Ketika Media Sosial Menjadi Penyakit Generasi
Curhat | 2025-10-23 10:59:39
Ketika standar media sosial mulai membentuk wajah generasi ini, aku melihat manusia bukan lagi hidup, melainkan ditelanjangi nafsu. Mereka berlomba dalam keseragaman, memuja standar yang katanya bernilai, padahal tak lebih dari angka-angka di layar yang berpendar setiap malam. Aku melihat perlombaan tanpa garis akhir, seperti maraton kebodohan yang dibungkus dengan kemewahan dan kata-kata motivasi yang palsu. Mereka memaksakan diri untuk seragam dalam kebingungan yang tak berujung, seolah-olah hidup ini hanya pantas dijalani bila diakui oleh orang-orang asing di layar kecil itu. Kecemasan menjadi sarapan setiap pagi, rasa khawatir diseduh bersama rutinitas yang semakin semu. Mereka takut tidak bisa hidup seperti orang-orang yang mereka lihat: wajah yang selalu tersenyum, pakaian yang tak pernah kusut, rumah yang selalu bersinar seperti surga, barang mahal yang harganya melebihi upah minimum di negeri ini. Mereka memakan ilusi, menelannya sampai lupa bahwa kehidupan yang nyata tak pernah sesempurna itu.
Generasi ini telah sakit, tapi mereka menolak diobati. Mereka justru mencari racun baru dalam bentuk validasi, angka, pujian dan komentar dari orang-orang yang bahkan tak mengenal nama mereka. Mereka berdoa pada kamera depan, memuja pada pencahayaan dan filter yang menyamarkan luka. Alih-alih mencari ketenangan, mereka mengejar puncak yang tak ada, mendaki menara kebanggaan yang dibangun di atas keseragaman. Semua ingin menjadi raja, tapi mereka tak menyadari bahwa mereka hanyalah bidak yang digerakkan oleh tangan-tangan yang lebih serakah. Mereka adalah pion yang bertarung dalam kebodohan massal, di bawah bayang-bayang kesuksesan yang diciptakan oleh orang-orang yang bahkan tak pernah peduli pada mereka.
Kini algoritma telah menjadi tuhan baru. Ia menentukan apa yang harus kita cintai, siapa yang harus kita benci, bahkan kapan kita harus merasa cukup. Segalanya ditentukan oleh mesin tanpa hati, dan manusia tunduk kepadanya dengan sukacita. Unggahan demi unggahan menyebar seperti penyakit menular, kebahagiaan yang direkayasa dalam kepalsuan. Lantas justru manusia memakannya mentah-mentah, menelannya tanpa bertanya, apakah ini benar hidup, atau hanya teater absurditas yang tak lagi punya penonton sejati?.
Mengapa mereka melakukan hal-hal yang bahkan tak sanggup mereka pahami? Akal sehat telah mati, digantikan oleh keinginan untuk terlihat bahagia meski hancur di dalam. Mereka membeli standar baru setiap minggu, berharap dunia akan menganggap mereka berhasil. Tapi yang kulihat hanyalah barisan orang-orang seragam, wajah yang dipoles bedak murahan, senyum yang dipaksa, hati yang kosong. Mereka seperti etalase yang menjual barang murahan, berebut pujian dari sesama pembeli yang juga putus asa.
Lalu pada akhirnya, hidup hari ini tak lebih baik dari kemarin. Dunia semakin gila, rusak, dan kehilangan arah. Moralitas menjadi bahan tertawaan, doa kehilangan maknanya, dan manusia sibuk merusak demi mencapai standar yang bahkan tak nyata, mereka sibuk membangun surganya dan menjadi tuhan baru di era yang semakin kacau. Mereka berjalan cepat menuju kehancuran sambil tersenyum lebar di depan kamera. Sedangkan aku, berdiri di pinggir dunia ini, hanya bisa melihat kekacauan itu meledak, sunyi, kelam, dan mengerikan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
