di sekolah, orang tua kehilangan kepercayaan, dan guru merasa bersalah. Beredar konten di dunia maya yang menunjukkan bahwa banyak orang tua siswa yang melarang anaknya ikut MBG dan memilih tetap membawakan anaknya bekal ke sekolah. Kemudian apabila melihat bagaimana respons masyarakat terhadap kasus-kasus MBG kita dapat menemukan bahwa banyak masyarakat yang menuntut agar MBG dibubarkan. Hal ini menunjukkan adanya krisis kepercayaan publik terhadap program MBG.

Pemerintah cenderung lambat dalam merespon dan bertindak untuk menanggulangi sehingga kasus serupa terjadi berulang. Salah satu sekolah di Jawa Tengah meminta orang tua murid menandatangi formulir yang menunjukkan kesediaan atau ketidaksediaan menerima MBG. Apabila bersedia menerima MBG maka mereka bersedia untuk menanggung risiko yang timbul dari pemberian MBG. Sikap ini memberikan kesan bahwa pemerintah tidak berani bertanggung jawab.

Program yang digadang menyehatkan anak bangsa justru realitanya bertolak belakang. Alih-alih merepresentasikan perhatian negara ternyata malah menimbulkan konsekuensi berupa meningkatnya risiko bagi kesehatan dan keselamatan mereka. Kondisi ini menunjukkan adanya kontradiksi antara tujuan peningkatan gizi dan praktik yang cenderung abai terhadap perlindungan anak.

MBG dalam Kerangka Hak Anak

Dari perspektif hak asasi, MBG bukan sekadar program bantuan sosial. MBG adalah kebijakan berbasis ‘child rights’ atau ‘hak anak’ yaitu hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal yang dalam hal ini diupayakan melalui pemberian pangan dengan gizi seimbang. Hal ini ditegaskan dalam Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar anak, termasuk gizi, kesehatan, dan rasa aman.

Pangan adalah pondasi untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Ketersediaan pangan yang layak dan aman dikonsumsi mencerminkan terpenuhinya salah satu hak dasar anak. Kasus-kasus MBG seperti yang sudah dijelaskan di atas dapat menjadi ancaman terhadap pemenuhan hak anak.

Kasus-kasus yang terjadi akibat kelalaian sistem MBG dipandang sebagai bentuk kekerasan struktural, yaitu kekerasan karena struktur dan kebijakan yang abai terhadap kesehatan dan keselamatan anak. Negara berkewajiban memastikan setiap kebijakan publik berorientasi pada prinsip best interest of the child, kepentingan terbaik anak. Maka ketika sistem MBG tidak dibangun dengan baik, negara secara tidak langsung telah melakukan kekerasan melalui sistemnya sendiri. Anak-anaklah yang pada akhirnya menjadi korban.

Walaupun MBG diberikan secara gratis, negara tidak seharusnya memaknai gratis untuk abai terhadap kesehatan. Anak bukanlah sekadar penerima program, mereka adalah subjek hukum yang memiliki hak atas kesehatan dan keselamatan. Oleh karena itu, MBG harus mempertimbangkan seluruh aspek perlindungan anak sehingga tidak ada lagi anak yang menjadi korban.

Keberhasilan MBG

MBG bukan hanya tentang memberi makanan atau keberhasilan politis dalam memenuhi janji kampanye belaka. Lebih dari itu, MBG adalah cermin sejauh mana negara memahami tanggung jawab moralnya. Jadi, MBG tidak bisa hanya sekadar yang penting ada, yang penting programnya berjalan, atau yang penting anggaran terserap.

Mengingat anggaran yang digelontorkan sangat besar, MBG harus memiliki sistem yang baik. Dengan demikian kasus berulang tidak lagi terjadi. Kondisi ini akan mengembalikan kepercayaan publik terhadap program MBG dan meningkatkan peluang keberhasilan.

Keberhasilan MBG tidak cukup hanya diukur dari berapa banyak anak yang diberi makan, melainkan juga seberapa optimal tumbuh kembangnya. Tumbuh kembang yang optimal mencerminkan terpenuhinya hak anak dan tercapainya tujuan MBG dalam mengatasi malnutrisi dan stunting. Dengan tumbuh kembang optimal dapat terwujud sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image