Label Sosial: Hal Sepele yang Mengubah Perilaku Masyarakat Sekarang
Trend | 2025-10-29 08:14:14
Sumber : pexels.com
Pelabelan sosial adalah pemberian cap dari masyarakat sekitar terhadap suatu individu atau kelompok. Mungkin kalian familiar dengan kata, “Dasar NPD” atau “Self-centered banget, sih.” Di tengah maraknya penggunaan media sosial, fenomena pelabelan sosial semakin marak terjadi baik pada kolom komentar, unggahan, sampai secara langsung. Hal ini mungkin sering dianggap sepele, tetapi secara tidak sadar hal ini memberikan pengaruh terhadap perilaku kita dalam bermasyarakat.
Salah satu contoh yang paling sering kita dengar, yaitu pelabelan “NPD”. Walaupun sudah terjadi begitu lama namun,karena dilakukan secara terus-menerus membuat hal tersebut berubah menjadi sebuah kebiasaan di masyarakat. Pelaku mungkin tidak merasa dirugikan, tetapi bagi yang dituju hal ini menjadi tekanan dan menurunkan kepercayaan diri. Salah satu contoh nyata, yaitu sebuah kejadian yang terjadi di dalam dunia pendidikan di mana seorang murid yang aktif di dalam kelas dikatai sebagai “NPD” oleh teman kelasnya. Fenomena ini membuat dirinya menjadi tidak percaya diri, mempertanyakan apakah dirinya terlalu aktif, dan pertanyaan negatif lainnya turut muncul yang sebenarnya tidak perlu untuk dipertanyakan. Semua ini tidak lain dan tidak bukan berkaitan dengan perkembangan teknologi, terutama dalam penggunaan media sosial karena akibat yang diberikan sangat nyata dan besar dalam kehidupan sosial, terlebih lagi ketika COVID melanda, dampak yang ditimbulkan semakin besar karena semakin banyak waktu yang dihabiskan individu pada layar ponsel genggam masing-masing. Hal ini dikutip dari data We Are Social, pada tahun 2023, yang menunjukan rata-rata waktu penggunaan media sosial meningkat lebih dari dua jam per hari semasa pandemi. Kaitan antara COVID dengan peningkatan dampak terbukti melalui tren pencarian di Google, pada tahun 2022 sampai 2023 terjadi kenaikan yang cukup signifikan dari yang sebelumnya hanya 4 menjadi 100 pengguna yang menggunakan kata kunci NPD dalam pencarian mereka.
Sebenarnya perkembangan ini merupakan sesuatu yang positif karena orang-orang menjadi lebih terbuka terhadap hal-hal yang sebelumnya tidak diperhatikan atau tidak diketahui. Namun, semuanya berubah negatif ketika penerima informasi tidak sepenuhnya paham pesan yang disampaikan. Akibatnya, penyebaran informasi ke orang lain pun ikut salah. Informasi yang kurang jelas, sulit dipahami, dan FOMO (Fear of Missing Out), membuat kesalahpahaman ini sering terjadi di dalam media sosial. Dalam contoh kasus yang sedang dibahas, sedari awal masyarakat sudah gagal dalam berkomunikasi dikarenakan tidak dapat membedakan “Narsistik” dan “NPD”. Narsistik merupakan suatu sifat kekaguman atas dirinya dan semua individu memiliki sifat ini, walaupun dengan tingkat yang berbeda-beda. Di lain sisi, Narcissistic Personality Disorder atau yang sering disingkat NPD adalah suatu gangguan kejiwaan dimana sifat kebutuhan akan kekaguman, kurangnya empati, dan ciri lainnya sangat menonjol serta sudah mengganggu orang lain dan kehidupan pribadinya. Banyak orang yang menjadikan ciri-ciri tersebut sebagai indikator untuk mendiagnosis. Namun, kenyataannya NPD memiliki pengertian lain, yaitu perilaku yang berlangsung lama dan melalui berbagai kejadian atau konteks sosial. Mengenai diagnosa, WHO pun turut beropini bahwa psikologi sendiri sulit dan membutuhkan waktu observasi yang panjang untuk dapat mendiagnosa seseorang mengidap NPD. Selain kesalahpahaman, lalu sebetulnya hal lain apa yang mendorong seorang individu hingga dapat melakukan pelabelan sosial? Jika dilihat dari keadaan sekarang, umumnya semua tindakan yang dilakukan dipengaruhi oleh sosial media.
Semakin banyak informasi, semakin luas pandangan dalam berpikir, semakin besar pula rasa takut dalam setiap orang berkembang. Media sosial memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk dapat melihat dunia yang berbeda dari lingkungannya sekarang. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak orang berubah menjadi mudah terpengaruh dan terbawa oleh orang lain. Timbul suatu ketakutan akan tertinggal, baik dalam informasi ataupun komunitas. Memang rasa takut sudah ada sedari manusia lahir, tetapi hal ini terus berkembang dan terciptalah suatu kata yaitu, FOMO (Fear of Missing Out) untuk menggambarkan kondisi ini. Selain itu, ditulis oleh Morgan Housel, manusia cenderung memiliki ketakutan untuk terlihat berbeda karena ingin diterima. Pemikiran dan kebiasaan inilah yang mendukung terjadinya kesalahpahaman dan berlanjut pada fenomena labeling sosial. Seseorang takut akan tertinggal informasi yang membuat dirinya menerima informasi dengan cepat tanpa menelusuri terlebih lebih dahulu. Di samping itu, takut dipandang berbeda membuatnya ikut melakukan, menyebarkan, dan memiliki pandangan yang sama dengan informasi yang ia tangkap.
Bagaimana dengan sisi orang yang mengalami? Seringkali label sosial menciptakan suatu stigma baru, dan tak jarang pula pelabelan yang salah menimbulkan efek bullying pada individu tersebut. Pandangan buruk terhadap NPD membuat orang yang dituju dicap sebagai orang yang berperilaku buruk sehingga tidak ada yang mau bersosialisasi dengannya karena merugikan. Jika ditelusuri dalam sudut pandang mental, ia akan lebi cenderung menjadi kepribadian yang tertutup dan tidak percaya diri akibat sedari awal sudah mendapat nilai buruk dari orang di sekitarnya.
Kejadian yang sama turut terjadi, seperti pelabelan dengan kata self-centered, pick me, dan masih banyak lagi. Namun, apakah kita akan terus membiarkan hal ini terjadi? Sebagai generasi digital, patutlah dapat mengontrol emosi dan diri kita agar kejadian hal seperti ini jarang terjadi atau mungkin tidak akan terjadi lagi kedepannya. Mari hentikan fenomena pelabelan ini karena di balik setiap kata, ada harga diri dan perasaan yang ikut kita bentuk.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
