Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ari J. Palawi

Kampus, Cermin Bangsa: Mencari Rektor yang Berpikir dengan Nurani

Humaniora | 2025-10-25 23:17:34
Di bawah pesan Soekarno—"Tekad Bulat Melahirkan Perbuatan Nyata"—Tugu Darussalam tegak simbol persatuan & pendidikan Aceh. (foto: Ari Palawi, 2025)

Dalam beberapa tahun terakhir, puluhan perguruan tinggi negeri di Indonesia menyelenggarakan pemilihan rektor baru. Sejumlah laporan media mengungkap bahwa proses tersebut kerap diwarnai dugaan intervensi politik, transaksi suara, dan praktik-praktik yang menjauh dari semangat akademik. Kampus—yang seharusnya menjadi ruang pencarian kebenaran—terseret dalam arus pragmatisme kekuasaan. Kini, Aceh berada di titik krusial. Di Kopelma Darussalam—kawasan pendidikan di jantung Banda Aceh yang menaungi Universitas Syiah Kuala dan Universitas Islam Negeri Ar-Raniry—pemilihan rektor bukan sekadar urusan administratif. Ia adalah ujian moral dan intelektual bagi seluruh ekosistem akademik.

Bukan Sekadar Jabatan, tapi Amanah Akal dan Nurani

Rektor bukanlah singgasana. Ia adalah amanah—dan sekaligus ujian. Ia dituntut memahami dunia yang berubah cepat, mulai dari kecerdasan buatan, krisis iklim, komersialisasi pendidikan, hingga disrupsi kebudayaan. Namun di saat bersamaan, ia harus berpijak pada akar moral, yakni: kejujuran, marwah, dan tanggung jawab sosial yang berakar dalam nilai-nilai Aceh. Seperti diingatkan almarhum Nurcholish Madjid (1992), pendidikan sejatinya bukan tangga kekuasaan, melainkan jalan pembebasan manusia dari kebodohan dan ketakutan. Maka, siapapun yang duduk di kursi rektor sejatinya sedang diuji: apakah ia ingin memimpin atau hanya memerintah? Kampus kehilangan arah ketika jabatan rektor dijadikan alat kekuasaan, bukan pengabdian. Politik uang yang disamarkan sebagai “biaya silaturahmi”, lobi yang menukar suara dengan janji jabatan, hingga intervensi eksternal yang merusak kepercayaan publik—semuanya menggerus makna luhur pendidikan tinggi.

Krisis Kepercayaan dan Hilangnya Jiwa Akademia

Fenomena ini bukan hanya milik Aceh. Di banyak kampus Indonesia, masyarakat akademik kini menghadapi krisis kepercayaan. Akreditasi dikejar demi simbol, bukan kualitas. Dosen sibuk mengejar angka kredit, mahasiswa menjadi pelanggan, dan riset berhenti di laporan administratif. Seperti dikemukakan dalam diskusi The Future of Higher Education di CUNY, New York (2025), dunia tengah menyaksikan kampus kehilangan jiwanya—tunduk pada logika pasar dan kuasa birokrasi. Pertanyaannya menggema pula di sini: untuk siapa kampus bekerja hari ini? “Dirty vote” dalam pemilihan rektor tidak selalu berarti kecurangan terang-terangan. Ia bisa hadir dalam bentuk paling halus: ketika nurani tak lagi menjadi dasar pilihan. Itulah bentuk plagiarisme moral—meniru cara kotor orang berkuasa, lalu menyebutnya strategi akademik.

Kepemimpinan yang Mencerahkan dan Membebaskan

Rektor yang dibutuhkan Kopelma Darussalam hari ini bukan sekadar fasih beretorika atau gemar berfoto di forum internasional. Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang berani menautkan laboratorium dengan ladang rakyat, teori dengan praktik, riset dengan kemanusiaan. Ia tidak alergi pada kritik, dan sadar bahwa integritas bukan slogan. Ia mengembalikan kampus sebagai center of excellence—pusat keunggulan yang berpihak pada masyarakat. Ia tidak menjual moralitas demi kompromi politik, sebab tahu: sekali kejujuran digadaikan, seluruh keilmuan kehilangan maknanya. Kepemimpinan seperti ini mencerminkan apa yang diamanatkan konstitusi: pendidikan sebagai hak warga negara dan tanggung jawab negara. Kita butuh rektor yang menjadikan kampus bukan sekadar institusi administratif, melainkan gerakan moral dan kebudayaan.

Aceh dan Tanggung Jawab Moral Ilmu Pengetahuan

Kampus di Aceh memiliki takdir yang unik. Ia berdiri di tanah yang pernah berdarah, tetapi kini belajar berdamai. Di sinilah pendidikan seharusnya menjadi bagian dari rekonsiliasi panjang—menghubungkan pengetahuan dengan keadilan sosial, agama dengan kemanusiaan, dan teknologi dengan nurani. Nilai-nilai seperti hadih maja (peribahasa Aceh), musyawarah, dan marwah bukan romantisme masa lalu, melainkan prinsip etika akademik yang justru paling relevan di era digital. Rektor di Aceh harus menjadi penjaga nilai itu—penafsir masa depan yang tahu bahwa kecerdasan buatan dan algoritma tidak boleh menggantikan kebijaksanaan manusia. Kampus yang sehat bukan yang paling banyak penghargaan internasionalnya, melainkan yang paling jujur pada rakyat dan budayanya sendiri. Orientasi pada world-class university penting, tetapi jangan sampai membuat universitas tercerabut dari akar sosial dan identitas kebangsaannya.

Generasi Baru dan Tanggung Jawab Sejarah

Generasi Z dan Alpha yang memenuhi kampus Darussalam kini dan masa depan lahir di era digital, tetapi mewarisi sejarah panjang perjuangan dan harga diri Aceh. Mereka adalah pengawas moral baru kampus. Gunakan teknologi, media sosial, dan suara intelektual untuk menjaga agar pemilihan rektor berlangsung jujur, transparan, dan bermartabat. Tanyakan pada setiap calon: “Apa yang Anda lakukan agar kampus ini lebih terbuka, lebih relevan, dan lebih berpihak pada mahasiswa serta masyarakat?” Jangan biarkan sejarah kampus ditulis oleh segelintir orang yang takut pada perubahan. Biarkan rektor terpilih sadar bahwa setiap langkahnya diawasi—bukan oleh musuh, melainkan oleh generasi yang mencintai ilmu dan kebenaran.

Gerbang ilmu dan persatuan Aceh—Gapura Kopelma Darussalam tegak menyambut generasi penerus bangsa. (Foto: Ari Palawi, 2025)

Cermin untuk Bangsa

Pemilihan rektor di Kopelma Darussalam sejatinya adalah cermin bagi bangsa. Apakah kita sungguh belajar dari masa lalu, atau sekadar mengulang kesalahan dengan cara yang lebih sopan? Kampus adalah tempat bangsa menatap dirinya sendiri. Jika cermin itu kotor, wajah yang tampak bukan hanya milik rektor, tetapi milik kita semua.Ketika nurani dijadikan dasar memilih—bukan sekadar strategi—pendidikan akan kembali pada maknanya yang sejati, yakni: memanusiakan manusia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image