Ketika Orang Tua Menjadi Pelaku: Tragedi Hukum dan Nurani di Tirtamulya
Hukum | 2025-10-27 13:23:55
Oleh: Jeje Zaenudin Mahasiswa Hukum Universitas Buana Perjuangan Karawang
Sabtu malam (25/10/2025), warga Kampung Kalen, Desa Bojong, Kecamatan Tirtamulya, Kabupaten Karawang, digemparkan oleh penemuan jasad seorang bayi dalam kondisi mengenaskan — tubuh membiru, mulut dilakban, dan masih terdapat ari-ari. Kabar ini segera menyebar luas di media sosial dan menimbulkan gelombang kemarahan publik.
Namun yang lebih mengejutkan, beredar dugaan bahwa pelaku pembuangan bayi tersebut adalah orang tuanya sendiri. Jika dugaan ini benar, maka tragedi ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pukulan terhadap nurani dan nilai kemanusiaan kita bersama.
Ketika Hukum Tak Lagi Menyentuh Nurani
Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat peristiwa ini bukan sekadar tindak pidana, tetapi cerminan kegagalan sosial dan moral. Dalam perspektif hukum pidana, perbuatan tersebut jelas diatur dan diancam dengan hukuman berat melalui Pasal 341 dan 342 KUHP, bahkan bisa dijerat dengan UU Perlindungan Anak karena menyangkut korban yang belum berdaya.
Namun, jika orang tua sendiri menjadi pelaku, maka hukum tidak cukup hanya menegakkan keadilan secara prosedural. Ia harus menelusuri akar-akar sosial, ekonomi, dan psikologis yang melatarbelakangi tindakan tersebut. Karena di titik itu, kita sedang berhadapan bukan hanya dengan pelaku kejahatan, tapi juga dengan manusia yang kehilangan arah kemanusiaannya.
Ketika Moralitas Publik Menekan, Kemanusiaan Terkorbankan
Kasus pembuangan bayi sering kali berakar dari ketakutan sosial dan stigma moral — terutama terhadap perempuan atau keluarga yang menghadapi kehamilan di luar nikah. Tekanan sosial yang begitu kuat bisa mendorong seseorang pada tindakan ekstrem, bahkan terhadap darah dagingnya sendiri. Di sinilah hukum dan masyarakat seharusnya hadir bukan untuk menghakimi, tetapi untuk melindungi. Hukum yang hanya menghukum tanpa memberi ruang pemulihan sosial justru kehilangan rohnya sebagai pelindung kehidupan.
Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, tokoh hukum progresif Indonesia,
“Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.”
Pandangan ini menegaskan bahwa substansi hukum harus melayani nilai kemanusiaan, bukan sekadar menegakkan pasal. Dalam konteks pelanggaran yang begitu tragis ini, penegakan hukum yang bermoral menjadi keharusan, agar keadilan tidak berhenti pada meja hijau, tetapi hidup di hati masyarakat.
Negara dan Tanggung Jawab Sosial
Jika benar orang tua adalah pelaku, maka ini bukan semata soal pidana individu, tetapi juga soal kegagalan sistem sosial. Kita perlu bertanya: di mana peran negara, pendidikan, dan masyarakat ketika seorang perempuan atau keluarga berada di ambang keputusasaan?
Pembuangan bayi bukan hanya hasil dari niat jahat, tetapi sering kali buah dari keterbatasan pengetahuan, kemiskinan, dan tekanan sosial. Hukum tidak boleh buta terhadap realitas ini. Penegakan hukum yang sejati harus diiringi dengan pendekatan sosial dan kebijakan pencegahan, agar tragedi serupa tidak terulang.
Menghidupkan Kembali Nurani
Tragedi di Tirtamulya bukan sekadar berita kriminal. Ia adalah cermin retak dari nurani kolektif bangsa ini.Jika benar orang tua adalah pelakunya, maka kita sedang menyaksikan titik paling gelap dalam relasi antara hukum, moral, dan kemanusiaan.
Keadilan sejati bukan hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga tentang memastikan tidak ada lagi manusia yang kehilangan kasih dan arah sampai tega menghabisi darah dagingnya sendiri. Hukum boleh tegas, tetapi ia juga harus manusiawi — sebab tanpa nurani, hukum hanyalah teks dingin yang gagal menyelamatkan hidup.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
