Pendidikan Tinggi dan Kegagalan Mengajarkan Literasi Ilmiah serta Pemikiran Kritis
Pendidikan dan Literasi | 2025-10-26 10:01:40Artikel yang ditulis oleh Dr. Natalia Pasternak dalam Times Higher Education Newsletter, 13 September 2025, sungguh menarik dan relevan dengan kondisi pendidikan tinggi dunia saat ini. Dr. Pasternak, seorang profesor di Columbia University, New York, menyajikan argumen yang penting walau sedikit provokatif: meskipun pemikiran kritis secara luas dianggap sebagai salah satu keterampilan utama yang harus dimiliki oleh lulusan, institusi pendidikan tinggi seringkali gagal dalam mengajarkannya secara efektif.
Mitos bahwa seorang individu secara otomatis mengembangkan kemampuan berpikir kritis hanya dengan mengikuti perkuliahan adalah sebuah ilusi yang harus dibongkar. Artikel ini menyoroti sebuah realitas yang mengejutkan: studi menunjukkan bahwa mahasiswa, bahkan setelah bertahun-tahun mengenyam pendidikan tinggi, tidak menunjukkan peningkatan signifikan dalam kemampuan berpikir kritis.
Kritik Tajam Terhadap Pseudosains
Dr. Pasternak menyampaikan sebuah kritik tajam terhadap efektivitas sistem pendidikan tinggi dalam membentuk kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Mahasiswa ternyata memiliki kecenderungan yang sama dengan masyarakat umum (yang tidak mengenyam pendidikan tinggi) dalam mempercayai pseudosains, yakni klaim atau praktik yang tampak ilmiah tetapi tidak didukung oleh bukti atau metode ilmiah yang sah. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan saat ini, secara default, belum berhasil membekali siswa dengan keterampilan literasi ilmiah dan berpikir kritis yang cukup untuk membedakan antara fakta dan fiksi. Artinya, meskipun mahasiswa telah melalui proses pendidikan formal, mereka belum tentu memiliki kemampuan untuk menyaring informasi secara rasional dan berbasis bukti.
Sebagai seorang dosen di Indonesia dan Vietnam, saya melihat ini sebagai panggilan untuk memperkuat elemen penalaran ilmiah, skeptisisme sehat, dan literasi informasi dalam pembelajaran. Menurut saya, pendidikan bukan hanya soal transfer pengetahuan (knowledge transfer), tetapi juga soal pembentukan cara berpikir (development of analytical mindset). Jika mahasiswa masih mudah terpengaruh oleh pseudosains, maka ada celah dalam kurikulum, metode pengajaran, atau pendekatan evaluasi yang perlu diperbaiki.
Kurangnya Konsensus dan Pendekatan yang Efektif
Salah satu penyebab utama dari kegagalan ini adalah ketidaksepakatan di antara para akademisi mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan "pemikiran kritis". Meskipun hampir setiap departemen mengklaim mengajarkannya, tidak ada definisi atau metodologi yang seragam. Kurangnya konsensus ini menciptakan kebingungan dan inkonsistensi dalam kurikulum. Alih-alih diajarkan sebagai keterampilan inti yang disengaja, pemikiran kritis sering kali dianggap sebagai "produk sampingan" yang diharapkan muncul secara alami melalui paparan materi pelajaran.
Dr. Pasternak mengusulkan pendekatan yang lebih terstruktur dan sengaja untuk mengatasi masalah ini, yaitu pendekatan "refutasional". Pendekatan ini melibatkan secara langsung dengan mengekspos siswa pada refutasi atau sanggahan terhadap pseudosains dan pemikiran yang keliru. Siswa dihadapkan langsung pada argumen keliru dan kemudian diperlihatkan sanggahan atau refutasi terhadap argumen tersebut. Tujuannya bukan hanya menyampaikan informasi yang benar, tetapi juga melatih kemampuan berpikir kritis dengan menunjukkan kelemahan logis dan bukti yang bertentangan dari klaim palsu. Pendekatan ini akan efektif secara signifikan dalam mengurangi kepercayaan siswa terhadap informasi yang tidak berdasar. Manfaat utama, antara laiin membantu siswa mengenali dan menolak informasi tidak valid, mendorong skeptisisme sehat dan literasi ilmiah, dan menjadikan proses belajar sebagai arena dialog dan pembongkaran mitos, bukan sekadar penyampaian fakta.
Pendekatan ini sangat relevan untuk pendidikan tinggi, di mana klaim pseudosains sering muncul. Dengan secara proaktif menunjukkan kelemahan dalam argumen yang salah, pendekatan ini melatih siswa untuk mengidentifikasi dan menolak informasi yang tidak valid.
Pemikiran Kritis Sebagai Keterampilan Wajib
Penulis berpendapat bahwa kursus yang didedikasikan untuk pemikiran kritis sering kali bersifat pilihan (elective) dan sangat bergantung pada inisiatif individu pengajar. Hal ini membuat pengajarannya tidak merata dan sulit untuk diintegrasikan sebagai bagian inti dari kurikulum. Pasternak berargumen bahwa pemikiran kritis bukanlah keterampilan yang hanya relevan untuk bidang studi tertentu, tetapi merupakan kompetensi fundamental yang esensial bagi setiap warga negara di era informasi yang penuh dengan disinformasi.
Oleh karena itu, ada urgensi untuk menjadikan pemikiran kritis sebagai bagian dari kurikulum inti untuk semua jurusan. Mengajarkan mahasiswa untuk berpikir secara kritis bukanlah tentang menjejali mereka dengan fakta, melainkan tentang memberdayakan mereka dengan kerangka kerja mental untuk mengevaluasi informasi, mengidentifikasi bias, dan membangun argumen yang logis, tidak peduli apa pun profesi yang mereka pilih di masa depan. Dalam dunia yang kompleks dan serba cepat, di mana informasi, baik yang benar maupun yang salah, menyebar dengan kecepatan yang luar biasa, kemampuan ini adalah kunci untuk pengambilan keputusan yang tepat dan partisipasi yang konstruktif dalam masyarakat.
Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan tinggi saat ini menghadapi tantangan serius dalam mengajarkan literasi ilmiah dan pemikiran kritis secara efektif. Bukti menunjukkan bahwa banyak lulusan perguruan tinggi tidak menunjukkan peningkatan signifikan dalam kemampuan ini, bahkan cenderung sama rentannya dengan masyarakat umum dalam mempercayai pseudosains. Kegagalan sistemik ini bersumber dari kurangnya konsensus mengenai definisi dan metodologi pengajaran berpikir kritis, serta anggapan keliru bahwa kemampuan ini akan berkembang secara otomatis melalui paparan materi kuliah. Oleh karena itu, diperlukan pergeseran paradigma mendasar di mana pemikiran kritis tidak lagi dianggap sebagai produk sampingan, tetapi sebagai kompetensi inti yang harus diajarkan secara sengaja, terstruktur, dan merata di semua jurusan.
Solusi konkret untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengadopsi pendekatan pengajaran yang lebih proaktif dan refutasional. Pendekatan ini tidak hanya menyampaikan fakta, tetapi secara aktif melatih mahasiswa untuk menyangkal klaim keliru, mengidentifikasi kelemahan logika, dan membangun argumen berbasis bukti. Dengan demikian, pendidikan tinggi dapat beralih dari sekadar transfer pengetahuan menjadi arena untuk membongkar mitos dan melatih ketahanan intelektual. Pada akhirnya, menjadikan pemikiran kritis sebagai fondasi kurikulum adalah sebuah keharusan dan tanggung jawab moral institusi pendidikan dalam mempersiapkan generasi penerus yang mampu menjadi warga negara yang kritis, rasional, dan bertanggung jawab di tengah banjirnya informasi dan disinformasi.
ARINAFRIL. Doktor Biogeografi Lulusan University of Saarbruecken, Jerman / Dosen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya / Dosen Tamu University of Agriculture and Forestry, Thai Nguyen / Peneliti Tamu pada Vietnam Academy of Science and Technology, Hanoi, Vietnam
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
