Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

R and D dan Jalan Terjal Menuju Indonesia Emas 2045

Iptek | 2025-10-26 21:10:50

Oleh Muliadi Saleh

Penulis : Muliadi Saleh

Sebuah bangsa tumbuh bukan hanya dari kekayaan alam, tetapi dari kesuburan akal dan keberanian untuk bermimpi melalui ilmu. Di balik kemajuan setiap peradaban, selalu ada ruang laboratorium, meja riset, dan malam-malam panjang yang diisi dengan percobaan, kegagalan, lalu keberhasilan kecil yang menyala menjadi terang masa depan. Di sanalah letak jantung pembangunan sejati: pada penelitian dan pengembangan — R&D, research and development.

Namun, di negeri ini jantung itu berdetak lemah. Investasi kita pada R&D masih sangat rendah — hanya sekitar 0,42 persen dari Produk Domestik Bruto (GDP). Angka ini jauh tertinggal dibandingkan Malaysia yang telah mencapai sekitar 1 persen, Korea Selatan 4,96 persen, dan Israel hampir 7 persen dari GDP-nya. Angka-angka itu bukan sekadar statistik, tetapi cermin betapa serius sebuah bangsa menyiapkan masa depannya.

Dengan investasi serendah itu, sulit membayangkan Indonesia bisa benar-benar naik kelas menjadi negara maju pada 2045, tahun yang disebut sebagai momentum “Indonesia Emas”. Dunia telah menunjukkan, negara yang berhasil melompat maju adalah mereka yang berani berinvestasi minimal 2 persen dari GDP untuk R&D. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi pengikut, bukan pelopor.

Menuju Indonesia Emas 2045, pemerintah menegaskan empat fokus utama pembangunan: kemajuan teknologi, peningkatan sumber daya manusia, industrialisasi, dan pemerataan ekonomi. Keempatnya adalah simpul yang saling menguatkan, namun seluruhnya bertumpu pada satu hal yang mendasar — kekuatan riset dan inovasi. Tanpa R&D, kemajuan teknologi hanya menjadi slogan; peningkatan SDM tanpa ruang eksperimentasi akan kering; industrialisasi tanpa inovasi hanya meniru; dan pemerataan ekonomi tanpa temuan baru akan berjalan lamban.

Negara yang miskin R&D perlahan kehilangan daya ciptanya. Kita hanya menjadi pengguna teknologi, bukan penciptanya; penonton di panggung global, bukan pemain utama. Mesin-mesin industri berjalan dengan lisensi dari luar negeri, benih pertanian berasal dari impor, bahkan perangkat medis pun dibeli dari negara lain. Inovasi menjadi barang asing di negeri sendiri.

Padahal, riset bukan sekadar laboratorium atau jurnal ilmiah. Ia adalah investasi masa depan, pupuk bagi ekonomi jangka panjang. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Israel tidak menjadi kuat karena sumber daya alamnya melimpah, melainkan karena mereka menyirami gagasan dengan dana, perhatian, dan kepercayaan. Dari riset lahir produk, teknologi, dan lapangan kerja baru. Dari laboratorium lahir kemandirian dan daya tahan terhadap krisis global.

Ketika anggaran riset kecil, perguruan tinggi kehilangan semangat eksperimentasinya. Dosen dan mahasiswa kesulitan melakukan penelitian yang bermakna. Ide-ide besar berhenti di proposal, laboratorium sunyi tanpa bahan, dan ilmuwan muda kehilangan tempat untuk bermimpi. Banyak di antara mereka akhirnya pergi ke negeri lain, mencari udara yang lebih segar untuk pikirannya. Terjadilah brain drain — pengeringan akal bangsa, perlahan tapi pasti.

Sektor-sektor strategis pun ikut lumpuh. Tanpa riset yang memadai, kita sulit menghasilkan benih unggul untuk pertanian, sulit menemukan obat untuk penyakit tropis, atau mengembangkan energi bersih yang lestari. Kita menjadi konsumen abadi dalam peradaban ilmu, menunggu hasil karya bangsa lain untuk kita beli dan pakai.

Di tengah derasnya arus globalisasi, R&D sejatinya adalah benteng kedaulatan. Bangsa yang tak menguasai riset ibarat kapal tanpa nakhoda — hanya mengikuti arah angin ekonomi dunia. R&D bukan hanya soal teknologi, melainkan soal harga diri dan kemampuan menentukan nasib sendiri.

Ironisnya, banyak yang masih melihat riset sebagai pengeluaran, bukan investasi. Padahal setiap rupiah yang ditanam di laboratorium akan tumbuh menjadi nilai tambah ekonomi, kemandirian teknologi, bahkan kemajuan moral bangsa. Karena riset mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan kejujuran — nilai-nilai yang tak kalah penting dari hasil temuannya sendiri.

Negara yang sedikit berinvestasi dalam riset ibarat petani yang enggan memupuk tanahnya. Ia menanam, tetapi tak berharap panen besar. Ia hidup dari masa lalu, bukan menyiapkan masa depan. Padahal sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani menanam gagasan, bukan hanya membelanjakan hasil.

Kini, mungkin sudah saatnya kita menengok kembali laboratorium yang sepi dan ruang riset yang menunggu sentuhan kebijakan. Karena di sanalah masa depan bangsa sedang menunggu: di antara tabung reaksi, lembar catatan, dan mimpi para peneliti muda yang berharap negeri ini percaya — bahwa ilmu pengetahuan adalah cahaya paling murni menuju kemandirian dan kemajuan.

__________________

Muliadi Saleh : Pemerhati pertanian, pangan lokal, dan kebijakan inovasi nasional.Aktif menulis di berbagai media tentang pemberdayaan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image