Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Bangsa yang Lupa Rasa: Ketika Lidah Kita Tak Lagi Mengenal Tanah Sendiri

Gaya Hidup | 2025-10-28 15:41:05

Oleh: Muliadi Saleh

Di banyak dapur Indonesia, setiap pagi hampir selalu terdengar suara yang sama: desis minyak di penggorengan, aroma nasi mengepul, sambal terulek di cobek batu. Tapi di balik ritual sederhana itu, tersimpan kisah panjang tentang siapa kita, dari mana asal kita, dan bagaimana sejarah membentuk kebiasaan makan kita hari ini.

Makanan bukan sekadar urusan perut — ia adalah bahasa budaya, cermin sosial, dan penanda sejarah ekonomi. Di setiap butir nasi, tersimpan ingatan tentang sawah dan tenaga petani; di setiap rebusan singkong, ada jejak kesederhanaan yang berubah menjadi simbol ketahanan. Namun kini, banyak dari kita hidup dalam ilusi pangan modern — lebih percaya pada makanan kemasan daripada hasil ladang sendiri.

---

Tubuh dan Lidah yang Dibentuk Sejak Lahir

Sejak bayi, tubuh manusia mengenal rasa manis dari air susu ibu. Otak merekam rasa itu sebagai kenyamanan, dan sejak itu kita tumbuh dengan selera yang dipandu oleh ingatan masa kecil.

Tubuh punya naluri memilih: ketika lelah, ia minta karbohidrat; ketika cemas, ia mencari rasa manis atau gurih. Namun naluri biologis itu kini berbaur dengan tekanan sosial dan iklan komersial. Kita makan bukan karena lapar, tetapi karena bujuk rayu citra dan gengsi. Dari sinilah rasa kehilangan arah: lidah kita dipisahkan dari tanahnya sendiri.

Budaya yang Mengatur Selera

Setiap daerah di Nusantara punya pola makan yang unik — terbentuk dari alam, sejarah, dan nilai-nilai hidup. Di pesisir, ikan dan kelapa menjadi inti menu; di gunung, sayur, tempe, dan singkong lebih dominan. Namun modernisasi menggeser kebiasaan lokal menjadi selera global.

Ungkapan “belum makan kalau belum makan nasi” menjadi dogma nasional yang membunuh keragaman. Padahal, nenek moyang kita sehat dengan sagu, jagung, dan umbi-umbian. Kini, makanan cepat saji menjadi simbol kemajuan, sementara pangan lokal dianggap kuno. Kita pun perlahan kehilangan “rasa”—bukan hanya di lidah, tapi di jiwa.

 

Ekonomi dan Akses yang Menentukan Pilihan

Perilaku makan selalu bersinggungan dengan ekonomi. Keluarga miskin memilih makanan yang murah dan mengenyangkan, bukan yang bergizi. Padahal, gizi buruk dan stunting tidak lahir dari kekurangan pangan, tetapi dari cara pandang terhadap pangan.

Daun kelor, ikan sungai, pisang, labu, talas, dan jagung—semuanya sumber gizi tinggi yang tumbuh di sekitar rumah. Namun persepsi sosial membuatnya tersisih. Ketika pangan lokal dianggap “kelas bawah”, sesungguhnya yang miskin bukan perut kita, tapi kesadaran kita.

Psikologi Meja Makan dan Hilangnya Makna

Kini makan bukan lagi ritual keluarga, melainkan aktivitas sambil lalu. Orang makan sambil menatap layar, bukan wajah keluarga. Padahal dari meja makanlah nilai kehidupan diwariskan: rasa syukur, kebersamaan, dan kesadaran bahwa makan adalah perjumpaan dengan berkah Tuhan.

Membenahi pola makan berarti menata ulang kesadaran: bahwa setiap suapan adalah keputusan moral—tentang dari mana makanan itu datang, dan untuk siapa dampaknya kembali.

Kearifan Lokal yang Terlupakan

Indonesia sesungguhnya kaya akan sumber pangan lokal. Dari sagu di timur, suweg di Jawa, talas di Sumatera, hingga singkong di Kalimantan — semuanya menyimpan potensi energi, gizi, dan keberlanjutan lingkungan.

Namun sistem pangan modern memisahkan manusia dari tanahnya. Kita bangga memakan roti gandum impor, padahal singkong rebus punya gizi serupa dan jejak karbon yang jauh lebih rendah.

Kembali ke pangan lokal bukan nostalgia masa lalu, melainkan revolusi kesadaran baru — bahwa kedaulatan pangan dimulai dari piring dan kebun sendiri.

 

Solusi Alternatif: Menata Ulang Kesadaran Pangan Bangsa

1. Edukasi gizi dan pangan lokal berbasis keluarga.

Gerakan literasi pangan perlu masuk ke rumah tangga. Penyuluhan bukan sekadar tentang makan sayur, tetapi memahami nilai ekologis dan sosial dari bahan pangan sekitar.

2. Gerakan “Satu Hari Tanpa Nasi”.

Ajakan simbolik untuk membebaskan diri dari ketergantungan tunggal. Ubi, sagu, dan jagung bukan alternatif darurat — mereka adalah bagian dari identitas bangsa.

3. Revitalisasi dapur dan kebun rumah tangga.

Dapur bukan sekadar tempat memasak, tapi pusat kedaulatan kecil. Menanam sayur sendiri adalah langkah sederhana menuju kemerdekaan pangan.

4. Perkuat pasar lokal dan koperasi pangan.

Beli hasil kebun tetangga, hidupkan rantai pasok pendek, dan kembalikan nilai ekonomi ke desa.

5. Masukkan pendidikan gizi dalam kurikulum sekolah.

Anak-anak perlu diajarkan sejak dini bahwa mencintai pangan lokal adalah bentuk mencintai Indonesia.

Menutup Piring dengan Kesadaran

Suatu hari nanti, semoga kita bisa berkata pada anak-anak:

“Yang kita makan hari ini bukan hanya untuk kenyang, tapi untuk masa depan.”

Karena di setiap suapan, ada pilihan: apakah kita akan terus bergantung pada pangan impor, atau menegakkan kedaulatan dari tanah sendiri.

Bangsa yang lupa rasa adalah bangsa yang kehilangan arah.

Mari kembali mengenal tanah yang menumbuhkan kita — agar lidah, hati, dan tanah air kembali bersatu dalam satu rasa: rasa syukur kepada kehidupan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image