Fenomena Fatherless: Generasi Makin Jauh dari Syariah
Politik | 2025-10-27 10:28:26
Oleh Feni Rosfiani
Aktivis Dakwah
Akhir-akhir ini fenomena ‘Fatherless’ menjadi "trending topik" dan banyak menuai perhatian semua kalangan, baik yang merespon positif maupun negatif.
Seperti dilansir dari kompas.id, yang menyebutkan bahwa di situs jejaring sosial seorang anak bernama Ruth Helga (31 tahun) menjadi viral karena ia rela meminjamkan sosok Ayahnya Rudarto (68 tahun) kepada teman-teman onlinenya yang ingin merasakan adanya sosok seorang ayah. Akibatnya banyaknya pesan-pesan dan komentar di akunnya yang penuh haru, hingga bisa membuat kita meneteskan air mata dalam mencurahkan isi hatinya, terutama bagi mereka yang merindukan sosok seorang ayah. Ruth merasa ia punya banyak cinta dari ayahnya, jadi tak akan berkurang walaupun ia membagikannya kepada teman-teman online-nya.
Selain itu ada juga muncul komunitas Satu Meja Makan yang berdiri pada April 2025 lalu. Komunitas penduduk tanpa figur ayah ini didirikan oleh psikolog yang bernama Irish Amalia dan Fadhilah Eryananda. Berdasarkan data tim jurnalisme dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Maret 2024 bahwa terdapat 15,9 juta anak atau sebanyak 20,1 persen dari total anak 79,4 juta anak yang berusia kurang dari 18 tahun yang berpotensi mengalami Fatherless. Sebanyak 4,4 juta karena anak tidak tinggal bersama ayah dan 11,5 juta anak dikarenakan sang ayah lebih sibuk bekerja di luar.
Kehilangan sosok dan peran seorang ayah yang dalam bahasa Gen Z disebut ‘Fatherless’ ini diakibatkan karena banyak faktor. Di antaranya yaitu karena Ayah hanya sibuk dalam mencari nafkah bagi keluarganya. Apalagi hampir setiap hari sang ayah selalu menghabiskan waktu selama 60 jam per Minggunya untuk mencari nafkah. Bahkan tak jarang di hari libur pun diisi dengan kerja lembur atau kerja sampingan. Maka waktu untuk keluarga sangat minim bahkan hampir tidak ada sama sekali.
Semua ini disebabkan karena sistem Kapitalis yang berasaskan sekularisme telah menjauhkan agama dari kehidupan. Akibatnya, hilang fungsi ayah sebagai pemimpin keluarga. Semua pekerjaan rumah hingga mendidik anak pun dibebankan kepada ibu saja. Sifat patriarki ini hampir 90 persen diterapkan oleh masyarakat Indonesia.
Padahal dalam Islam, sosok seorang ayah juga sangat berperan penting dalam mendidik anak. Baik pendidikan formal maupun non formal. Peran ayah dalam mendidik sangat berpengaruh pada tumbuh kembang sang anak. Anak juga butuh validasi bahwa ia adalah anak yang disayang, diperhatikan, diutamakan oleh sang ayah dan juga diberi rasa aman. Akan tetapi, di sistem Kapitalis yang sudah satu abad lebih telah eksis ini, menyebabkan generasi menjadi kian jauh dari syariat Islam dan generasi emas yang didambakan sirna.
Dalam sistem Islam, kewajiban seorang ayah dan ibu memiliki kesamaan dalam mendidik amanah yang telah Allah Swt. berikan. ‘Ummu warabatul bait’ memang gelar untuk seorang ibu, tetapi dibalik itu juga ada peran penting seorang ayah dalam menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah.
Dalam sistem Islam, seorang ayah memiliki kewajiban mencari nafkah, dengan upah yang pasti ditetapkan sesuai pekerjaannya. Negara menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya, baik secara individu maupun kelompok masyarakat. Sehingga seorang ayah tak perlu pontang-panting mencari penghasilan tambahan bagi keluarganya, karena tugas itu telah diatur oleh negara. Maka waktu untuk anak pun menjadi lebih banyak dan ayah bisa menjalankan perannya, agar Fatherless ini tidak terjadi.
Para penerus generasi emas yang cemerlang akan mudah terwujud tentunya dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan. Keniscayaan ini hanya akan terjadi jika syariat Islam kembali menaungi seluruh dunia.
Wallahualam bissawwab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
