Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Halimah Siti Nur Jannah

Mengapa Kita Mudah Terpengaruh Oleh Emosi Orang Lain

Edukasi | 2025-10-23 12:52:28

Bayangkan kamu sedang berada di tempat ramai, tiba-tiba melihat temanmu menangis karena kehilangan kerja. Tidak sadar, hatimu jadi terasa berat dan mungkin ikut sedih. Atau ketika menonton berita tentang bencana alam, perasaan marah dan empati muncul tiba-tiba. Fenomena ini di mana emosi orang lain dengan mudah memengaruhi kita adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang sering kita alami. Mengapa hal ini terjadi? Topik ini sangat menarik untuk dibahas karena membantu kita memahami hubungan sosial yang lebih dalam. Terutama di era digital saat ini, di mana emosi bisa menyebar cepat melalui media sosial. Dari sudut pandang biopsikologi, fenomena ini bukan hanya soal psikologi sosial, tapi juga melibatkan mekanisme biologis seperti otak, neurotransmiter, dan sistem saraf. Dengan mempelajari hal ini, kita bisa belajar mengelola emosi agar tetap sehat mental, terutama di tengah pandemi yang memperkuat hubungan emosional secara virtual, serta isu-isu seperti kesehatan mental masyarakat.

Dari sudut pandang biopsikologi, kemudahan kita terpengaruh oleh emosi orang lain berasal dari mekanisme evolusioner yang membantu kelangsungan hidup manusia sebagai makhluk sosial. Salah satu konsep penting adalah mirror neurons, sebuah jenis neuron di otak yang "memantulkan" tindakan dan emosi orang lain. Mirror neurons terdapat di area korteks premotor dan parietal inferior, seperti yang dijelaskan oleh Rizzolatti dan Craighero (2004). Ketika kita melihat seseorang tersenyum atau menangis, neuron ini aktif seolah-olah kita sendiri merasakan perasaan itu. Misalnya, jika temanmu sedang marah, mirror neurons akan memicu respons serupa di otak kita, membuat kita ikut merasa gelisah. Ini adalah mekanisme yang membantu kita membangun empati, sehingga bisa berkolaborasi dalam kelompok untuk bertahan hidup.

Selanjutnya, peran sistem limbik yaitu bagian otak yang mengatur emosi yang juga sangat penting. Amigdala, struktur kecil dalam sistem limbik, bertugas memproses emosi seperti rasa takut atau senang dengan cepat. Menurut Decety dan Jackson (2004), amigdala terhubung dengan korteks prefrontal, yang membantu kita memahami emosi orang lain. Ketika melihat ekspresi wajah terlihat marah, amigdala akan segera merespons melalui jalur saraf, melepaskan neurotransmiter seperti serotonin dan dopamin untuk mengatur respons emosional. Contohnya, serotonin membantu menjaga keseimbangan suasana hati, sehingga jika kadar serotonin rendah, kita lebih mudah terpengaruh oleh emosi negatif di sekitar. Namun, jika neurotransmiter tidak seimbang, kita jadi lebih rentan terpengaruh secara berlebihan. Misalnya, dalam situasi stres kolektif seperti aksi demo, emosi marah bisa menular karena hormon kortisol yang dilepaskan oleh sistem saraf simpatis, yang mempercepat detak jantung dan membuat kita ikut terbawa.

Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa terus-menerus terpapar emosi negatif, seperti dari media sosial, bisa mengganggu produksi dopamin. Hal ini memengaruhi kemotivasi kita dan membuat kita lebih peka terhadap lingkungan sosial. Hormon juga berperan penting dalam hal ini. Oksitosin, disebut juga sebagai "hormon pelukan", dibuat oleh hipotalamus dan dilepaskan saat kita berinteraksi sosial. Menurut Singer dan Lamm (2009), oksitosin meningkatkan kemampuan untuk merasakan emosi orang lain dengan mengurangi aktivitas amigdala terhadap ancaman. Jadi, kita lebih mudah merasakan hal-hal positif yang mereka alami. Namun, ketika seseorang sedang stres, oksitosin bisa memperkuat respon emosional kita melalui sistem saraf vagus, menurut teori polyvagal yang dijelaskan oleh Porges (2003). Teori ini menyatakan bahwa sistem saraf otonom kita selalu beradaptasi dengan lingkungan sosial, membuat kita lebih sensitif terhadap emosi di sekitar untuk menjaga keselamatan kelompok. Genetika juga ikut berperan; variasi genetik dalam reseptor oksitosin bisa membuat sebagian orang lebih rentan terpengaruh emosi orang lain dibandingkan yang lain. Contohnya, dalam keluarga yang memiliki riwayat kecemasan, anggota keluarga mungkin lebih mudah merasakan emosi negatif karena faktor genetik yang memengaruhi produksi neurotransmitter, dan ini memperkuat siklus emosi yang berulang.

Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini bisa terlihat ketika kita menggulir media sosial dan tiba-tiba merasa cemas karena melihat postingan negatif. Dari perspektif biopsikologi, ini terjadi karena otak kita dirancang untuk mencari petunjuk sosial sebagai bagian dari insting bertahan hidup. Namun, di era digital, paparan yang terus-menerus bisa membuat kita terlalu lelah secara emosional. Dengan memahami mekanisme ini, kita bisa mengurangi dampak negatifnya, misalnya dengan berlatih mindfulness untuk mengatur aktivitas amigdala. Penelitianmenunjukkan bahwa meditasi bisa menekan respons amigdala terhadap emosi negatif, sehingga membantu kita berinteraksi dengan lebih bijak.

Kita mudah terpengaruh emosi orang lain karena kombinasi dari neuron cermin, sistem limbik, neurotransmitter seperti oksitosin dan serotonin, serta faktor genetik yang bertujuan memperkuat ikatan sosial. Fenomena ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara tubuh dan pikiran dengan lingkungan sekitar. Secara praktis, ini berarti kita perlu sadar akan pengaruh ini untuk menjaga kesehatan mental, misalnya dengan membatasi paparan konten negatif, berlatih teknik relaksasi, atau mencari bantuan profesional jika emosi menular mengganggu kehidupan sehari-hari. Dengan memahami ilmu biopsikologi, masyarakat bisa lebih bijak dalam berinteraksi, menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan mengurangi risiko gangguan mental seperti depresi yang dipicu oleh emosi sekunder. Selain itu, pemahaman ini juga membantu kita mengembangkan empati yang sehat, memperkuat hubungan sosial, serta meningkatkan kesejahteraan emosional individu dan kolektif dalam kehidupan modern yang serba terhubung.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image