Psikologi di Balik Sulitnya Move On: Kenapa Otak Tak Semudah Itu Melupakan?
Edukasi | 2025-10-29 15:46:21
Tiap orang pasti pernah mengalami perasaan kasmaran dan kehilangan, kenangan baik maupun buruk tentang seseorang yang dulu pernah menjadi bagian penting mungkin tersimpan dalam lubuk hati terdalam. Saat kita tiba-tiba mengingat seseorang yang pernah hadir dan mewarnai hidup kita, kadang-kadang muncul perasaan rindu, canggung, atau bahkan panik tak terkendali. Kenangan romantis bukan hanya sekadar ingatan yang tersimpan dalam pikiran, melainkan suatu pengalaman yang kembali hidup dalam otak dan tubuh kita.
Saat teringat pada momen dahulu bersama orang terkasih, tubuh dapat bereaksi seolah-olah kejadian itu terulang kembali — jantung terasa berdebar kencang, tangan gemetar hebat, bahkan adakalanya muncul rasa sesak di dada. Perasaan tidak nyaman ini sering kali muncul apabila kita masih belum rela atas hal yang telah lewat, fenomena tersebut dapat disebut sebagai gagal move on atau emotional attachment yang belum terselesaikan.
Gagal move on bukan hanya sekadar persoalan “belum bisa melupakan orang terkasih atau kenangannya”, melainkan sebuah jenis respons biologis dan emosional yang memperlihatkan bahwa sistem otak kita masih belum sepenuhnya melepaskan makna mendalam yang tersimpan dari aspek tersebut, otak kita menganggap bahwa aspek tersebut sesuatu yang berarti dan belum bisa untuk dilupakan. Fenomena gagal move on menjadi topik yang sering kali ditemukan pada abad ini dan sangat menarik untuk dibahas karena hampir setiap orang pernah merasakannya. Bagi sebagian orang mengingat kenangan saat bersamanya terasa menyenangkan, tetapi beberapa justru merasakan sakit dan sesak.
Bagaimana bisa sebuah kenangan dapat memicu reaksi emosional suatu individu yang berbeda-beda? bahkan ada yang telah berpisah cukup lama masih merasakan debaran yang sama seolah kejadian itu baru saja terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa kenangan tidak hanya tersimpan dalam hati, tetapi juga meninggalkan jejak mendalam pada otak dan sistem saraf manusia.
Dalam perspektif biopsikologi, reaksi tersebut erat kaitannya dengan sistem limbik, korteks prefrontal, dan hormon. Sistem limbik merupakan bagian otak yang berfungsi sebagai pengaturan emosi dan memori. Di dalamnya terdapat dua struktur penting, yakni amigdala (pusat emosi) dan hipokampus (penyimpan memori). Menurut Pinel (2011), amigdala berfungsi sebagai regulator emosi, memicu respons seperti jantung berdebar atau panik ketika muncul stimulus yang mengingatkan momen masa lalu. Di sisi lain, hipokampus adalah pusat memori yang menyimpan detail kontekstual, seperti tempat, aroma, atau lagu yang berhubungan dengan orang terkasih sehingga kenangan terasa hidup kembali (Squire&Wixted, 2011, dalam terjemahan Pinel, 2011). Fenomena yang banyak ditemukan pada remaja saat ini adalah suatu kebiasaan meletakkan kenangan bersama seseorang pada sebuah objek tertentu, seperti menaruh memori pada aroma khas parfum mantan, tempat yang sering dikunjungi bersama, lagu favorit yang sering didengar saat berkencan atau lagu yang mengintrepretasikan orang terkasih, dan bahkan kebiasaan kecil memberi kabar pada orang terkasih ketika hendak pergi ke suatu tempat. Dalam konteks psikologi, pengalaman ini sering disebut sebagai emotional recall—suatu kondisi munculnya pemicu emosi intens dari masa lalu.
Hal ini menyebabkan kenangan lama hidup kembali dan makin sulit untuk dilepaskan karena otak masih menganggap peristiwa tersebut penting dan memiliki makna dalam hidup. Selain sistem limbik, korteks prefontal (prefontal cortex) —yang terletak pada bagian depan otak—juga memiliki peranan penting dalam proses pengendalian diri dan penilaian rasional karena menjadi salah satu bagian yang mengatur kontrol impuls dan menjadi alasan mengapa seseorang dapat merasa terjebak dalam emosi sedih, rindu, atau bahkan marah yang berkepanjangan. Korteks prefontal membantu kita menilai sesuatu secara rasional bahwa kejadian kemarin hanyalah kenangan dan bukan menjadi ancaman. Ketika berfungsi dengan baik, ia bisa menenangkan amigdala. Namun, Ketika stres atau ruminasi berlangsung lama akan membuat aktivitas korteks prefontal melemah. Rippere dalam Papageorgiou & Wells, mengatakan bahwa rumination adalah suatu pikiran yang bersifat depresif, berulang-ulang mengenai masalah yang terjadi, sulit untuk dihilangkan, dan cenderung bersifat menetap. Hasilnya, kontrol terhadap emosi melemah dan sistem limbik mendominasi. Dalam jangka panjang, stres emosional kronis dapat memengaruhi struktur otak, kesulitan fokus, dan gangguan tidur.
Dari sisi hormonal, kenangan romantis dipengaruhi oleh hormon-hormon tertentu, seperti dopamin, oksitosin, dan kortisol. Dopamin memberikan sensasi bahagia dan meningkatkan semangat. Oksitosin menciptakan rasa ketertarikan dan keintiman satu sama lain. Hormon kortisol dapat meningkat pada seseorang apabila ia mengalami stress atau menghadapi situasi yang mengancam. Ketidakseimbangan ketiga hormon ini dapat membuat seseorang kesulitan untuk meregulasi emosi dan memperpanjang proses move on. Sebuah studi oleh Verhallen et al (2021), menunjukkan bahwa setelah putus cinta terjadi perubahan pada cara kerja memori (working memory) yang mencerminkan pengaruh kenangan romantis terhadap fungsi kognitif pada otak.
Fenomena ini bisa muncul secara tiba-tiba saat beraktivitas. Bayangkan ada seseorang yang sedang berbincang atau bernostalgia dengan teman lamanya lalu ada salah satu teman yang menyebut nama seseorang dari masa lalu. Tubuh seakan bereaksi otomatis dan jantung berdegup cepat seolah-olah kenangan bersamanya terputar kembali. Dari sudut pandang biopsikologi, hal ini menunjukkan bahwa memori emosional juga tersimpan di jaringan biologis yang mendalam. Namun, tenang saja karena otak manusia memiliki kemampuan luar biasa, yakni neuroplastisitas—kemampuan untuk mereorganisasi fungsi dan strukturnya. Melakukan aktivitas yang produktif, seperti berolahraga, meditasi, mendengarkan musik yang bahagia, atau rutin journaling dapat menguatkan fungsi korteks prefontal, menyeimbangkan amigdala, dan menurunkan kadar kortisol. Penelitian lokal oleh Gazadina dan Pasaribu (2021) juga mendukung hal ini. Mereka menemukan bahwa status hubungan romantis dan tingkat kesepian memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas hidup yang artinya pengalaman cinta dan kehilangan berdampak pada kesejahteraan psikologis, bukan hanya pada emosi sesaat.
Move on bukan berarti siapa yang cepat melupakan, tetapi tentang proses melatih menata ulang makna dari kenangan tersebut. Setiap kali kenagan muncul, otak sedang meraba-raba jalur saraf lama. Jika kita dapat merespons dengan bijak, jalur tersebut dapat melemah dan digantikan dengan pola pikir yang lebih tenang. Kita dapat belajar dari pengalaman ini bahwa perasaan belum move on bukan tanda kalua kita lemah, melainkan sebagai bukti bahwa sedang berproses untuk pulih dari pengalaman yang bermakna. Otak kita tidak bisa dipaksakan, tapi ia bisa dilatih untuk berdamai. Jadi, Ketika nama seseorang memicu dirimu sadari bahwa itu hanyalah otak yang sedang memutar ulang puing-puing kenangan. Lambat laun semuanya akan baik-baik saja tak lagi menyakitkan. Hal ini menjadi bagian dari manusia, makhluk yang belajar untuk mencintai, terluka, dan akhirnya pulih kembali.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
