Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nafis_ Mumtaz

Efek Kecanduan Narkoba

Info Terkini | 2025-10-26 15:20:33

A. Pendahuluan

Obat pada hakikatnya merupakan senyawa kimia yang dirancang untuk tujuan terapeutik dalam

dunia kedokteran. Namun ketika digunakan di luar indikasi medis, zat-zat ini berubah fungsi dari

penyembuh menjadi penghancur. Penyimpangan penggunaan ini memicu ketergantungan

kompleks yang tidak hanya membelenggu individu secara fisik dan psikologis, tetapi juga

berkembang menjadi krisis kesehatan masyarakat yang mengglobal.

Dampak penyalahgunaan obat telah mencapai proporsi epidemi yang mengkhawatirkan. Di

Amerika Serikat contohnya, krisis opioid telah menempatkan overdosis obat sebagai penyebab

kematian nomor satu pada usia produktif. Data yang memilukan menunjukkan bahwa dalam kurun

15 tahun terakhir, lebih dari 500.000 nyawa melayang setiap tahunnya akibat epidemi ini. Realitas

ini mengonfirmasi bahwa masalah penyalahgunaan obat telah menjadi ancaman serius terhadap

stabilitas sosial dan kesehatan publik.

Menghadapi kompleksitas masalah multidimensi ini, pendekatan penanggulangan yang parsial

terbukti tidak efektif. Diperlukan strategi komprehensif yang mengintegrasikan tiga pilar utama:

pertama, pengurangan permintaan melalui edukasi dan rehabilitasi; kedua, pengurangan pasokan

melalui penegakan hukum; dan ketiga, pengurangan dampak buruk melalui program pertukaran

jarum suntik dan penyediaan nalokson. Sinergi berkelanjutan antara pemerintah, tenaga

profesional, dan masyarakat inilah kunci penanggulangan masalah yang mendesak ini.

B. PembahasanFenomena kecanduan narkoba, sebagaimana diamati dalam kehidupan sehari-hari maupun

dalam studi kasus, pada hakikatnya merupakan manifestasi dari sebuah gangguan kronis pada otak.

Pendekatan biopsikologi menjelaskan bahwa kecanduan bukan sekadar kegagalan moral atau

kurangnya kemauan, melainkan sebuah penyakit yang melibatkan perubahan struktural dan

fungsional pada sirkuit saraf otak. Inti dari perubahan ini terletak pada sistem reward, yaitu jalur

mesolimbik yang bertugas melepaskan neurotransmitter dopamin untuk memberikan perasaan

senang dan menguatkan perilaku yang penting untuk kelangsungan hidup, seperti makan dan

bersosialisasi. Zat adiktif dalam narkoba secara tidak alami "membajak" sistem ini dengan

membanjiri otak dengan dopamin dalam jumlah yang jauh lebih besar dan instan dibandingkan

rangsangan alami. Inilah yang memicu perasaan euforia atau "high" dan mengajarkan otak untuk

mengulangi konsumsi narkoba sebagai perilaku prioritas.

Paparan berulang terhadap narkoba kemudian memicu serangkaian adaptasi neurobiologis yang

maladaptif. Otak berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi yang selalu dibanjiri dopamin

dengan cara mengurangi sensitivitas reseptornya, sebuah kondisi yang dikenal sebagai toleransi.

Akibatnya, pengguna membutuhkan dosis yang semakin tinggi untuk mencapai efek yang sama.

Di sisi lain, sistem otak justru menjadi semakin sensitif terhadap isyarat atau "cue" yang terkait

dengan narkoba, seperti tempat, orang, atau peralatan pakai. Sensitisasi inilah yang mendasari

timbulnya "craving" atau keinginan kuat yang hampir tak tertahankan, bahkan setelah periode

abstinensi yang lama. Ketika zat adiktif dihentikan, keseimbangan kimiawi otak yang sudah

terganggu itu menjadi kacau, memunculkan gejala putus zat (withdrawal) yang sangat tidak

nyaman secara fisik dan psikologis, sehingga mendorong individu untuk menggunakan kembali

hanya untuk menghindari penderitaan tersebut.

Lebih lanjut, dampak paling merusak dari kecanduan adalah pada area Prefrontal Cortex (PFC),

yang berfungsi sebagai pusat kendali eksekutif untuk pengambilan keputusan, pengendalian

impuls, dan penilaian. Paparan kronis narkoba dapat merusak dan mengganggu fungsi PFC. Inilah

penjelasan biopsikologis mengapa seorang pecandu—seperti yang sering ditemui dalam studi—

terus menggunakan narkoba meskipun ia menyadari sepenuhnya dampak buruknya terhadap

kesehatan, keuangan, hubungan sosial, dan hukum. Bukan karena mereka tidak tahu, melainkan

karena kapasitas otaknya untuk membuat keputusan logis dan menahan dorongan hati telah

mengalami kerusakan. Perilaku kompulsif mereka didorong oleh sistem reward yang "kacau" dan

dikendalikan oleh PFC yang "lumpuh".

Dengan demikian, melalui lensa biopsikologi, kecanduan narkoba dapat dipahami sebagai sebuah

siklus patologis yang dimulai dari pembajakan sistem reward, diikuti oleh perkembangan toleransi

dan sensitisasi, dan diperparah oleh melemahnya fungsi kognitif tingkat tinggi. Perubahan

neuroplastis yang terjadi bersifat jangka panjang, menjelaskan mengapa kecanduan dianggap

sebagai penyakit otak kronis yang kambuhan. Pemahaman ini menegaskan bahwa pendekatan

penanganannya pun harus komprehensif, tidak hanya melalui pendisiplinan atau pendekatan

spiritual, tetapi juga dengan intervensi medis dan terapi yang bertujuan memulihkan keseimbangan

kimiawi otak dan memperkuat kembali fungsi kendali eksekutif yang rusak.C. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan mendalam di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa masalah narkoba

ibarat sebuah fenomena gunung es yang memiliki dimensi sangat kompleks. Dari sudut pandang

ilmiah, penelitian biopsikologi modern telah membuktikan bahwa kecanduan narkoba pada

dasarnya adalah penyakit otak kronis yang bersifat kambuhan. Pemahaman ini meruntuhkan

stigma sosial yang selama ini menyalahkan korban dengan anggapan bahwa kecanduan semata-

mata disebabkan oleh lemahnya moral atau kemauan.

Proses kecanduan dimulai ketika zat adiktif dalam narkoba "membajak" sistem reward otak,

membanjiri sirkuit saraf dengan dopamin dalam jumlah yang tidak wajar. Kondisi ini memicu

perubahan neuroplastisitas otak yang bersifat jangka panjang, dimana otak secara fisik beradaptasi

dengan keberadaan zat asing tersebut. Terbentuklah siklus patologis yang terdiri dari tiga

komponen utama: toleransi (perlu dosis lebih tinggi untuk efek sama), craving (keinginan tak

tertahankan), dan withdrawal (gejala sakaw). Yang paling memprihatinkan, kecanduan secara

progresif merusak Prefrontal Cortex - pusat kendali diri dan pengambilan keputusan - membuat

pecandu kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih dan mengendalikan perilakunya sendiri.

Pada tingkat makro, penyakit individual ini telah bermetamorfosis menjadi krisis kesehatan global

yang mengkhawatirkan. Data dari berbagai negara, termasuk krisis opioid di Amerika Serikat yang

merenggut lebih dari 500.000 jiwa dalam 15 tahun terakhir, menunjukkan dengan nyata bagaimana

epidemi narkoba tidak mengenal batas geografis maupun sosial ekonomi. Dampaknya sudah

merambah menjadi beban ekonomi nasional, ancaman terhadap produktivitas generasi muda, dan

gangguan terhadap ketertiban masyarakat.

D. Refrensi

Azzahra, F. (2021). Aktivasi hipotalamus pada ketahanan keluarga. UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/59925

Nurlelyana. (t.t.). Parafrase Biopsi. Scribd. https://id.scribd.com/document/535355179/Parafrase-

Biopsi-by-Nurlelyana

Prasetyo, A. (2018). NEUROPEDAGOGIK. Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.

http://repository.ubharajaya.ac.id/4116/

Volkow, N. D. (t.t.). Drug use, drug addiction, and the brain's reward circuits. Scribd.

https://id.scribd.com/document/435028725/Drug-Use-Drug-Addiction-and-The-Brain-s-Reward-Circuits

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image