Takdir Bukan Alasan untuk Menghindar dari Tanggung Jawab
Info Terkini | 2025-10-25 12:49:40
https://id.pinterest.com/pin/599541769182338472/" />
Peristiwa ambruknya musala di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, yang menelan puluhan korban jiwa, memunculkan perdebatan panjang di masyarakat. Sebagian pihak, termasuk pengasuh pondok dan beberapa wali santri, menyebut peristiwa tragis ini sebagai “takdir dari Allah”. sebuah musibah yang tidak bisa dihindari. Namun, muncul pandangan lain yang menegaskan bahwa takdir tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan tanggung jawab manusia.
Dalam Islam, takdir memang diyakini sebagai ketentuan Allah yang tidak bisa diubah. Namun, ajaran Islam juga menekankan pentingnya ikhtiar, usaha manusia untuk mencegah keburukan dan mencari keselamatan. Artinya, manusia tidak hanya pasrah, tetapi juga berkewajiban berusaha sebaik mungkin agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan.
Jika bangunan musala ambruk karena kelalaian dalam proses pembangunan, seperti tidak adanya izin bangunan atau struktur yang tidak kuat, maka ini bukan sekadar “takdir”, tetapi akibat dari kurangnya kehati-hatian manusia. Dalam konteks ini, menyebutnya semata-mata sebagai “takdir” justru menutupi tanggung jawab moral dan hukum pihak yang terlibat.
Apalagi, sebagaimana dijelaskan oleh para ahli hukum, peristiwa yang menyebabkan hilangnya nyawa karena kelalaian termasuk tindak pidana. Pasal 359 KUHP menyatakan bahwa siapa pun yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dapat dikenai hukuman penjara. Dengan demikian, aparat penegak hukum memang wajib melakukan penyelidikan, bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk memastikan keadilan dan mencegah kejadian serupa terulang.
Pandangan bahwa “takdir tidak bisa dijadikan tameng” sangat penting ditegaskan. Dalam agama, tawakal tidak berarti pasrah tanpa usaha. Justru, seseorang yang benar-benar beriman harus berikhtiar dengan sungguh-sungguh. Bila ada kelalaian, mengakuinya bukanlah bentuk perlawanan terhadap takdir, tetapi wujud tanggung jawab dan kejujuran.
Selain itu, penting diingat bahwa keluarga santri telah mempercayakan anak-anak mereka kepada pihak pesantren. Oleh karena itu, pengasuh pondok memiliki tanggung jawab besar untuk menjamin keselamatan dan keamanan para santri. Menganggap semua sebagai “takdir” tanpa evaluasi dan perbaikan justru berpotensi mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.
Namun, di sisi lain, kita juga perlu memahami kondisi sosial para wali santri. Banyak dari mereka berasal dari latar belakang ekonomi dan pendidikan yang sederhana. Relasi kuasa yang timpang antara santri dan kiai sering membuat mereka enggan untuk menggugat atau menuntut keadilan, meskipun mereka sebenarnya berhak untuk melakukannya.
Oleh karena itu, penegakan hukum harus dilakukan dengan bijak. Jika proses hukum terhadap tokoh agama bisa memicu gejolak sosial, pendekatan restorative justice dapat menjadi jalan tengah. Misalnya, pesantren diberi sanksi administratif, dilakukan audit bangunan, dan diberlakukan perbaikan sistem pengawasan agar lebih aman.
Kesimpulannya, menyebut tragedi ini sebagai “takdir” memang tidak salah secara keyakinan, tetapi menjadi keliru ketika digunakan untuk menolak tanggung jawab manusia. Takdir tidak pernah menjadi alasan untuk lalai, apalagi jika kelalaian itu merenggut nyawa orang lain. Justru dengan mengakui kesalahan dan melakukan perbaikan, kita sedang menjalankan nilai sejati dari takdir dan ikhtiar yang diajarkan agama.
Disclaimer: Tulisan diatas adalah naskah polemik. Tulisan ini bertujuan untuk menanggapi terhadap artikel yang berjudul "Ponpes Al Khoziny sebut ambruknya musala sebagai 'takdir dari Allah', polisi janji lakukan upaya hukum – 'Tidak bisa berlindung dengan dalih takdir" karya bbc.com". Link terhubung: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cvgqy3vg148o
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
