Benarkah Jajanan Bertepung dapat Menjadi Bom Waktu bagi Kesehatan Anak?
Gaya Hidup | 2025-10-22 20:29:06
Siapa sih yang tidak suka jajan? Baik tua maupun muda, sulit rasanya menolak godaan jajanan manis dan gurih. Apalagi anak-anak, yang setiap hari mudah menemukan aneka jajanan itu di sekolah, di warung pinggir jalan, ataupun di pasar tradisional saat ikut ibu berbelanja. Donat, sempol, gorengan, hingga kue manis memang bisa membuat anak-anak gembira. Namun, di balik kegembiraan dan rasanya yang lezat, jajanan bertepung dan bergula itu menyimpan bahaya yang dapat menjadi "bom waktu" bagi kesehatan anak.
Kebiasaan yang Mengundang Bahaya
Kebiasaan membeli jajan atau makanan manis memang merupakan bagian dari budaya sosial masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan kutipan dari ringkasan kebijakan (policy brief) UNICEF yang mengatakan bahwa konsumsi makanan manis di Indonesia paling tinggi terdapat pada kelompok usia muda, di mana semakin muda usianya maka semakin banyak makanan manis yang dikonsumsi. Didukung juga dengan presentasenya yang mencapai 59,6% kelompok usia 3-5 tahun mengonsumsi makanan berkadar gula tinggi tiap harinya. Alasannya sederhana, mereka ingin membeli jajan yang murah, mudah didapat, rasanya enak, dan membuat bahagia. Namun, dibalik kebahagiaan itu, terdapat masalah serius yang tidak mereka sadari.Jajanan yang menggunakan tepung sebagai bahan utama dapat menyebabkan lonjakan gula darah jika dikonsumsi secara berlebihan. Tepung sebenarnya bergizi, tetapi proses pengolahan dan pemutihannyalah yang dapat menghilangkan berbagai zat gizi penting. Jajanan bertepung yang mengandung karbohidrat rafinasi, yaitu jenis karbohidrat sederhana yang cepat dicerna dan kehilangan sebagian besar serat serta mikronutriennya, dapat meningkatkan lonjakan kadar gula darah, terlebih jika dikombinasikan dengan gula tambahan. Lonjakan gula ini menghasilkan sensasi energi instan yang disukai anak-anak sebelum akhirnya kadar gula turun kembali secara drastis. Hal ini mengakibatkan anak-anak cepat lapar dan kembali ingin memakan makanan manis. Dengan demikian, siklus ini akan terus berulang hingga tubuh dapat menjadi 'kebal' terhadap insulin atau yang biasa disebut resistensi insulin. Jika pola makan "cepat lapar" ini terus berlangsung maka akan dapat meningkatkan risiko obesitas. Sementara itu, konsumsi jajanan tinggi karbohidrat olahan ini juga dapat meningkatkan kadar trigliserida dan menurunkan kolesterol baik, yang keduanya dapat menjadi faktor pemicu timbulnya penyakit kardiovaskular, termasuk risiko penyakit jantung. Ironisnya, di tengah maraknya isu gizi seimbang dan kampanye hidup sehat, masih banyak pasar jajanan anak menghasilkan produk-produk makanan yang hanya cantik di mata, manis di lidah, tetapi miskin di nutrisi.
Ketika Pendidikan Gizi Masih Sekedar Formalitas
Permasalahan kebiasaan makan ini bukan hanya sekadar kesalahan anak yang gemar jajan sembarangan, melainkan juga kurang efektifnya edukasi gizi yang telah ada di lingkungan kita. Sekolah sering kali hanya memberikan materi singkat tentang "hindari makanan yang tidak sehat" tanpa menjelaskan secara jelas apa saja yang termasuk dalam makanan "tidak sehat" tersebut. Mereka biasanya berfokus pada makanan cepat saji (fast food) sebagai makanan tidak sehat, tetapi melupakan jajanan gorengan yang sama tidak sehatnya dan sering dijual di kantin. Selain di kantin, pengawasan terhadap jajanan anak yang dijual pedagang sekitar sekolah juga masih longgar. Pedagang yang menjual makanan dengan tampilan bersih dan murah maka akan dianggap cukup layak untuk dijual.Sayangnya, lemahnya edukasi gizi dan pengawasan terhadap jajanan anak ini bukan hanya terjadi di sekolah, melainkan juga terjadi di rumah. Banyak orang tua yang hanya memberikan uang saku daripada membuatkan bekal yang sehat untuk anak dengan alasan tidak sempat karena bekerja. Akibatnya, secara tidak langsung para orang tua itu telah memberikan kebebasan bagi anak untuk ”memilih” risiko bagi kesehatannya sendiri. Anak-anak tersebut akan tumbuh dengan rasa kenyang yang instan dan tidak pernah benar-benar merasakan makanan yang menyehatkan.
Saatnya Menunda Ledakan Bom Itu
Kita sedang hidup di tengah budaya “manis instan” yang di mana anak-anak sering kali menjadi korban paling polos. Jika budaya ini terus dibiarkan dan dimaklumi, maka selama itu pula kita sedang menyiapkan “bom” yang akan meledak pelan-pelan dalam bentuk diabetes, obesitas, hipertensi, hingga penyakit jantung yang akan merusak masa depan anak. Oleh karena itu, edukasi gizi dan pengawasan perlu dilakukan lebih efektif lagi dengan melibatkan berbagai pihak, mulai dari orang tua, sekolah, hingga pemerintah. Orang tua memiliki peran utama dalam pengawasan dan pembiasaan. Mereka bisa memulai dengan memberikan contoh dalam membeli makanan yang sehat karena anak cenderung akan meniru perilaku yang biasa orang tuanya lakukan. Jika orang tua gemar membeli gorengan atau makanan manis maka sulit bagi anak untuk menolak jajanan serupa. Selain itu, orang tua juga dapat meluangkan waktu untuk membuatkan bekal sehat atau membiasakan mereka untuk sarapan di rumah agar tidak terasa lapar lagi di sekolah. Lalu, orang tua juga mulai mengurangi dan mengganti jajanan anak dengan buah-buahan, kacang panggang, roti gandum, dan makanan lain yang rendah gula. Terakhir, orang tua bisa membiasakan anak untuk melakukan aktivitas fisik, seperti mengajak mereka bermain di taman bermain ataupun melakukan olahraga ringan setiap weekend. Selain orang tua, sekolah dan pemerintah juga memiliki peran penting dalam edukasi gizi yang efektif bagi anak. Guru sebaiknya tidak hanya memberikan materi tentang gizi, tetapi juga mengaplikasikan dalam praktik yang seru dan mudah dipahami, seperti mengajak para siswa untuk membuat menu makanan sehat atau menanam buah di kebun sekolah. Selain itu, sekolah juga dapat berkolaborasi dengan ahli gizi untuk mengadakan penyuluhan kepada siswa dan orang tua mengenai pentingnya makanan bergizi bagi anak. Pemerintah juga perlu melakukan pengawasan dan pengecekan terhadap kantin sekolah agar keamanan, mutu, dan gizi jajanan yang dijual memenuhi standar kesehatan. Dengan demikian, secara bersama kita dapat menunda ledakan “bom waktu” bagi kesehatan anak ini.Anak-anak mungkin tidak memiliki kuasa untuk memilih jajanan apa yang sehat bagi diri mereka. Namun, kita sebagai orang dewasa tentu tahu apa yang sehat dan tidak untuk dikonsumsi anak. Oleh sebab itu, kitalah yang bertanggung jawab mengawasi dan memastikan jajanan yang mereka konsumsi agar mereka tidak tumbuh dalam kenikmatan instan yang menimbulkan penderitaan panjang. Kita tidak boleh abai dengan hal ini karena kelak kitalah yang akan menanggung derita dengan melihat generasi penerus bangsa tumbuh dengan tubuh yang rapuh di usia muda. Sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri, ”Apakah rasa manis di lidah mereka sepadan dengan derita yang akan mereka bawa seumur hidup?”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
