Ketulian Jiwa di Kebisingan Dunia: Refleksi atas QS Al-Baqarah 2: 18
Agama | 2025-10-21 19:00:10Oleh: Muliadi Saleh
صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُوْنَ
"Mereka tuli, bisu, dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali."
(QS. Al-Baqarah [2]: 18)
Ada ayat yang menampar lembut jiwa, seperti cermin yang menyingkap wajah batin manusia.
Ayat ini—pendek, tapi mengguncang—menyebut tiga keadaan: tuli, bisu, dan buta.
Namun bukan tubuh yang cacat, melainkan kesadaran yang kehilangan cahaya.
Bukan telinga yang tak mendengar suara, melainkan hati yang menolak kebenaran.
Bukan mata yang tak melihat rupa, melainkan jiwa yang menutup diri dari nur Ilahi.
Di tengah hiruk-pikuk zaman, di mana informasi melimpah tapi makna menipis, banyak dari kita berjalan dengan mata terbuka, namun hati tertutup.
Ketika mendengar azan, tak lagi tersentuh maknanya. Ketika berbicara tentang Tuhan, tak ada lagi getar rindu dan gentar. Ketika membaca ayat, tapi tak lagi membaca diri.
"صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْيٌ" — tiga luka spiritual yang melumpuhkan jalan pulang.
Tuli terhadap seruan kebenaran.
Bisu terhadap kesaksian iman.
Buta terhadap tanda-tanda Tuhan yang berserakan di langit dan di bumi.
Ayat ini bukan sekadar peringatan untuk kaum munafik di masa Nabi, tetapi juga cermin bagi manusia modern yang tenggelam dalam riuh digital dan kesibukan tanpa arah.
Kita men-scroll kabar dunia setiap detik, namun tak sempat mendengar bisikan jiwa sendiri.
Kita fasih bicara tentang moral, kemajuan, dan keadilan,tapi sering bisu saat melihat kezaliman di depan mata.
Kita memandang gemerlap kota,namun gagal melihat penderitaan di balik tirai kesuksesan palsu.
“فَهُمْ لَا يَرْجِعُوْنَ” — “maka mereka tidak dapat kembali.”
Inilah tragedi spiritual: ketika hati mengeras, jalan pulang tertutup.
Ketika kebenaran tidak lagi menyentuh rasa, maka petunjuk kehilangan makna.
Bukan Tuhan yang menjauh, tapi manusia yang menutup jalan menuju-Nya.
Namun setiap ayat Al-Qur’an selalu membawa harapan di sela ancaman.
Ayat ini mengguncang agar kita sadar,bahwa sebelum benar-benar tuli, masih ada waktu untuk mendengar.
Sebelum bisu, masih ada kata untuk memuji.Sebelum buta, masih ada cahaya untuk ditangkap oleh mata hati.
Mari kita dengarkan kembali panggilan langit dalam diri kita:panggilan untuk beriman dengan kesadaran,untuk melihat dengan mata yang jernih oleh dzikir,untuk berbicara dengan lidah yang basah oleh kebenaran.
Sebab yang benar-benar hidup bukanlah mereka yang banyak bicara,tetapi yang hatinya mendengar.
Yang benar-benar cerdas bukan yang pandai menatap layar,melainkan yang sanggup menatap nur di balik segala kejadian.
Di akhir perenungan ini, ayat itu berbisik lembut di antara gema waktu:
Jangan biarkan telingamu tuli terhadap kebenaran,lidahmu bisu terhadap keadilan,dan matamu buta terhadap kasih Tuhan. Sebab kehidupan sejati adalah perjalanan pulang —pulang ke hati yang mendengar, pulang ke jiwa yang melihat,pulang ke Tuhan yang Maha Menyapa.
(Muliadi Saleh – Penulis reflektif dan pengamat spiritualitas kontemporer.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
