Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Qalbi UNJ Fahrezi

Ketika Bahasa Ibu Terpinggirkan: Refleksi Kritis atas Fenomena Bahasa Campur di Era Modern

Dunia sastra | 2025-10-27 11:54:52

Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang dijunjung tinggi dalam Sumpah Pemuda 1928 kini menghadapi tantangan serius di era globalisasi. Fenomena yang populer disebut "bahasa Jaksel" atau Jakarta Selatan, yaitu percampuran bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari, bukan lagi sekadar gaya komunikasi. Fenomena ini telah berkembang menjadi isu krusial dalam konteks perencanaan dan pengembangan bahasa nasional yangmemerlukan perhatian serius dari berbagai pihak.

Pada mulanya, praktik code-switching atau alih kode antara bahasa Indonesia dan Inggris dianggap wajar sebagai bentuk adaptasi masyarakat di tengah arus globalisasi. Namun demikian, kecenderungan yang terjadi saat ini telah melampaui batas kewajaran tersebut. Kalangan tertentu, khususnya generasi muda urban, mulai menganggap penggunaan bahasa Inggris sebagai penanda status sosial dan intelektualitas yang lebih tinggi. Kalimat seperti "Aku tuh lagi vibing banget sama playlist ini" atau "Honestly, aku speechless deh" menjadi lumrah digunakan, seolah bahasa Indonesia tidak memiliki padanan kata yang cukup ekspresif untuk mengungkapkan maksud tersebut.


Persoalan yang lebih mengkhawatirkan adalah munculnya kecenderungan untuk mengunggulkan bahasa Inggris secara berlebihan sehingga menempatkan bahasa Indonesia pada posisi inferior. Di berbagai sektor seperti dunia pendidikan, korporat, hingga media sosial, bahasa Inggris sering kali dipandang lebih prestisius. Anak-anak muda berlomba-lomba menggunakan istilah Inggris bukan karena kebutuhan komunikasi yang mendesak, melainkan untuk "terlihat keren" atau lebih modern. Padahal, bahasa merupakan cerminan identitas dan jati diri bangsa yang seharusnya dijaga dan dilestarikan.

Fenomena ini berpotensi mengancam keberlanjutan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup dan dinamis. Ketika penutur aslinya sendiri mulai meninggalkan bahasa ibu demi bahasa asing, terjadi erosi linguistik yang dapat berdampak pada hilangnya kekayaan kosakata dan struktur bahasa Indonesia. Generasi mendatang mungkin akan mengalami kesulitan dalam memahami karya sastra klasik atau bahkan berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan baik. Hal ini tentu menjadi ironi tersendiri bagi sebuah bangsa yang pernah berjuang meneguhkan identitas melalui bahasa persatuan.


Tentu saja, sikap menolak secara total terhadap bahasa asing bukanlah solusi yang tepat. Bahasa memang harus terus berkembang dan menyerap unsur-unsur baru sesuai dengan dinamika zaman. Namun demikian, penyerapan tersebut harus dilakukan secara bijak dan terencana, bukan dilakukan secara membabi buta tanpa mempertimbangkan dampaknya. Lembaga bahasa perlu mempercepat proses pembakuan istilah-istilah baru yang relevan dengan perkembangan zaman sehingga masyarakat tidak merasa "terpaksa" menggunakan bahasa asing karena ketiadaan padanan yang memadai dalam bahasa Indonesia


Di sisi lain, diperlukan kesadaran kolektif dari seluruh lapisan masyarakat untuk kembali mencintai dan membanggakan bahasa Indonesia. Kampanye penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar harus dimassifkan, tidak hanya di lingkungan pendidikan formal tetapi juga di ranah publik dan media massa. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik tidak berarti seseorang ketinggalan zaman. Justru hal tersebut menunjukkan kematangan berpikir dan kebanggaan terhadap identitas nasional yang perlu terus dipupuk di kalangan generasi muda.


Bahasa adalah jiwa bangsa. Ketika kita mulai meninggalkan bahasa kita sendiri, secara tidak langsung kita juga meninggalkan sebagian dari jati diri kita sebagai bangsa Indonesia. Fenomena bahasa Jaksel dan kecenderungan mengunggulkan bahasa Inggris harus menjadi sinyal peringatan bagi kita semua untuk lebih proaktif dalam menjaga dan mengembangkan bahasa Indonesia. Upaya ini tidak harus dilakukan dengan cara mengisolasi diri dari pengaruh asing, melainkan melalui inovasi bahasa yang cerdas dan kebanggaan yang tulus terhadap bahasa persatuan kita.





Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image