Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jaja Jamaludin

Kembali ke Menulis Tangan di Era Digital

Eduaksi | 2025-10-23 16:28:48

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Kabinet Paripurna, 20 Oktober 2025, yang meminta Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Mu’ti untuk mengembalikan pelajaran menulis di sekolah, tampak sederhana—bahkan mungkin terdengar kuno. Namun di balik seruan itu tersimpan refleksi mendalam tentang arah pendidikan kita di tengah derasnya arus digitalisasi.

“Anak-anak sekarang tulisannya terlalu kecil,” ujar Prabowo. Kalimat itu sesungguhnya bukan sekadar kritik atas estetika tulisan, melainkan simbol kegelisahan akan perubahan cara berpikir dan belajar generasi muda yang tumbuh dalam dunia layar sentuh dan teks singkat.

Krisis Literasi Manual di Era Layar

Teknologi digital telah mengubah hampir semua aspek kehidupan, termasuk cara anak-anak belajar dan berinteraksi. Di sekolah-sekolah, buku tulis digantikan gawai; pena tergeser oleh papan ketik; dan catatan harian berpindah ke aplikasi digital. Akibatnya, keterampilan dasar seperti menulis tangan, membaca dalam-dalam, dan mengekspresikan pikiran secara runtut kian memudar.

Penelitian di University of Washington dan Norwegian University of Science and Technology menunjukkan bahwa menulis manual mengaktifkan area otak yang lebih luas dibanding mengetik. Aktivitas motorik halus ketika memegang pena ternyata berperan penting dalam memperkuat daya ingat, pemahaman konsep, serta hubungan antara emosi dan bahasa. Dengan kata lain, menulis tangan bukan sekadar aktivitas motorik—ia adalah proses berpikir itu sendiri.

Negara Maju Justru Kembali ke Buku dan Pena

Menariknya, negara-negara yang lebih maju secara digital justru sedang melakukan koreksi besar. Finlandia, yang sempat meniadakan pelajaran menulis tangan pada 2016, kini mengembalikannya ke kurikulum sejak 2022 setelah mendapati penurunan kemampuan literasi anak-anak. Di Amerika Serikat, beberapa distrik di California dan New York kembali mengajarkan cursive writing atau tulisan sambung, karena terbukti meningkatkan koordinasi otak dan kemampuan bercerita.

Di Jepang, pelajaran kaligrafi tradisional (shodō) tetap dijaga sebagai latihan disiplin dan meditasi motorik, sementara Korea Selatan memadukan tablet dengan latihan menulis manual agar siswa tidak kehilangan sensasi belajar yang reflektif.

Semua ini menandakan satu hal: kemajuan teknologi tidak boleh membuat manusia kehilangan kedalaman berpikirnya.

Tulisan Kecil, Pikiran Instan

Anak-anak yang tumbuh dalam dunia digital terbiasa dengan teks singkat—pesan, caption, dan emoji. Mereka berpikir cepat, namun sering kali dangkal. “Tulisan kecil” yang dikeluhkan Presiden dapat dibaca sebagai metafora: generasi yang terburu-buru, menulis tanpa jeda, berpikir tanpa perenungan.

Menulis dengan tangan, apalagi dengan tulisan besar dan rapi, memaksa otak melambat sejenak. Ia mengajarkan kesabaran, ritme, dan kesadaran spasial. Dalam setiap goresan, ada proses internalisasi ide yang tidak bisa digantikan oleh keyboard.

Menemukan Keseimbangan: Literasi Hibrid

Solusi bukanlah menolak teknologi, melainkan menemukan keseimbangannya. Sekolah dapat mengembangkan model “literasi hibrid”: menulis tangan untuk memperkuat daya kognitif dan karakter, sementara teknologi digunakan untuk eksplorasi dan kolaborasi.

Beberapa inovasi dunia pendidikan sudah mengarah ke sana: smart notebook yang mengubah tulisan tangan menjadi data digital, atau proyek pembelajaran yang menggabungkan jurnal manual dengan laporan daring. Teknologi seharusnya memperkuat kemanusiaan, bukan menggantikannya.

Arah Baru Pendidikan Indonesia

Seruan Prabowo sebaiknya dibaca sebagai panggilan untuk meninjau ulang filosofi pendidikan kita. Dalam kurikulum yang terlalu menekankan kemampuan digital, kita berisiko kehilangan pondasi literasi dasar. Menulis tangan, membaca mendalam, dan berpikir reflektif adalah akar dari semua bentuk kecerdasan—termasuk kecerdasan digital itu sendiri.

Kembali mengajarkan menulis bukanlah langkah mundur. Justru di era serbacepat ini, ia bisa menjadi langkah maju menuju manusia Indonesia yang lebih sadar, lebih sabar, dan lebih dalam dalam berpikir.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image