Kelelahan yang Tak Terucap: Krisis Kesehatan Mental Ibu dalam Bayangan Peran dan Iman
Agama | 2025-10-26 08:28:13
Dalam keseharian yang terus berputar tanpa jeda, banyak perempuan berdiri di antara dua kutub ekstrem yaitu ingin menjadi istri dan ibu yang ideal, namun terjebak dalam tekanan peran yang nyaris tanpa ruang bernapas. Ia bukan hanya lelah secara fisik tapi juga terkikis secara emosional, spiritual, dan sosial. Di tengah hiruk pikuk rumah tangga, terselip krisis yang sering diabaikan: kesehatan mental seorang ibu.
Di Antara Cinta dan Tanggung Jawab
Menjadi ibu bukan sekadar status biologis, melainkan transformasi eksistensial. Seorang perempuan melebur menjadi pusat kehidupan bagi keluarganya yaitu menjadi pengasuh anak, penopang suami, pengatur keuangan, bahkan penenang suasana rumah. Namun di balik itu, banyak yang merasa kehilangan dirinya sendiri.
Secara psikologis, perempuan cenderung memiliki tingkat empati tinggi dan dorongan afektif kuat dua hal yang indah, tapi juga melelahkan jika tak diimbangi dengan ruang pemulihan. Kelelahan ini bukan semata keletihan fisik, melainkan burnout emosional yang sering kali berwujud diam panjang, sensitivitas berlebihan, atau perasaan bersalah tanpa sebab.
“Aku lelah, tapi aku tak boleh berhenti,” begitu kata banyak ibu dengan mata yang menahan air, bukan karena cengeng, tapi karena tidak ada tempat yang aman untuk mengeluh.
Paradoks Sosial: Antara Peran dan Pengakuan
Di masyarakat kita, ibu sering dijunjung secara simbolik tapi diabaikan secara praktis. Kata “surga di bawah telapak kaki ibu” sering dikutip, tapi kesejahteraan psikologis ibu jarang benar-benar dijaga. Banyak istri yang tidak hanya mengasuh anak, tapi juga menopang ekonomi keluarga, mengatur rumah, bahkan menjaga keharmonisan ketika pasangan emosional atau sibuk. Namun dalam budaya patriarkal yang masih kuat, perempuan sering kali tidak diberi ruang untuk merasa lemah.
Sosiolog menyebut ini sebagai beban ganda emosional (double emotional burden) di mana perempuan dituntut untuk terus kuat, sambil menanggung beban batin keluarga tanpa pengakuan sosial yang memadai. Akhirnya, banyak ibu tersenyum dengan wajah yang letih karena dunia hanya menghargai hasil, bukan perasaan.
Perspektif Islam: Menemukan Makna di Tengah Lelah
Islam tidak pernah menuntut perempuan menjadi sempurna. Justru, Islam mengakui fitrah manusia yang terbatas dan mengajarkan keseimbangan antara ibadah, tanggung jawab, dan perawatan diri. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya dirimu memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ayat-ayat Al-Qur’an pun menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan thab’an da‘if memiliki kelemahan bawaan (QS. An-Nisa: 28). Maka, ketika seorang ibu merasa lelah, menangis, atau butuh waktu sendiri, itu bukan tanda kurang iman justru bentuk kesadaran diri yang sehat.
Dalam psikologi Islam, kesehatan mental disebut sebagai al-sihhah al-nafsiyyah, yakni kondisi di mana hati (qalb), jiwa (nafs), dan ruh berada dalam harmoni dengan fitrah dan kehendak Allah. Ketenangan batin tidak lahir dari menekan emosi, tapi dari mengelola emosi dengan dzikrullah menghadirkan Allah dalam setiap rasa sakit dan lelah.
Spiritualitas Sebagai Terapi Jiwa
Riset kontemporer menunjukkan bahwa praktik spiritual seperti doa, dzikir, dan membaca Al-Qur’an dapat menurunkan tingkat stres dan kecemasan secara signifikan. Namun dalam konteks ibu rumah tangga, ibadah sering kali dilakukan dengan tergesa di antara tangisan anak dan cucian yang menumpuk. Padahal, spiritualitas bukan tentang ritual yang sempurna, tapi kesadaran yang hadir.
Seorang ibu yang menenangkan anak sambil berdzikir dalam hati, sejatinya sedang beribadah. Seorang istri yang menahan marah dan memilih diam demi kedamaian, juga sedang menapaki jalan takwa. Islam memberi ruang bagi perempuan untuk menemukan kedekatan dengan Allah melalui peran-peran keseharian, bukan di luar darinya.
Perlu Ekosistem Empati: Suami, Keluarga, dan Masyarakat
Kesehatan mental ibu tidak bisa dipulihkan hanya oleh tekad pribadi ia membutuhkan ekosistem yang peduli. Suami harus belajar mendengar tanpa menghakimi, membantu tanpa diminta, dan memahami bahwa cinta tidak cukup diucapkan, tapi harus dibuktikan lewat kehadiran. Keluarga besar dan lingkungan sosial juga perlu berhenti menilai perempuan berdasarkan “produktifitas domestik”, tapi mulai menghargai kesejahteraannya sebagai manusia.
Sebab, ibu yang bahagia adalah sumber ketenangan rumah tangga. Dan rumah tangga yang tenteram adalah fondasi masyarakat yang sehat. Maka, memulihkan jiwa seorang ibu bukan hanya urusan pribadi, tapi tanggung jawab sosial dan moral.
Penutup: Mengembalikan Ibu pada Dirinya
Kelelahan seorang ibu bukan aib. Ia adalah bentuk cinta yang terlalu besar untuk ditanggung sendiri. Islam mengajarkan bahwa setiap kesulitan memiliki jalan keluar, setiap air mata memiliki nilai, dan setiap keikhlasan memiliki pahala yang tak terhitung.
Maka, kepada para ibu yang sedang lelah berhentilah sejenak, bukan karena menyerah, tapi karena ingin kembali pulih. Dan kepada para suami, anak, serta masyarakat belajarlah mendengar sebelum ibu itu diam terlalu lama. Karena kadang, yang paling butuh pertolongan bukan yang berteriak, tapi yang terus tersenyum tanpa suara.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
