Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rikza Anung Andita Putra

Kampus dalam Bayang Oligarki Tambang

Politik | 2025-10-22 18:24:11
“Relasi kampus dan tambang yang kian kabur batasnya.” (Sumber: Dok. Pribadi)

Revisi keempat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) menghadirkan pasal baru yang di permukaan tampak progresif. Pasal 51A dan Pasal 60A menyebutkan bahwa sebagian keuntungan dari hasil tambang dapat dialokasikan bagi perguruan tinggi “dalam rangka meningkatkan kemandirian dan keunggulan pendidikan tinggi.”

Namun, di balik retorika kemandirian itu tersimpan bahaya serius yang mengancam independensi akademik dan integritas dunia pendidikan. Frasa “peningkatan kemandirian dan keunggulan pendidikan tinggi” memang terdengar visioner, tetapi di balik jargon tersebut tersembunyi upaya yang berpotensi mengikis kebebasan berpikir dan memudarkan peran kampus sebagai ruang moral bangsa.

Dalam filsafat pendidikan, Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menegaskan bahwa pendidikan sejatinya adalah proses pembebasan manusia dari struktur penindasan. Kampus harus menjadi ruang yang menumbuhkan kesadaran kritis (critical consciousness) agar civitas akademika mampu menantang ketimpangan sosial dan politik.

Namun ketika kampus diarahkan menjadi mitra korporasi tambang, ia justru bergeser dari ruang emansipasi menjadi ruang integrasi kapital.

Kampus idealnya berdiri sebagai benteng pengetahuan yang bebas dari intervensi kepentingan ekonomi dan politik. Ketika negara membuka jalan bagi perguruan tinggi untuk menerima manfaat dari kerja sama dengan korporasi tambang, yang dipertaruhkan bukan sekadar transparansi keuangan, melainkan jiwa otonomi akademik itu sendiri.

UU Minerba secara halus mengaburkan batas antara ruang pendidikan dan ruang eksploitasi ekonomi. Dalam praktiknya, relasi kampus dengan korporasi dapat menciptakan konflik kepentingan struktural. Kampus yang seharusnya meneliti dan mengawasi dampak sosial-lingkungan pertambangan justru berpotensi bungkam karena menjadi bagian dari rantai keuntungan industri itu sendiri.

Kondisi ini menggeser fungsi kampus dari lembaga pencari kebenaran menjadi aktor ekonomi baru. Dalam jangka panjang, situasi semacam ini akan melahirkan ketergantungan pengetahuan di mana arah riset dan kebijakan akademik tidak lagi digerakkan oleh idealisme ilmiah, melainkan oleh motif investasi.

Masalah paling mendasar dari klausul Minerba ini adalah rusaknya independensi akademik. Bayangkan sebuah kampus yang mendapat dana dari perusahaan tambang untuk riset dan fasilitas pendidikan. Mampukah kampus itu tetap objektif ketika harus meneliti atau mengkritik mitra industrinya sendiri?

Kampus adalah penjaga integritas intelektual masyarakat, bukan pelayan kepentingan korporasi. Begitu kampus menerima keuntungan langsung dari bisnis tambang, maka kekuatan moralnya perlahan luntur. Akan muncul chilling effect di mana dosen dan mahasiswa berpikir dua kali sebelum menulis riset yang mengkritik perusahaan penyokong finansial institusinya. Kritik kehilangan ruangnya, dan riset kehilangan keberaniannya.

Lebih jauh, pasal ini memperlihatkan krisis tanggung jawab negara terhadap pendidikan. Negara yang seharusnya menjamin keberlangsungan pendidikan tinggi justru memilih mundur, mempersilakan kampus mencari nafkahnya sendiri melalui sektor ekstraktif.

Padahal Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, moralitas, dan kecerdasan bangsa. Artinya, tanggung jawab pendidikan adalah tanggung jawab negara, bukan pasar. Ketika negara menyerahkan urusan kampus ke tangan industri tambang, yang terjadi bukanlah kemandirian pendidikan, tetapi percepatan komersialisasi pendidikan.

Kampus yang sebelumnya menjadi benteng moral bangsa kini diarahkan menjadi pemain ekonomi yang tunduk pada logika pasar. Di titik ini, kita tidak sedang membangun kemandirian akademik, tetapi sedang membiarkan lahirnya ketergantungan institusional pada modal tambang.

Secara yuridis, frasa “untuk kepentingan perguruan tinggi” dalam UU Minerba juga bermasalah. Tidak ada definisi tegas tentang apa yang dimaksud dengan “kepentingan” tersebut, apakah untuk riset, investasi, atau pembangunan fasilitas kampus? Ketidakjelasan ini bertentangan dengan asas lex certa, bahwa norma hukum harus jelas dan terukur agar memberikan kepastian.

Ketiadaan batasan membuka ruang tafsir yang liar dan berpotensi disalahgunakan. Pemerintah dapat menunjuk kampus tertentu sebagai penerima manfaat sementara yang lain diabaikan. Akibatnya, hukum kehilangan kepastian dan keadilan antar lembaga pendidikan pun menjadi timpang.

Seperti ditegaskan Hans Kelsen, hukum seharusnya memberi kejelasan agar tidak menjadi alat kekuasaan. Frasa kabur semacam ini justru membuka ruang bagi kepentingan politik dan bisnis untuk menembus dunia akademik dengan legitimasi hukum.

Kampus tidak seharusnya menjadi perpanjangan tangan korporasi tambang. Kampus bukan laboratorium bisnis, melainkan laboratorium moral bangsa yang melahirkan ruang suci bagi akal sehat dan nurani publik. Ketika pendidikan mulai didefinisikan dalam bahasa keuntungan, kita sedang kehilangan makna terdalam dari pendidikan itu sendiri. Ilmu pengetahuan lahir bukan untuk menambah kekayaan, tetapi untuk menjaga kemanusiaan.

Karena itu, revisi UU Minerba bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga persoalan etika untuk menjaga agar ruang berpikir bangsa tidak dirusak oleh logika kapital. Pendidikan adalah upaya mencerdaskan manusia, bukan menambang sumber daya.

Permohonan uji materiil terhadap UU Minerba sejatinya merupakan panggilan moral untuk menegakkan kembali marwah pendidikan tinggi. Mahkamah Konstitusi tidak hanya diuji untuk menafsirkan pasal, tetapi juga untuk menentukan arah peradaban bangsa apakah kampus akan dibiarkan menjadi pemain ekonomi, atau dijaga tetap menjadi benteng pengetahuan yang kritis dan merdeka.

Negara boleh saja mencari formula baru untuk kemandirian pendidikan, tetapi jangan sampai kampus dijadikan korban dari eksperimen kebijakan yang menukar ilmu dengan batu bara. Sebab ketika kampus mulai menambang, yang hilang bukan sekadar sumber daya alam, tetapi nurani, kebebasan berpikir, dan martabat ilmu pengetahuan itu sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image