Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Citra Ramadhani

Palestina Vs Israel: Siapa yang Berhak?

Politik | 2025-10-27 14:08:20

Konflik antara Israel–Palestina telah berlangsung lama, dikenal sebagai salah satu perselisihan terpanjang dan paling rumit dalam sejarah modern. Dalam beberapa tahun terakhir, dengan meningkatnya kekerasan dan tuduhan pelanggaran hukum internasional, pertanyaan mendasar muncul kembali: Berdasarkan konteks sejarah, aspek religius dan hukum internasional, siapakah sebenarnya yang memiliki hak atas wilayah tersebut? Menggali kerumitan ini memerlukan analisis mendalam terhadap tiga lapisan klaim yang saling bertentangan: historis, hukum dan aspek kemanusiaan.

Pertarungan Klaim Historis: Warisan Religius dan Pengusiran

Klaim atas kepemilikan tanah di Palestina/Israel memiliki akar yang dalam pada narasi sejarah dan kepercayaan agama. Di satu sisi, argumen yang diajukan oleh bangsa Yahudi bersumber dari klaim religius dan historis, merujuk kepada janji Tuhan kepada keturunan Ibrahim mengenai tanah Kanaan serta adanya kerajaan Yahudi Kuno yang pernah berkuasa di wilayah tersebut. Gerakan zionisme modern memanfaatkan landasan ini untuk mendorong pembentukan negara Israel.

Di sisi lain, klaim dari pihak Palestina didukung oleh bukti bahwa nenek moyang bangsa Arab Palestina telah menempati wilayah tersebut secara turun-temurun. Mereka menganggap berdirinya Israel pada tahun 1948 sebagai peristiwa Nakba (malapetaka), yang melibatkan pengusiran massal penduduk Palestina. Dari perspektif sejarah, klaim Palestina menganggap argumen Yahudi sangat tidak kuat dan melihat keberadaan Israel yang didirikan di sana sebagai entitas kolonial yang merebut tanah dari penduduk asli. Ketegangan dalam sengketa ini semakin meruncing setelah berakhirnya mandat Inggris dan diterbitkannya Resolusi PBB 181 pada tahun 1947, yang membagi wilayah tersebut untuk Bangsa Yahudi dan Arab, pembagian yang ditolak keras oleh pihak Arab.

Landasan Hukum: Hak Menentukan Nasib Sendiri dan Pendudukan Ilegal

Dalam konteks hukum internasional, fokus tidak semata-mata pada pihak mana yang lebih awal tiba, melainkan pada hak fundamental rakyat yang diakui secara universal. Hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib mereka sendiri (self-determination) merupakan kewajiban yang berlaku bagi seluruh negara (erga omnes obligation). Banyak negara dan pakar hukum berpendapat bahwa pemenuhan hak ini menjadi kunci dalam penyelesaian konflik.

Menteri Luar Negeri Indonesia, contohnya, pernah menegaskan di hadapan Mahkamah Internasional (ICJ) bahwa keberadaan Israel di wilayah Palestina merupakan konsekuensi dari penggunaan kekuatan yang tidak dapat dibenarkan, sehingga secara hukum, pendudukan ini dianggap ilegal sejak awal. Pendudukan yang berkepanjangan ini juga dipandang melanggar prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional (HHI), terutama karena Israel berupaya menjadikan keberadaannya permanen dan melakukan aneksasi ilegal atas wilayah Palestina yang diduduki. Setiap dukungan terhadap kebijakan Israel yang menghalangi hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Palestina dipandang sebagai pelanggaran hukum.

Dilema Keamanan dan Proporsionalitas dalam Konflik Kontemporer

Israel secara konsisten mempertahankan operasinya yang bersifat militer, khususnya di Gaza, dengan merujuk pada hak untuk membela diri (self-defense) sesuai dengan pasal 51 Piagam PBB, dengan alasan melindungi rakyat sipil dari serangan yang dilakukan oleh Hamas. Israel juga sering mengklaim bahwa operasi militer yang dilakukan sudah sesuai dengan proporsionalitas dan diperburuk oleh strategi asimetris yang diterapkan Hamas, seperti menggunakan warga sipil sebagai “perisai manusia”.

Namun, argumen mengenai self-defense ini dipertanyakan lantaran dianggap tidak mampu memenuhi kriteria penting dalam hukum kebiasaan internasional, seperti keharusan dan proporsionalitas. Kerugian yang dialami oleh warga sipil di Gaza setelah Oktober 2023 sangat masif dan tidak sebanding, di mana sekitar 70 persen dari keseluruhan jumlah korban tewas diidentifikasi sebagai perempuan dan anak-anak. Lebih jauh, laporan menunjukkan bahwa serangan militer dari Israel telah menghancurkan 6 dari 10 bangunan pemukiman dan menimbulkan ancaman kelaparan bagi 2,2 juta warga, menciptakan situasi yang sangat menyedihkan. Skala kerusakan ini sulit untuk hanya dianggap sebagai kerugian yang wajar.

Proses Yudisial Global: Genosida di Mahkamah Internasional

Momen kunci dalam perselisihan ini terjadi ketika negara Afrika Selatan mengajukan gugatan genosida teradap Israel di Mahkamah Internasional (ICJ) pada akhir tahun 2023. Gugatan ini menuduh Israel telah melanggar Konvensi Genosida yang disepakati pada tahun 1948. Bukti yang diajukan oleh Afrika Selatan meliputi penggunaan kelaparan sebagai senjata perang, tindakan yang secara sengaja bertujuan untuk menghalangi kelahiran, seperti penghancuran fasilitas kesehatan reproduksi dan pernyataan publik dari pejabat tinggi Israel yang mendehumanisasi warga Palestina.

Pada tanggal 26 Januari 2024, ICJ mengeluarkan perintah Tindakan Sementara (provisional measures), yang secara yuridis mengakui bahwa tuduhan genosida yang diajukan oleh Afrika Selatan adalah “masuk akal” (plausible). Di samping itu, sebuah komisi penyelidikan dari PBB telah menemukan bukti kuat mengenai adanya niat genosida (dolus specialis) dalam tindakan serta pernyataan yang diucapkan oleh para pemimpin Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.

Kesimpulan: Keadilan di Tengah Kompleksitas

Pertanyaan mengenai “siapa yang berhak” atas Palestina sangat tergantung pada sudut pandang yang digunakan–apakah itu berasal dari klaim historis–religius yang sudah ada sejak lama atau dari kewajiban hukum internasional modern. Namun, dalam konteks saat ini, fokus lebih banyak tertuju pada penerapan hukum humaniter dan hukum pidana internasional daripada perdebatan yang berkaitan dengan sejarah. Tindakan hukum, terutama langkah-langkah penting dari ICJ dan surat perintah penangkapan individual yang dikeluarkan oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), menunjukkan bahwa sistem hukum global semakin aktif terlibat. Meskipun konflik-konflik yang berakar di masa lalu mungkin tidak akan pernah sepenuhnya terpecahkan, tanggung jawab atas tindakan selama konflik tersebut, khususnya mengenai tuduhan kejahatan berat seperti genosida, menjadi ukuran utama dalam menilai keadilan di tingkat internasional.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image