Media, Pesantren, dan Etika Jurnalistik
Info Terkini | 2025-10-27 13:19:22
Kasus viral #BoikotTrans7 yang mencuat di media sosial menjadi salah satu contoh penting mengenai bagaimana media massa perlu lebih berhati-hati dalam menyajikan informasi yang berkaitan dengan nilai, tradisi, dan institusi yang sensitif. Tayangan program Xpose Uncensored yang menampilkan potret kehidupan santri di salah satu pondok pesantren menimbulkan reaksi keras dari publik, khususnya dari kalangan santri, alumni pesantren, hingga tokoh masyarakat. Banyak pihak menilai bahwa Trans7 menampilkan sudut pandang yang tidak berimbang serta menggunakan diksi yang berpotensi menimbulkan stereotip negatif terhadap pesantren.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, media memiliki tanggung jawab untuk mengedepankan prinsip jurnalisme yang objektif, berimbang, dan berbasis fakta. Dalam pemberitaan isu yang menyangkut martabat lembaga pendidikan maupun keagamaan, media seharusnya menerapkan prinsip cover both sides, yaitu memberikan ruang yang setara kepada semua pihak terkait. Kritik yang muncul pada kasus ini berkaitan dengan absennya perspektif dari pihak pesantren sebagai objek pemberitaan. Alhasil, tayangan tersebut terkesan memotret pesantren hanya dari kacamata orang awam, sehingga narasinya menjadi timpang dan tidak kontekstual.
Bahasa atau diksi yang digunakan dalam program tersebut juga menuai sorotan. Sebagian masyarakat menilai pilihan bahasa penyajian terlalu sensasional dan tidak sensitif terhadap budaya pesantren. Hal ini memperkuat kesan bahwa pesantren digambarkan sebagai lingkungan yang kolot, mengekang, bahkan merendahkan martabat santri. Padahal, setiap pesantren memiliki tradisi, kultur, dan sistem pendidikannya masing-masing. Tidak semua pondok pesantren menerapkan praktik tertentu yang viral dalam tayangan tersebut, sehingga penggambaran secara generalisasi berpotensi menimbulkan prasangka dan stigma baru di masyarakat.
Respons publik melalui tagar #BoikotTrans7 menunjukkan bahwa masyarakat kini memiliki kontrol sosial yang kuat terhadap konten media. Media sosial menjadi ruang kritik yang efektif untuk mengingatkan lembaga penyiaran agar tetap menjunjung etika jurnalistik. Permohonan maaf yang disampaikan pihak Trans7 menjadi langkah awal yang patut diapresiasi, namun perbaikan sistem editorial dan pengawasan konten tetap diperlukan agar insiden serupa tidak terulang kembali.
Kasus ini memberikan pelajaran berarti bagi seluruh praktisi media bahwa konten sensitif memerlukan riset mendalam, pemilihan diksi yang tepat, serta pemahaman terhadap nilai budaya dan agama. Sementara bagi masyarakat, kasus ini mengingatkan pentingnya menyampaikan kritik secara proporsional, cerdas, dan konstruktif agar menjadi dorongan perbaikan, bukan pemicu polarisasi.
Dengan demikian, kasus #BoikotTrans7 bukan sekadar kontroversi sesaat, melainkan momentum refleksi bersama mengenai posisi media sebagai agen penyampai informasi sekaligus penjaga keharmonisan sosial-budaya. Media harus mampu menghadirkan pemberitaan yang tidak hanya menarik perhatian publik, tetapi juga beretika, berimbang, dan menghormati keberagaman nilai di masyarakat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
