Refleksi Penggunaan Bahasa Indonesia di Pedalaman Aceh yang Berbudaya
Pendidikan dan Literasi | 2025-10-24 12:58:06Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahasa adalah sistem lambang bunyi dan tulisan yang digunakan secara arbitrer (manasuka) oleh anggota masyarakat untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Bahasa terbentuk berdasarkan kesepakatan dalam sebuah kelompok dan bersifat sistematis. Sebagai salah satu unsur pembentuk kebudayaan, bahasa memiliki peran penting dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan terbentuknya beragam bahasa di dunia, baik bahasa resmi maupun bahasa daerah.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional dan resmi negara Indonesia, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 36 UUD 1945. Berdasarkan data dari Goodstat, bahasa Indonesia menduduki peringkat ke-10 sebagai bahasa dengan jumlah penutur terbanyak di dunia, dengan penutur sekitar 252 juta jiwa. Bahasa Indonesia memiliki akar dalam bahasa Melayu Kuno yang telah berkembang sejak abad ke-7 dan terus berkembang hingga menjadi bahasa nasional yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pemerintahan dan pendidikan.
Penggunaan Bahasa Indonesia di pedalaman Aceh menunjukkan bagaimana masyarakat berusaha tetap menjaga jati diri lokal sambil tetap terhubung dengan budaya nasional. Umumnya penggunaan Bahasa Indonesia di daerah pedalaman Aceh adalah campuran antara Bahasa Indonesia dan bahasa lokal. Saya pernah mendengar anak-anak pedalaman Aceh berbicara dengan fasih menggunakan bahasa daerah mereka, tetapi canggung ketika diminta menggunakan bahasa Indonesia. Fenomena ini bukanlah hal yang aneh, penelitian tahun 2023 menunjukkan sekitar 69% masyarakat pedalaman Aceh setuju untuk menggunakan Bahasa Indonesia. Akan tetapi, sebanyak 60% dari masyarakat tersebut masih memiliki kendala dalam penggunaannya.
Penggunaan Bahasa Indonesia di kalangan masyarakat pedalaman Aceh umumnya terhambat oleh dominasi bahasa lokal (bahasa ibu) dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat cenderung lebih memilih menggunakan bahasa lokal untuk berinteraksi dengan keluarga, teman, dan kerabat. Selain itu, kurangnya akses masyarakat pedalaman untuk mendapatkan pengetahuan Bahasa Indonesia dan minimnya paparan terhadap penutur Bahasa Indonesia yang fasih atau media massa berbahasa Indonesia di daerah pedalaman membuat masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk melatih dan meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia mereka.
Selain itu, masyarakat pedalaman Aceh juga menghadapi tantangan berupa pengaruh dialek dalam penuturan Bahasa Indonesia. Bahasa daerah Aceh mencakup Bahasa Aceh sebagai bahasa utama yang paling banyak digunakan, serta beberapa bahasa lain seperti Bahasa Gayo, Tamiang, Alas, Kluet, Jamee, Pakpak, Devayan, dan Sigulai. Bahasa-bahasa ini memiliki dialek yang beragam di setiap daerahnya, seperti dialek Baet Lambuot dan Mesjid Punteut.
Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan pelafalan dan intonasi nada bicara saat masyarakat menggunakan bahasa Indonesia. Hambatan penuturan bahasa Indonesia di daerah pedalaman tidak hanya mempengaruhi komunikasi sehari-hari, tetapi ini juga memberikan dampak yang signifikan dalam aspek pendidikan. Banyak siswa yang sering menggunakan bahasa lokal menjadi sulit memahami materi pelajaran yang disampaikan dalam bahasa Indonesia, hal ini berpotensi menghambat prestasi akademik dan perkembangan mereka.
Tenaga pendidik sering kali harus menyesuaikan cara mengajar agar lebih mudah dipahami siswa, seperti guru yang mengajar menggunakan bahasa daerah dan mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan lokal. Dalam sektor ekonomi, penggunaan dialek sering menimbulkan kesalahpahaman dan kesulitan komunikasi dalam masyarakat, misalnya saat masyarakat pedalaman bertransaksi dengan pendatang atau pihak luar daerah, kesalahpahaman bisa terjadi karena perbedaan pelafalan atau istilah yang digunakan. Hal sederhana seperti ini dapat mempengaruhi harga, peluang kerja sama, dan peluang usaha, yang pada akhirnya menjadi penghambat pembangunan dan integrasi sosial di wilayah tersebut.
Penggunaan bahasa Indonesia di daerah pedalaman menghadapi tantangan yang signifikan akibat terbiasa menggunakan bahasa lokal di kehidupan sehari-hari dan pengaruh dialek lokal yang kuat. Bagi mereka, bahasa daerah bukan sekadar alat bicara, tetapi bagian dari identitas dan kehangatan budaya. Meskipun dialek lokal menjadi identitas dalam kebudayaan masyarakat, sebagai warga Indonesia penting untuk tetap melestarikan bahasa nasional untuk memastikan komunikasi yang efektif agar tercapainya persatuan bangsa.
Saya percaya, solusinya bukan menggantikan satu bahasa dengan yang lain, melainkan menghadirkan keduanya dalam harmoni. Pendidikan di Aceh bisa dimulai dari pendekatan yang menghargai dialek dan budaya lokal, seperti memberikan pelatihan kepada guru untuk melaksanakan metode pembelajaran yang lebih mudah dipahami oleh siswa yang terbiasa dengan bahasa daerah dan menyiapkan media belajar yang selaras dengan kehidupan masyarakat.
Di sisi lain, sektor ekonomi juga harus disentuh melalui peningkatan komunikasi masyarakat. Pemerintah dapat berupaya memberikan pelatihan pada pelaku usaha kecil agar mampu untuk memperluas pasar dan memahami informasi ekonomi yang disampaikan pemerintah. Dengan upaya bersama dari pemerintah, pendidik, mahasiswa, dan masyarakat, kita dapat meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia di daerah pedalaman dan tetap melestarikan keberagaman dialek lokal.
Mari kita mendukung pendidikan bahasa yang inklusif dan berbasis budaya untuk memperkuat komunikasi lintas daerah dan memajukan bangsa Indonesia. Karena bahasa bukan hanya tentang kata, tapi juga tentang cara kita memahami dunia — dan Aceh punya kekayaan bahasa yang bisa menjadi sumber kekuatan, bukan penghalang, untuk membangun masyarakat yang berbudaya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
